Senin, 17 Desember 2018

Laju Permintaan Melambat Bikin Harga Minyak Lesu Pekan Lalu | Rifan Financindo

Laju Permintaan Melambat Bikin Harga Minyak Lesu Pekan Lalu
Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia merosot sepanjang pekan lalu, dipicu oleh sentimen pelemahan permintaan seiring proyeksi perekonomian yang melambat.

Dilansir dari Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent pada Jumat (14/12) merosot hampir 2,3 persen secara mingguan menjadi US$60,28 per barel. Penurunan juga terjadi secara harian sebesar US$1,17 per barel atau 1,9 persen akibat terseret oleh merosotnya kinerja pasar modal Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) secara mingguan turun hampir 2,7 persen menjadi US$51,2 per barel. Secara harian, penurunan yang terjadi sebesar US$1,38 atau 2,62 persen.

"Sektor perminyakan tetap rentan terhadap aksi jual di pasar modal, khususnya saat dikombinasikan dengan penguatan dolar AS seperti yang terjadi saat ini," ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.

Pada Jumat lalu, pasar modal AS secara umum merosot seiring dirilisnya data pertumbuhan ritel China yang mencatatkan laju pertumbuhan terlemah sejak 2003 dan kenaikan output industri yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Laporan tersebut menambah kegelisahan akibat hubungan dagang antara AS-China.

Hasil kilang perminyakan China pada November merosot dibandingkan Oktober tahun ini. Hal itu mengindikasikan melonggarnya permintaan minyak, meski secara umum produksi kilang meningkat 2,9 persen dibandingkan tahun lalu.

"Komoditas minyak mendapat tekanan dari buruknya data ekonomi China yang mengurangi pertumbuhan pada permintaan minyak yang baik pada 2019 di tengah pasar yang kelebihan pasokan saat ini," ujar Presiden Lipow Oi Associates Andrew Lipow di Houston.

Pada Jumat (7/12), Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) atau lebih dari 1 persen permintaan global. Kesepakatan tersebut dipicu oleh kekhawatiran terhadap membanjirnya pasokan.

Pada Kamis (13/12) lalu, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan defisit pasar minyak bakal terjadi pada kuartal II 2019. Hal itu tak lepas dari kesepakatan yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya.

Sebagai bagian dari kesepakatan pemimpin de facto OPEC Arab Saudi berencana memangkas produksinya menjadi 10,2 juta bph pada Januari 2019.

IEA memperkirakan pertumbuhan permintan minyak tahun depan sebesar 1,4 juta bph, tidak berubah dari proyeksi bulan lalu. Sementara itu, proyeksi permintaan sepanjang tahun ini diperkirakan sebesar 1,3 juta bph.

Di AS, laporan perusahaan pelayanan energi Baker Hughes mencatat jumlah rig minyak turun empat hingga 14 Desember 2018. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator produks di masa mendatang.

Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC) menyatakan, hingga pekan yang berakhir 11 Desember 2018, manajer keuangan memangkas taruhan pada posisi harga minyak bakal naik (bullish) ke level terendah dalam dua tahun terakhir.

Pada Jumat (14/12) lalu, Barclays memperkirakan harga minyak bakal pulih pada paruh pertama 2019 seiring menurunnya persediaan, pemangkasan produksi Arab Saudi dan berakhirnya masa pengecualian pemberlakuan sanksi Iran. (sfr/lav)

Sumber : CNN Indonesia 

Jumat, 14 Desember 2018

Harga Minyak Terdongkrak Penurunan Persediaan di AS | PT Rifan Financindo

Harga Minyak Terdongkrak Penurunan Persediaan di AS
PT Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Kamis (13/12), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi setelah rilis data persediaan minyak mentah menunjukkan pasokan komoditas tersebut di AS merosot. Selain itu, penguatan juga terjadi seiring ekspektasi investor terhadap potensi terjadinya defisit yang lebih cepat dari perkiraan di pasar minyak global.

Dilansir dari Reuters, Jumat (14/12), harga minyak mentah berjangka Brent menanjak US$0,57 atau satu persen menjadi US$60,72 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,79 atau 1,5 persen menjadi US$51,94 per barel.

Dalam laporan bulanan Badan Energi Internasional (IEA), kesepakatan pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya, termasuk Rusia dan Kanada, dapat menciptakan defisit pasokan di pasar minyak pada kuartal kedua tahun depan. Dengan catatan, para produsen utama minyak konsisten menjalankan kebijakan tersebut.


Di AS, mengutip data Genscape, para trader menyebutkan persedian minyak di hub pengiriman minyak Cushing, Oklahoma, merosot hampir 822 ribu barel pada pekan yang berakhir hingga 11 Desember 2018.

"Selama pekan lalu, pasar telah berusaha untuk stabil dan saya masih berpikir itu yang terjadi hari ini," ujar Manajer Riset Tradition Energy Gene McGillian di Stamford, Connecticut.

Menurut McGillian, pelemahan yang lebih jauh di pasar akan terjadi jika muncul sinyal kuat pertumbuhan permintaan akan merosot dan pasokan terus menanjak. Pasokan minyak global telah melampaui permintaan selama enam bulan belakangan.

Kondisi itu membengkakkan persediaan dan mendorong harga minyak mentah November 2018 ke level terendahnya selama lebih dari setahun. Namun, pada pekan lalu, OPEC dan sekutunya sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph). Namun, OPEC menilai permintaan minyak masih melambat.

Pada Rabu lau, OPEC menyatakan permintaan minyak mentah pada 2019 bakal merosot menjadi 31,44 juta barel per hari (bph). Proyeksi itu merosot 100 ribu bph dibandingkan proyeksi bulan lalu dan 1,53 juta bph di bawah level produksi saat ini.

Kantor Berita Iran IRNA melaporkan Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh menyatakan negaranya tidak memiliki rencana untuk mengurangi produksi minyak meski akan tetap menjadi anggota OPEC.

Analis Jefferies Jason Gammel menilai faktor seperti pemangkasan produksi dan berkurangya produksi di sejumlah negara seharusnya menjaga pasar tetap ketat pada paruh pertama tahun depan. Namun, ia menambahkan produksi minyak AS bakal mengalami akselerasi pertumbuhan pada paruh kedua tahun depan. Hal itu terjadi seiring meningkatkan kapasitas jaringan pipa yang terpasang di Cekungan Permian.

"Artinya, pada awal 2020, pasar dapat kembali ke kondisi kelebihan pasokan," ujar Gammel.

Mengakhiri 2018, AS memang akan mengukuhkan posisinya sebagai produsen minyak terbesar dunia, di atas Rusia dan Arab Saudi. Sejumlah analis dari RBC Capital Market menilai Pasokan dan permintaan global seharusnya mencapai kondisi keseimbangan tahun depan.

Kondisi ini membaik setelah sebelumnya pasar berada di kondisi kelebihan atau kekurangan pasokan yang lama sejak awal dekade terakhir. "Apakah hal itu cukup untuk membuat investor yang gelisah kembali ke pasar tetap menjadi topik hari ini," demikian dikutip Reuters dari catatan RBC Capital Markets.(sfr/agt)

Sumber : CNN Indonesia
PT Rifan Financindo

Kamis, 13 Desember 2018

Rupiah Menguat ke Rp14.545 per Dolar AS Meski Minim Sentimen | Rifanfinancindo

Rupiah Menguat ke Rp14.545 per Dolar AS Meski Minim Sentimen
Rifanfinancindo -- Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.545 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Kamis (13/12) pagi. Posisi ini menguat 52 poin atau 0,36 persen dibanding Rabu (12/12) yang di Rp14.598 per dolar AS.

Di kawasan Asia, beberapa mata uang masih berada di zona hijau bersama rupiah, seperti won Korea Selatan yang menguat 0,29 persen, peso Filipina 0,14 persen, baht Thailand 0 11 persen, dan dolar Singapura 0,01 persen.

Namun, ringgit Malaysia stagnan. Sedangkan dolar Hong Kong melemah 0,01 persen dan yen Jepang minus 0,09 persen.


Sementara beberapa mata uang utama negara maju yang kemarin menguat dari dolar AS, kini justru terperosok ke zona merah. Poundsterling Inggris melemah 0,09 persen, dolar Kanada minus 0,05 persen, dolar Australia minus 0,04 persen, dan euro Eropa minus 0,01 persen.


Meski begitu, franc Swiss dan rubel Rusia masih mampu bertahan di zona hijau, dengan menguat masing-masing 0,02 persen dan 0,03 persen. Meski menguat, Analis CSA Research Institute Reza Priyambada memperkirakan pergerakan rupiah masih akan dibayangi pelemahan.

Pasalnya, rupiah saat ini masih mendapatkan sentimen negatif, salah satunya dari sikap Presiden AS Donald Trump yang akan menuntut China atas tuduhan peretasan dan spionase ekonomi AS.

"Selain itu, pasar juga akan mengantisipasi rapat bank sentral AS, The Federal Reserve pekan depan," katanya, Kamis (13/12).

Dari dalam negeri rupiah juga tidak mendapatkan dukungan. Hal ini membuat penguatan rupiah terbatas dan masih renta terpengaruh sentimen negatif dari global.(uli/agt)

Sumber : CNN Indonesia
Rifanfinancindo

Rabu, 12 Desember 2018

Berbalik Arah, Rupiah Menguat ke Rp14.580 per Dolar AS | Rifan Financindo

Berbalik Arah, Rupiah Menguat ke Rp14.580 per Dolar AS
Rifan Financindo -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.580 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Rabu (12/12) pagi ini. Posisi ini menguat 28 poin atau 0,19 persen dari Selasa (11/12) kemarin yang di Rp14.607 per dolar AS.

Di kawasan Asia, sejumlah mata uang berbalik arah ke zona hijau. Won Korea Selatan menguat 0,24 persen, peso Filipina 0,23 persen, baht Thailand 0,16 persen, dolar Singapura 0,09 persen, dan ringgit Malaysia 0,08 persen.

Sementara dolar Hong Kong stagnan. Sedangkan yen Jepang menjadi satu-satunya mata uang Asia yang bersandar di zona merah dengan melemah 0,06 persen dari dolar AS.

Seluruh mata uang utama negara maju justru kompak bertahan di zona hijau. Dolar Australia menguat 0,25 persen, dolar Kanada 0,14 persen, euro Eropa 0,11 persen, poundsterling Inggris 0,09 persen, franc Swiss 0,05 persen, dan rubel Rusia 0,03 persen.

Kendati rupiah menguat pagi ini, namun Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan rupiah masih berpotensi melemah pada hari ini. Rupiah kemungkinan akan mendapatkan tekanan dari ketidakpastian di pasar global.

Reza mengatakan sebenarnya rupiah mendapatkan topangan dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang memastikan pemerintah kian fokus membangun kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tapi sentimen tersebut tak cukup kuat menopang rupiah.

"Imbas perdagangan valas global membuat potensi penguatan rupiah tertahan dan cenderung dapat kembali melanjutkan pelemahan," ujarnya, Rabu (12/12).

Namun demikian Reza berharap penguatan rupiah Selasa pagi bisa bertahan. "Diharapkan kembali muncul sentimen positif lain dari dalam negeri yang dapat menahan potensi pelemahan," pungkasnya.
(uli/agt)

Sumber : CNN Indonesia Rifan Financindo
 

Selasa, 11 Desember 2018

Harga Minyak Terjungkal Mengikuti Pelemahan Pasar Modal | PT Rifan Financindo

Harga Minyak Terjungkal Mengikuti Pelemahan Pasar Modal
PT Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia merosot hampir dua persen pada perdagangan Senin (10/12), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan mengikuti pelemahan pasar modal global akibat kekhawatiran permintaan.

Dilansir dari Reuters, Selasa (11/12), harga minyak mentah berjangka Brent merosot US$0,75 menjadi US$60,96 per barel. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$0,95 menjadi US$51,66 per barel.

Pelemahan pasar modal global terjadi selama lima hari berturut-turut. Pelemahan pasar modal di Eropa dan Asia meluas hingga ke Wall Street dipicu oleh sinyal sengketa baru antara AS-China yang akan berimbas pada pertumbuhan perekonomian global.


Pasar juga terbebani oleh kebingungan akibat penundaan pemungutan suara terkait kesepakatan Brexit yang dilakukan Perdana Menteri Theresa May. Selain itu, pelemahan juga terjadi akibat merosotnya data perekonomian terbesar dunia termasuk AS, China, Jepang, dan Jerman baru-baru ini.

"Korelasi pasar saham dan pasar minyak kembali pagi ini," ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.

Menurut Kilduff kekhawatiran terkait proyeksi perekonomian dan permintaan minyak global sangat berdampak negatif terhadap pasar. Harga minyak ditutup menanjak tiga persen lebih tinggi pada perdagangan Jumat (7/12) saat Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, yang sepakat memangkas produksi minyaknya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) dari Januari 2019.

Awal pekan ini, Menteri Energi Uni Emirat Arab menyatakan kesepakatan itu akan diteken dalam tiga bulan di Arab Saudi, saat OPEC dan sekutunya akan memutuskan memperpanjang kesepakatan tersebut setelah enam bulan.

"Kesepakatan Jumat lalu sepertinya cukup bagus, atau mungkin kita seharusnya menyebutnya sebagai yang terbaik untuk kondisi saat ini," ujar Ahli Straegi Pasar PVM Oil Associates Tamas Varga.

Namun demikian, menurut Varga, kesepakatan itu tidak akan memberikan dukungan pasar untuk jangka panjang karena itu tidak dapat menguras persediaan minyak global.

Tahun ini, pasar modal global telah merosot hampir delapan persen sejauh ini. Pelemahan tersebut dipicu oleh sentimen terhadap melambatnya pendapatan korporasi dan ancaman meluasnya dampak sengketa dagang antara AS dan China.

Selain itu, terjadi kenaikan tajam laju pertumbuhan pasokan minyak mentah tahun ini di tiga produsen minyak terbesar di dunia Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Rusia. Hal ini membuat para analis tentang prospek permintaan yang tidak dapat menyerap tambahan pasokan minyak tersebut.

"Seperti biasa, harga bukan menjadi target kebijakan OPEC+, namun menurut kami tingkat harga saat ini memenuhi kepentingan dari sebagian besar negara yang berpartisipasi," ujar konsultan JBC Energy.

Analis NBD Edward Bell menilai skala pemangkasan produksi tidak cukup untuk mendorong pasar menjadi defisit.

"Diperkirakan, surplus pasar sekitar 1,2 juta bph akan terjadi pada Kuartal I 2019 dengan level produksi yang baru," ujarnya.

Sebagai informasi, harga minyak telah merosot tajam hampir 30 persen sejak Oktober 2018. Pelemahan tersebut dipicu oleh sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. (sfr/agt)

Sumber : CNN Indonesia
PT Rifan Financindo