PT Rifan Financindo - Pertanyaan mengenai apakah
ekonomi dunia akan terjerat ke dalam resesi semakin ramai
diperbincangkan. Apa lagi saat perlambatan semakin nyata terlihat.
Pada
akhir pekan lalu, kabar baik dari perang dagang antara Amerika Serikat
(AS) dengan China cukup mampu menenangkan pasar. Setelah melakukan
pembicaraan dagang di Washington, kedua ekonomi terbesar dunia itu
menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kesepakatan dagang.
Selain
itu, dari Eropa, Inggris juga diperkirakan akan mencapai kesepakatan
sebelum keluar dari Uni Eropa. Brexit sebelumnya dijadwalkan terjadi 31
Oktober ini.
Namun begitu, perdebatan tentang seberapa dekat dunia dengan resesi pertamanya sejak 2009 masih tetap ada.
Hal
ini diperkuat oleh hasil perhitungan Bloomberg Economics, yang
menunjukkan ekonomi global telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal
ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.
Ketua Dana Moneter
Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga telah menyatakan bahwa ia
memperkirakan ekonomi akan menghadapi semakin banyak risiko serius ke
depannya. Lembaga ini pada Selasa, diperkirakan akan memangkas perkiraan
pertumbuhan global 2019 dari 3,2%, yang merupakan level terlemah sejak
2009.
Investor obligasi jelas mengkhawatirkan keadaan ini karena
imbal hasil obligasi telah negatif. Namun, investor saham justru
sebaliknya, karena MSCI World Index telah mencatatkan kenaikan 14% tahun
ini.
Perang Dagang dan Geopolitik
Menurut Tom Orlik, kepala ekonom di Bloomberg
Economics, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan dapat memicu
resesi pada 2020, di antaranya adalah:
Perang Dagang
Perang
dagang yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini antara AS dengan
China telah membuat pertumbuhan global berada di bawah tekanan. Pada
Jumat lalu China telah setuju untuk membeli lebih banyak produk
pertanian AS dan Gedung Putih setuju menunda pengenaan tarif impor lagi.
Namun,
itu berarti perang dagang masih berlangsung dan bea masuk masih ada.
Presiden AS Donald Trump juga masih bisa mengenakan tarif impor pada
negara yang ia tuduh telah melakukan praktik dagang yang tidak adil,
termasuk melakukan pencurian kekayaan intelektual itu.
Perlambatan di sektor manufaktur
Tidak
diragukan lagi produsen telah menjadi korban perang dagang terbesar,
dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama lima bulan
berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang
terus mengalami tekanan, menyebabkan negara yang bergantung pada ekspor,
seperti Jerman dan Jepang, menderita. Berbagai bisnis juga banyak
melakukan efisiensi dan investasi di sektor non-perumahan AS menyusut
pada kuartal kedua, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Saat ini,
sektor jasa juga dikhawatirkan akan terdampak.
Geopolitik
Selain
perang dagang AS-China, isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau
Brexit juga masih menjadi kekhawatiran. Selain itu, AS juga memiliki
perselisihan dengan Iran setelah terjadi serangan drone ke ladang minyak
Arab Saudi, dan serangan ke kapal tanker minyak Iran pada Jumat. Hal
ini berisiko meningkatkan harga minyak.
Lebih lanjut, konflik di
Suriah dan demo Hong Kong juga turut memberatkan. Argentina sedang
menghadapi krisis fiskal lagi dan tampaknya akan terjadi pergantian
pemerintah. Selain itu, Ekuador, Peru dan Venezuela juga memiliki
masalah politik. Penyelidikan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump
juga perlu diperhitungkan.
Laba Terhenti ke Negara yang Goyah
Pertumbuhan laba terhenti
Pertumbuhan
laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan
menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia. Di
balik tekanan pendapatan, terjadi kenaikan upah pekerja, pertumbuhan
produktivitas loyo, dan kurangnya daya harga secara umum. Bahayanya
adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat lebih sedikit laba,
bisa mengurangi pekerja mereka, mengganggu kepercayaan konsumen dan
melakukan penghematan.
Bank Sentral terjepit
Kebijakan
moneter mungkin lebih longgar saar ini daripada di awal tahun. Tetapi,
bank sentral masih dianggap kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus
mungkin terlalu lambat dalam bertindak. Bank sentral AS Federal Reserve
telah memangkas suku bunga acuannya sekitar 500 basis poin, pelonggaran
pertama sejak awal 1990-an. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan
juga sudah menetapkan suku bunga negatif dan sedang mempertimbangkan
langkah ke depannya.
Pemerintah yang goyah
Berbagai
lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), mendesak pemerintah
untuk melonggarkan anggaran. Tetapi, tanda-tanda menunjukkan bahwa
kebijakan fiskal akan reaktif bukan proaktif. Meskipun Morgan Stanley
memperkirakan defisit fiskal primer telah meningkat menjadi 3,5% dari
produk domestik bruto (PDB) di negara-negara besar, dari 2,4% tahun
lalu, namun lembaga itu melihat peningkatannya hanya menjadi 3,6% tahun
depan. Beberapa pemerintah telah membelanjakan lebih banyak, tetapi
China dan Jerman, yang sama-sama memiliki ruang untuk menyuntikkan lebih
banyak stimulus fiskal, justru menahan diri. Sementara Jepang baru saja
menaikkan pajak penjualannya.
Alasan Untuk Tidak Perlu Khawatir
Meski begitu banyak kekhawatiran menghantui,
namun masih ada banyak alasan untuk tidak khawatir. Di antaranya adalah:
Amerika Serikat
Sebuah
model yang dibuat oleh Bloomberg Economics memperhitungkan risiko
resesi AS tahun depan hanya 25%, dan jika ekonomi terbesar dunia itu
bisa tetap tumbuh, maka akan bisa menjadi penawar bagi ekonomi negara
lain. Beberapa pakar juga memproyeksikan risiko resesi akan lebih rendah
daripada sebelumnya untuk AS. Itu berarti ekonomi dapat melampaui 1,5%.
Selain itu, ekonomi AS diperkirakan akan tetap kuat meski perdagangan
global terpukul.
Konsumsi tetap tinggi
Konsumen
Amerika tetap menjadi pilar pertumbuhan. Selain itu, tingkat
pengangguran juga masih di level terendah dalam lima dekade. Meski pasar
tenaga kerja sedikit kurang, namun belanja rumah tangga masih tinggi.
Conference Board minggu ini melaporkan bahwa indeks kepercayaan konsumen
globalnya tetap mendekati rekor tertinggi.
Kebijakan Bank Sentral
The
Fed telah memangkas suku bunga dua kali tahun ini dan dapat
melakukannya lagi bulan ini, sementara ECB telah mendorong suku bunga
simpanan lebih jauh di bawah nol dan meluncurkan kembali program
pembelian obligasi. Bank of Japan juga mempertimbangkan untuk melakukan
lebih banyak stimulus. Bank sentral lain di India, Australia, Korea
Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga berencana melakukan lebih banyak
pelonggaran.
China
China mungkin tidak
begitu meningkatkan stimulusnya karena khawatir akan meningkatkan
tingkat utang. Tetapi, keputusan itu masih bisa berubah jika diperlukan.
Negara ini sudah memangkas jumlah kas bank yang harus disimpan dalam
cadangan ke level terendah sejak 2007. Pengeluaran infrastruktur oleh
pemerintah daerah juga diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dan
investasi negara juga demikian.
Ekses terkendali
Perlambatan
sebelumnya terjadi karena koreksi ekses seperti kenaikan inflasi pada
1980-an, pecahnya gelembung teknologi di AS pada awal abad ini atau
runtuhnya sektor perumahan dalam satu dekade kemudian. Kali ini, inflasi
umumnya lemah dan meski harga saham naik, kenaikannya bisa dibilang
tidak berada di wilayah yang mengkhawatirkan. Meskipun harga rumah di
Kanada dan Selandia Baru tinggi, namun rumah tangga di banyak negara
telah mengurangi leverage. (sef/sef)