Rabu, 16 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya

Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
PT Rifan Financindo Berjangka - Beberapa lembaga dana pensiun publik terbesar di Amerika Serikat (AS) mengatakan sedang meninjau keputusan Pemerintah Presiden AS Donald Trump yang memasukkan beberapa perusahaan China ke dalam daftar hitam (blacklist). Alasannya, karena mereka ternyata berinvestasi di perusahaan yang masuk daftar hitam itu.

Dimasukkannya perusahaan-perusahaan China ke dalam daftar entitas berarti mereka akan membutuhkan izin dari pemerintah AS untuk membeli perangkat dari perusahaan AS. Alasan dimasukannya perusahaan-perusahaan itu ke daftar blacklist adalah karena masalah pelanggaran HAM yang dilakukan China terhadap etnis Uighur dan Islam minoritas.

Beberapa perusahaan yang masuk daftar hitam di antaranya adalah Hangzhou Hikvision Digital Technology Co dan tujuh perusahaan lain. Mereka diduga terlibat masalah pelanggaran HAM tersebut.

Salah satu lembaga yang berinvestasi di perusahaan China yang di-blacklist adalah Sistem Pensiun Guru California (CalSTRS). Lembaga ini berinvestasi di Hikvision.

"Kami sedang melacak situasi mengingat perkembangan baru ini dengan pengumuman Departemen Perdagangan," kata seorang juru bicara CalSTRS dalam email.

CalSTRS memiliki 4,35 juta saham di Hikvision per 30 Juni 2018, menurut data terakhir yang tersedia. Dari semua bentuk kepemilikan, CalSTRS berarti memiliki aset senilai US$ 24 juta.

STRS Bagian New York juga memiliki saham Hikvision. Kepemilikannya pada akhir Juni adalah sebanyak 81.802 saham, naik dari 26.402 saham pada akhir 2018, kata lembaga itu.

"Kepemilikan kami terutama dipegang berdasarkan bobotnya dalam portofolio pasif yang cocok dengan indeks MSCI ACWI ex-AS, tolok ukur kebijakan kami. Kami sedang memantau situasi," kata juru bicara lembaga itu. Indeks MSCI All Country World Index (ACWI) ex-AS termasuk saham dari 22 pasar maju dan berkembang.

Lembaga dana investasi besar lainnya yang berinvestasi dalam saham Hikvision adalah Sistem Pensiun Florida (FRS), yang memiliki 1,8 juta saham pada akhir Juni.

Seorang juru bicara untuk dana tersebut mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan manajer uang eksternal terkait dengan masalah ini untuk memenuhi semua persyaratan peraturan dan fidusia.

Menanggapi hal itu, konsultan risiko mengatakan otoritas Amerika harus memperhatikan masalah ini karena terkait banyak warga AS.

"Hikvision telah muncul sebagai anak poster perusahaan untuk memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia China, di mana kamera pengawasnya terpajang di atas dinding kamp penahanan yang memenjarakan sekitar satu juta atau lebih warga Uighur di Xinjiang," kata Roger Robinson, presiden dan CEO lembaga konsultasi risiko yang berbasis di Washington DC, RWR Advisory Group.

Selain Hikvision, satu perusahaan lain di antara delapan yang masuk daftar hitam, yang menjadi tempat investasi lembaga dana pensiun besar AS, adalah iFlytek Co Ltd. Sahamnya dimiliki oleh lembaga dana di Florida, Negara Bagian New York serta CalSTRS dan Sistem Pensiun Pegawai Negeri California (CalPERS) secara tidak langsung melalui iShares MSCI Emerging Markets ETF pada tanggal pengungkapan terakhir mereka. (sef/sef)
 

Selasa, 15 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Benarkah Ekonomi Dunia Menuju Resesi Pertama Sejak 2009?

PT Rifan Financindo - Pertanyaan mengenai apakah ekonomi dunia akan terjerat ke dalam resesi semakin ramai diperbincangkan. Apa lagi saat perlambatan semakin nyata terlihat.

Pada akhir pekan lalu, kabar baik dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China cukup mampu menenangkan pasar. Setelah melakukan pembicaraan dagang di Washington, kedua ekonomi terbesar dunia itu menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kesepakatan dagang.

Selain itu, dari Eropa, Inggris juga diperkirakan akan mencapai kesepakatan sebelum keluar dari Uni Eropa. Brexit sebelumnya dijadwalkan terjadi 31 Oktober ini.

Namun begitu, perdebatan tentang seberapa dekat dunia dengan resesi pertamanya sejak 2009 masih tetap ada.

Hal ini diperkuat oleh hasil perhitungan Bloomberg Economics, yang menunjukkan ekonomi global telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.

Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga telah menyatakan bahwa ia memperkirakan ekonomi akan menghadapi semakin banyak risiko serius ke depannya. Lembaga ini pada Selasa, diperkirakan akan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari 3,2%, yang merupakan level terlemah sejak 2009.


Investor obligasi jelas mengkhawatirkan keadaan ini karena imbal hasil obligasi telah negatif. Namun, investor saham justru sebaliknya, karena MSCI World Index telah mencatatkan kenaikan 14% tahun ini. 

Perang Dagang dan Geopolitik
Menurut Tom Orlik, kepala ekonom di Bloomberg Economics, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan dapat memicu resesi pada 2020, di antaranya adalah:

Perang Dagang

Perang dagang yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini antara AS dengan China telah membuat pertumbuhan global berada di bawah tekanan. Pada Jumat lalu China telah setuju untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan Gedung Putih setuju menunda pengenaan tarif impor lagi.

Namun, itu berarti perang dagang masih berlangsung dan bea masuk masih ada. Presiden AS Donald Trump juga masih bisa mengenakan tarif impor pada negara yang ia tuduh telah melakukan praktik dagang yang tidak adil, termasuk melakukan pencurian kekayaan intelektual itu.

Perlambatan di sektor manufaktur

Tidak diragukan lagi produsen telah menjadi korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang terus mengalami tekanan, menyebabkan negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jerman dan Jepang, menderita. Berbagai bisnis juga banyak melakukan efisiensi dan investasi di sektor non-perumahan AS menyusut pada kuartal kedua, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Saat ini, sektor jasa juga dikhawatirkan akan terdampak.

Geopolitik

Selain perang dagang AS-China, isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga masih menjadi kekhawatiran. Selain itu, AS juga memiliki perselisihan dengan Iran setelah terjadi serangan drone ke ladang minyak Arab Saudi, dan serangan ke kapal tanker minyak Iran pada Jumat. Hal ini berisiko meningkatkan harga minyak.

Lebih lanjut, konflik di Suriah dan demo Hong Kong juga turut memberatkan. Argentina sedang menghadapi krisis fiskal lagi dan tampaknya akan terjadi pergantian pemerintah. Selain itu, Ekuador, Peru dan Venezuela juga memiliki masalah politik. Penyelidikan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump juga perlu diperhitungkan. 

Laba Terhenti ke Negara yang Goyah
Pertumbuhan laba terhenti

Pertumbuhan laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia. Di balik tekanan pendapatan, terjadi kenaikan upah pekerja, pertumbuhan produktivitas loyo, dan kurangnya daya harga secara umum. Bahayanya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat lebih sedikit laba, bisa mengurangi pekerja mereka, mengganggu kepercayaan konsumen dan melakukan penghematan.

Bank Sentral terjepit

Kebijakan moneter mungkin lebih longgar saar ini daripada di awal tahun. Tetapi, bank sentral masih dianggap kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus mungkin terlalu lambat dalam bertindak. Bank sentral AS Federal Reserve telah memangkas suku bunga acuannya sekitar 500 basis poin, pelonggaran pertama sejak awal 1990-an. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan juga sudah menetapkan suku bunga negatif dan sedang mempertimbangkan langkah ke depannya.

Pemerintah yang goyah

Berbagai lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran. Tetapi, tanda-tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan reaktif bukan proaktif. Meskipun Morgan Stanley memperkirakan defisit fiskal primer telah meningkat menjadi 3,5% dari produk domestik bruto (PDB) di negara-negara besar, dari 2,4% tahun lalu, namun lembaga itu melihat peningkatannya hanya menjadi 3,6% tahun depan. Beberapa pemerintah telah membelanjakan lebih banyak, tetapi China dan Jerman, yang sama-sama memiliki ruang untuk menyuntikkan lebih banyak stimulus fiskal, justru menahan diri. Sementara Jepang baru saja menaikkan pajak penjualannya.

Alasan Untuk Tidak Perlu Khawatir
Meski begitu banyak kekhawatiran menghantui, namun masih ada banyak alasan untuk tidak khawatir. Di antaranya adalah:

Amerika Serikat

Sebuah model yang dibuat oleh Bloomberg Economics memperhitungkan risiko resesi AS tahun depan hanya 25%, dan jika ekonomi terbesar dunia itu bisa tetap tumbuh, maka akan bisa menjadi penawar bagi ekonomi negara lain. Beberapa pakar juga memproyeksikan risiko resesi akan lebih rendah daripada sebelumnya untuk AS. Itu berarti ekonomi dapat melampaui 1,5%. Selain itu, ekonomi AS diperkirakan akan tetap kuat meski perdagangan global terpukul.

Konsumsi tetap tinggi

Konsumen Amerika tetap menjadi pilar pertumbuhan. Selain itu, tingkat pengangguran juga masih di level terendah dalam lima dekade. Meski pasar tenaga kerja sedikit kurang, namun belanja rumah tangga masih tinggi. Conference Board minggu ini melaporkan bahwa indeks kepercayaan konsumen globalnya tetap mendekati rekor tertinggi.

Kebijakan Bank Sentral

The Fed telah memangkas suku bunga dua kali tahun ini dan dapat melakukannya lagi bulan ini, sementara ECB telah mendorong suku bunga simpanan lebih jauh di bawah nol dan meluncurkan kembali program pembelian obligasi. Bank of Japan juga mempertimbangkan untuk melakukan lebih banyak stimulus. Bank sentral lain di India, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga berencana melakukan lebih banyak pelonggaran.

China

China mungkin tidak begitu meningkatkan stimulusnya karena khawatir akan meningkatkan tingkat utang. Tetapi, keputusan itu masih bisa berubah jika diperlukan. Negara ini sudah memangkas jumlah kas bank yang harus disimpan dalam cadangan ke level terendah sejak 2007. Pengeluaran infrastruktur oleh pemerintah daerah juga diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dan investasi negara juga demikian.

Ekses terkendali

Perlambatan sebelumnya terjadi karena koreksi ekses seperti kenaikan inflasi pada 1980-an, pecahnya gelembung teknologi di AS pada awal abad ini atau runtuhnya sektor perumahan dalam satu dekade kemudian. Kali ini, inflasi umumnya lemah dan meski harga saham naik, kenaikannya bisa dibilang tidak berada di wilayah yang mengkhawatirkan. Meskipun harga rumah di Kanada dan Selandia Baru tinggi, namun rumah tangga di banyak negara telah mengurangi leverage. (sef/sef)

Senin, 14 Oktober 2019

Rifan Financindo - Morgan Stanley: AS-China Belum Kelar, Waspada & Berisiko

Morgan Stanley: AS-China Belum Kelar, Waspada & Berisiko
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
Rifan Financindo - Kesepakatan parsial, bukan menyeluruh, yang dihasilkan AS dan China dianggap perlu di waspadai. Pasalnya deal yang dihasilkan berisiko karena tidak pasti.

Belum lagi, tidak adanya pernyataan dari kedua negara terhadap penundaan tarif yang tengah berlaku saat ini dan Desember nanti.
Baik AS dan China, hanya setuju menunda kenaikan tarif untuk Oktober 2019 ini.

"Belum ada arahan yang jelas soal pengurangan tarif yang tekah berlaku sekarang dan eskalasinya mengindikasikan ada risiko yang berarti," kata Morgan Stanley dalam sebuah catatan dikutip CNBC International, Minggu (13/10/2019).

Bank investasi itu menilai hal ini masih akan berisiko pada pertumbuhan ekonomi global. Sehingga pihaknya tidak melihat adanya rebound yang berarti terutama untuk banyak entitas bisnis.

"Jika AS mempertahankan perspektif menghentikan ekspansi China, perang dagang tentu akan berlanjut," kata perusahaan itu.

Sebelumnya dalam pernyataan pers, Presiden AS Donald Trump mengatakan pihaknya akan menunda kenaikan tarif 30% dari semula 25% pada US$ 250 miliar barang asal China. Dikatakannya draf tertulis akan diselesaikan dalam tiga minggu ke depan.

Perang Dagang AS-China Belum Selesai & Beresiko
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
Dalam fase pertama ini, kesepakatan perdagangan juga dibuat. Di mana AS akan membeli US$ 40 miliar -US$ 50 miliar produk pertanian China.

Evercore juga menilai perang dagang belum berakhir. "Kami tidak melihat pemotongan tarif bahkan di 2020 nanti, tapi kami siap untuk terkejut," katanya.

Ditegaskan bank investasi itu, selama tarif masih ada, Evercore menilai hubungan AS dan China masih buruk. "Tidak baik," tulis perusahaan itu.

Goldman Sachs melihat ada kemungkinan hingga 60%, bahwa kenaikan tarif 15% pada barang China per 15 Desember nanti akan benar diberlakukan. Meski demikian, lembaga ini mnegharap pemerintah AS akan mengambil langkah penundaan hingga 2020.

Sementara itu, JP Morgan mengatakan perjanjian awal ini merupakan perkembangan positif. Meski kesepakatan menghilangkan risiko penurunan ekonomi di kuartal berikutnya, namun perlambatan ekonomi tetap jadi tren.

Industri perbankan misalnya hanya akan tumbuh 6,2% pada 2019 dan 5,9% pada 2020.(sef/sef)
Sumber : CNBC

Jumat, 11 Oktober 2019

PT Rifan - Damai Dagang di Depan Mata, Bursa Tokyo Ceria

Damai Dagang di Depan Mata, Bursa Tokyo Ceria
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
PT Rifan - Bursa Tokyo dibuka naik pada Jumat pagi ini (11/10/19) karena investor mendapat angin segar dari pertemuan tingkat tinggi bidang perdagangan yang sedang berlangsung antara pejabat Amerika Serikat (AS) dengan China di Washington DC.

Data perdagangan mencatat, indeks acuan Nikkei 225 naik 0,69% atau 149,21 poin menjadi 21.701,19 pada awal perdagangan, sementara indeks Topix dengan bobot yang lebih luas naik 0,54% atau 8,48 poin menjadi 1.589,90.

Pada hari Kamis dan Jumat waktu setempat, para perwakilan dagang dari China dijadwalkan untuk melakukan pembicaraan dagang dengan perwakilan AS. Kedua ekonomi terbesar dunia itu berupaya untuk menghasilkan kesepakatan yang bisa mengakhiri perang tarif mereka.

Kabar baik ini diperkuat oleh pengumuman Presiden AS Donald Trump yang lewat akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump mengatakan akan bertemu langsung dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada Jumat demi menghasilkan kesepakatan.

"Hari besar negosiasi dengan China. Mereka ingin membuat kesepakatan, apakah saya juga? Saya akan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri besok di Gedung Putih," katanya, mengutip CNBC International.

Akibat komentar Trump ini, bursa Wall Street AS juga menguat pada penutupan pagi waktu Indonesia.

Indeks Dow Jones naik 0,6% menjadi 26.496,67. Sementara S&P 500 naik 0,6% ke 2.938,13 dan Nasdaq ditutup di 7.950,78. (tas/tas)

Kamis, 10 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Negosiasi Dagang Bikin Grogi, Bursa Saham China Melemah

Negosiasi Dagang Bikin Grogi, Bursa Saham China Melemah
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo Berjangka - Bursa saham China dan Hong Komg mengawali perdagangan hari ini, Kamis (10/10/2019), di zona merah. Pada pembukaan perdagangan, indeks Shanghai melemah 0,04% ke level 2.923,71, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,22% ke level 25.625,57.

Kekhawatiran bahwa negosiasi dagang tingkat tinggi antara AS dan China akan berakhir dengan buruk menjadi faktor utama yang memantik aksi jual di bursa saham China dan Hong Kong. Untuk diketahui, pada hari ini waktu setempat kedua negara akan menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington.

Pemberitaan dari South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa AS dan China tak menghasilkan perkembangan apapun kala perbincangan tingkat deputi digelar pada awal pekan ini.


SCMP kemudian menyebut bahwa delelegasi pimpinan Wakil Perdana Menteri China Liu He hanya akan menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi dengan delegasi AS selama satu hari dan akan kembali ke Beijing pada hari Kamis. Untuk diketahui, sebelumnya delegasi China dijadwalkan kembali ke Beijing pada hari Jumat (11/10/2019).

Masalah transfer teknologi secara paksa yang ditolak untuk dirundingkan oleh pihak China menjadi dasar dari mandeknya perbincangan antar kedua negara, seperti dilaporkan oleh SCMP.

Dikhawatirkan, perang dagang AS-China justru akan tereskalasi pasca kedua negara selesai menggelar negosiasi tingkat tinggi. Jika ini yang terjadi, perekonomian China hampir bisa dipastikan akan mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

TIM RISET CNBC INDONESIA(ank/ank)