Rifanfinancindo - Pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot
hari ini semakin menjadi. Minimnya sentimen positif membuat mata uang
Tanah Air tidak bisa berbuat banyak.
Pada
Kamis (7/2/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 13.975. Rupiah
sudah melemah 0,42% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari
sebelumnya.
Padahal kala
pembukaan pasar, depresiasi rupiah tipis saja di 0,06%. Seiring
perjalanan pasar, rupiah terus melemah seolah tanpa rem.
Sesaat setelah pembukaan pasar, rupiah berada di
urutan kedua terbawah klasemen mata uang Asia. Namun dengan pelemahan
0,42%, mau tidak mau posisi rupiah melorot menjadi juru kunci.
Memang
yuan China mencatatkan depresiasi lebih dalam. Namun pasar keuangan
Negeri Tirai Bambu masih tutup memperingati Tahun Baru Imlek, sehingga
kurs yuan masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu.
Dolar AS vs Mata Uang Asia
Mata Uang | Kurs | Perubahan (%) |
---|---|---|
USD/HKD | 7.85 | -0.01 |
USD/IDR | 13,975.00 | 0.42 |
USD/INR | 71.62 | 0.11 |
USD/JPY | 109.78 | -0.16 |
USD/KRW | 1,122.77 | 0.20 |
USD/MYR | 4.09 | -0.07 |
USD/PHP | 52.33 | 0.08 |
USD/SGD | 1.36 | 0.01 |
USD/THB | 31.29 | 0.13 |
USD/TWD | 30.79 | 0.03 |
USD/CNY | 6.74 | 0.70 |
Dari
dalam negeri, sentimen negatif buat rupiah adalah penantian investor
terhadap data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang rencananya dirilis
esok hari. Bank Indonesia (BI) memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa
surplus, tetapi defisit di transaksi berjalan (current account) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang
dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini
adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus
modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Dengan
kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan
terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi
rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari.
Selain
itu, harus diakui bahwa penguatan rupiah beberapa waktu terakhir
sedikit 'keterlaluan'. Rupiah menguat hingga 3% terhadap dolar AS sejak
awal tahun. Di hadapan mata uang lain di dunia, rupiah juga menguat
signifikan.
Ini membuat rupiah sangat mungkin terserang
koreksi teknikal. Sebab investor yang sudah menang banyak tentu akan
tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah pun rawan terkena ambil
untung (profit taking).
Sementara
dari faktor eksternal, dolar AS sendiri memang sedang menguat secara
global. Pada pukul 09:13 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini melesat 0,88%.
Menurut
survei Reuters, ternyata dolar AS belum kehilangan pesonanya. Dalam
jajak pendapat yang hasilnya dirilis 2 Februari lalu, investor justru
menambah posisi jangka panjang mereka di mata uang Negeri Paman Sam.
Artinya, pelaku pasar masih percaya terhadap dolar AS.
Pada
pekan terakhir 2018, posisi jangka panjang di dolar AS mencapai US$
32,48 miliar. Naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu US$ 29,72 miliar.
Sepertinya
investor masih ragu terhadap prospek perekonomian di Asia, Eropa, dan
wilayah lainnya. Potensi perlambatan ekonomi di China dan Zona Euro
membuat pemilik modal masih berhasrat untuk memegang dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar