Kamis, 09 Mei 2019

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi - PT Rifan Financindo

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi
PT Rifan Financindo Palembang - Bursa saham utama kawasan Asia kompak dibuka di zona merah pada perdagangan Kamis ini (9/5/2019): indeks Nikkei turun 0,51%, indeks Shanghai amblas 0,78%, indeks Hang Seng juga turun 0,56%, indeks Straits Times turun 0,62%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,38%.

Perang dagang AS-China yang kian panas membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Kemarin (8/5/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS secara resmi mengumumkan bahwa bea masuk terhadap produk China senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% dari 10% pada hari Jumat dini hari nanti.

Kenaikan bea masuk itu menyasar berbagai macam produk impor dari China seperti modem komputer dan router, penyedot debu, meubel, lampu, hingga bahan bangunan.

Kenaikan bea masuk tersebut akan terjadi di tengah-tengah pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dan para pejabat AS di Washington, Kamis dan Jumat waktu setempat.

Tak tinggal diam, Beijing mengancam akan membalas langkah AS tersebut.

"Pihak China sangat menyesal bahwa jika kebijakan bea impor AS dilaksanakan, China terpaksa harus mengambil langkah-langkah balasan yang diperlukan," kata Kementerian Perdagangan China di situs webnya tanpa menjelaskan lebih lanjut, dilansir dari Reuters.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa menurut beberapa sumber di pemerintahan AS dan sektor swasta, China telah mundur dari hampir seluruh aspek dalam rancangan perjanjian dagang dengan AS.

China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs. Hal inilah yang membuat pemerintahan AS meradang dan sampai memutuskan untuk menaikkan bea masuk.

Selain itu, rilis data ekonomi China yang mengecewakan masih ikut membebani kinerja bursa saham Asia.

Kemarin, ekspor China periode April diumumkan terkontraksi sebesar 2,7% secara tahunan, jauh lebih buruk dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,3%, seperti dilansir dari Trading Economics.

Jika perang dagang benar tereskalasi nantinya, tentu tekanan terhadap perekonomian China akan menjadi semakin besar. Mengingat status China sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tentunya tekanan terhadap perekonomian China akan berdampak negatif bagi perekonomian dunia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/tas)

Rabu, 08 Mei 2019

Perseteruan AS-China Makin Panas, Entah Sampai Kapan - Rifanfinancindo

Perseteruan AS-China Makin Panas, Entah Sampai Kapan
REUTERS / Jonathan Ernst
Rifanfinancindo Palembang - Hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali panas setelah presiden Donald Trump mengancam akan meningkatkan tarif impor pada barang-barang China.

Padahal, beberapa pekan terakhir santer beredar kabar bahwa kedua ekonomi terbesar di dunia itu sudah hampir melahirkan kesepakatan.

Minggu kemarin, Trump mengeluarkan ancaman baru akan menaikkan bea impor terhadap produk China senilai US$200 miliar menjadi 25% dari 10% pada Jumat pekan ini.

Hal itu karena para pejabat AS merasa China dalam sepekan terakhir telah mengingkari beberapa komitmen penting yang telah dibuat dalam perundingan dagang selama berbulan-bulan belakangan.

Lalu sampai kapankah perang dagang yang telah berlangsung setahun lebih ini akan berakhir? Jawabannya, belum ada yang bisa memastikan.

Namun, beberapa pihak termasuk Pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) yakin bahwa ekonomi dunia akan makin melambat jika perang dagang berlanjut lebih lama. Christine Lagarde bahkan dengan tegas mengatakan China dan AS harus menyelesaikan perang dagang mereka.

"Bagi kami di IMF, sangat penting bahwa ketegangan perdagangan diselesaikan dengan cara yang memuaskan bagi semua pihak karena jelas ketegangan antara Amerika Serikat dan China adalah ancaman bagi ekonomi global," kata Lagarde, mengutip Reuters, Selasa.

Meski Trump kembali meluncurkan ancamannya, beberapa analis Wall Street tetap optimistis kesepakatan dagang akan segera terwujud dan menganggap ancaman Trump hanyalah taktik negosiasi.

Negosiasi perdagangan antara pejabat AS dan China pun masih dijadwalkan untuk dilanjutkan pada Kamis di Washington.

Kementerian Perdagangan China mengatakan Wakil Perdana Menteri Liu He masih akan memimpin delegasi perundingan dari Beijing dan akan berada di Washington selama dua hari.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan rasa saling menghormati antara kedua belah pihak adalah dasar tercapainya perjanjian dagang.

"Kenaikan bea impor tidak dapat menyelesaikan masalah apapun," kata Geng dalam konferensi pers rutin, Selasa (7/5/2019).

"Pembicaraan adalah hal yang biasa terjadi dalam proses perundingan. Normal bagi kedua belah pihak untuk memiliki perbedaan. China tidak akan menghindari masalah dan China tulus ingin melanjutkan pembicaraan," ujarnya. (prm)


 

Selasa, 07 Mei 2019

AS Beringas, Awas China Mulai Panas! - Rifan Financindo

Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Rifan Financindo Palembang - Pasar keuangan Indonesia memulai pekan dengan kurang impresif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah melemah. Meski begitu, pelemahan ini sebenarnya masih lebih baik ketimbang yang terjadi di negara-negara tetangga.
Kemarin, IHSG berakhir dengan koreksi 0,99%. Pelemahan IHSG jauh lebih baik ketimbang Shanghai Composite (-5,58%), Hang Seng (-2,9%), atau Straits Times (3%).  

Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,28% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Saat perdagangan di pasar spot valas Indonesia berakhir, rupiah bukanlah yang terlemah di Asia karena di bawah mata uang Tanah Air ada peso Filipina, yuan China, rupee India, dan won Korea Selatan. 

Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,9 basis poin (bps). Kenaikan yield menunjukkan harga instrumen ini sedang turun karena tertekan aksi jual.  

Mencari selamat. Itu adalah tema besar di pasar keuangan Benua Kuning kemarin. Maklum, memang sedang ada risiko besar yang mengintai perekonomian dunia.
Adalah Presiden AS Donald Trump yang membuat pasar keuangan global gempar. Dalam cuitannya di Twitter, eks taipan properti itu mengungkapkan bahwa AS tetap akan menaikkan bea masuk bagi importasi produk-produk made in China. Selain itu, produk yang belum dikenakan bea masuk nantinya akan mulai disasar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Kepanikan pun terjadi. Reaksinya knee-jerk saja, melepas aset-aset berisiko di negara berkembang Asia (termasuk Indonesia) untuk berlindung ke aset aman seperti dolar AS dan yen Jepang.
Sampai akhir pekan lalu, harapan damai dagang AS-China masih begitu terbuka. Bahkan delegasi China masih melakukan dialog dengan perwakilan AS di Washington.
Namun utas (thread) cuitan Trump tersebut membuat semuanya seolah buyar. AS ternyata masih galak kepada China. Sesuatu yang sangat mungkin membuat Beijing murka.
Mengutip Wall Street Journal, sumber di lingkaran dalam pemerintah China menegaskan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk membatalkan proses negosiasi dagang dengan AS. Setiap aksi menimbulkan reaksi, apa yang dilakukan Trump sudah menciptakan 'api'.
Harapan damai dagang perlahan berganti menjadi kekhawatiran dimulainya kembali perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Hal ini tentu sangat membuat investor cemas, sehingga tidak ada yang berani mengambil risiko.
Sedangkan dari dalam negeri, rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 tidak banyak membantu. Sepanjang Januari-Maret, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju paling lemah sejak kuartal I-2018.
Angka tersebut lumayan jauh dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan 5,19% sementara konsensus Reuters berada di 5,18%.
'Penonton' pun kecewa karena tidak mendapat hasil sesuai harapan. Akibatnya, IHSG dkk tidak punya dorongan untuk memperbaiki nasib.(aji/aji)


Sumber : CNBC



Senin, 06 Mei 2019

Perang Dagang Bergelora Lagi, Hang Seng & Shanghai Terperosok - PT Rifan Financindo

Perang Dagar Bergelora Lagi, Hang Seng & Shanghai Terperosok
Foto: CNBC Indonesia
PT Rifan Financindo Palembang - Indeks acuan bursa saham Negeri Tiongkok dibuka di zona merah pada perdagangan hari ini, Senin (6/5/2019).

Indeks Hang Seng (HSI) anjlok 2,46% ke level 29.342,38 yang merupakan harga pembukaan terendah sejak 22 Maret 2019. Sementara itu, indeks Shanghai (SSEC) dibuka terkoreksi 0,32% menjadi 3.052,62 poin.

Bursa saham di Benua Kuning, tidak terkecuali China dan Hong Kong, akan diselimuti hawa negatif dari indikasi tersulutnya kembali perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Padahal pekan lalu, putaran negosiasi dagang di Beijing baru saja selesai dengan hasil yang produktif.

Pasalnya, Presiden AS Donald Trump pada Minggu (5/5/2019) mengatakan tarif masuk berbagai produk China senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% Jumat mendatang.

"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat.

Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.

Dikarenakan aksi Trump tersebut, perwakilan dagang China yang rencananya akan melanjutkan dialog dagang pekan ini di Washington mempertimbangkan untuk membatalkan kunjungannya, dilansir Wall Street Journal.

Sentimen perang dagang, berhasil mengalahkan sentimen domestik yang positif.

Angka Purchasing Manager's Index (PMI) China versi caixin pada bulan April mencapai 52,7 poin, yang artinya masih menunjukkan ekspansi. Lalu untuk PMI sektor Jasa bulan April tercatat 54,5 poin, lebih tinggi dari konsensus pasar sebesar 52,8 poin, , dilansir Trading Economics.

Sementara itu, Angka Purchasing Manager's Index (PMI) Hong Kong versi nikkei pada bulan April mencapai 48,4 poin, meningkat dibanding pencapaian bulan Maret di level 48 poin, dilansir Trading Economics.

Pada hari ini tidak ada rilis data ekonomi dari China dan Hong Kong.

TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)


 

Jumat, 03 Mei 2019

Setelah Tertekan Akibat ,Harga Emas Rebound - Rifanfinancindo

Setelah Tertekan Akibat The Fed, Harga Emas Rebound
Rifanfinancindo Palembang - Setelah terkoreksi cukup dalam pada perdagangan Kamis (2/5/2019) kemarin, pergerakan harga emas dunia masih cenderung terbatas pada hari Jumat (3/5/2019).

Pada pukul 08:20 WIB, harga emas kontrak pengiriman Juni di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat tipis 0,06% menjadi US$ 1.272,8/troy ounce, setelah amblas 0,95% kemarin.

Adapun harga emas di pasar spot naik terbatas 0,08% ke posisi US$ 1.271,47/troy ounce setelah terkoreksi 0,46% kemarin.

Potensi rebound teknikal memang biasanya meningkat setelah harga jatuh cukup dalam. Hal ini yang kemungkinan terjadi pada harga emas hari ini. Pasalnya, sentimen yang ada masih membebani harga emas.

Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed kemarin mengumumkan hasil rapat bulanan dengan nada-nada yang agaknya lebih agresif dari biasanya.

Meskipun keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25%-2,5% sudah diprediksi. Namun pernyataan Gubernur The Fed, Jerome Powell membuat pasar agak terkejut.

"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.

"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.

Pernyataan tersebut meruntuhkan ekspektasi pelaku pasar akan kemungkinan The Fed untuk menurunkan suku bunga. Bila suku bunga The Fed tak turun, artinya dolar AS masih akan mempertahankan keperkasaannya. Investor pun cenderung melarikan asetnya pada instrumen-instrumen berbasis dolar.

Alhasil nilai Dollar Index (DXY) yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia menguat hingga 0,15% kemarin.

Saat dolar perkasa, daya tarik emas di mata para investor akan berkurang. Sebab emas di pasar global ditransaksikan dengan dolar. Harga emas pun menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing.


TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/prm)