|
Foto: Ilustrasi Mata Uang Yuan dan Dolar AS (REUTERS/Jason Lee) |
PT Rifan Financindo Berjangka - Dolar Amerika Serikat (AS)
selama ini dipandang sebagai mata uang dominan karena jauh lebih banyak
digunakan ketimbang mata uang negara lainnya. Namun belakangan, mata
uang China, yuan, juga mulai menunjukkan kekuatannya.
Yuan telah
meningkat cakupannya dalam cadangan global serta perdagangan
internasional. Hal itu pun dianggap sebagai salah satu langkah awalnya
menggantikan dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Apa lagi
nilai dolar telah melemah tajam dalam beberapa pekan terakhir.
Namun, tidak demikian menurut para analis. Meski keunggulan
yuan di kancah internasional terus meningkat, tapi mata uang Negeri
Tirai Bambu masih jauh tertinggal di belakang untuk dapat menyalip
dominasi dolar AS.
Baik yuan maupun euro, yang terus bersaing dalam penguatan nilai dengan dolar, memiliki kekurangan, kata para analis.
"Namun,
yuan China ditetapkan untuk menjadi lebih menonjol, dan memang
penggunaan globalnya secara bertahap telah naik karena pengaruh ekonomi
negara yang tumbuh," kata para analis, sebagaimana dilaporkan CNBC
International, Kamis (3/9/2020).
Menurut ahli strategi investasi
senior di Vontobel Asset Management, Sven Schubert ada sejumlah faktor
yang bisa meningkatkan dominasi yuan di kancah global, di antaranya
adalah teknologi dan dukungan investasi.
"Faktor-faktor seperti perang teknologi yang semakin memanas
antara AS dan China, serta pengaruh Beijing yang semakin meningkat
melalui inisiatif Belt and Road, juga penting dalam jangkauan dominasi
yuan," kata Schubert.
"Berkat Belt and Road Initiative (BRI) China, pengaruhnya di kawasan
Eurasia dan Afrika meningkat karena mengikat banyak negara ke sistem
ekonominya, yang membuka jalan bagi yuan untuk menemukan jalannya lebih
banyak lagi ke dalam kontrak perdagangan global," katanya.
Belt
and Road Initiative (BRI) adalah proyek ambisius yang bertujuan untuk
membangun jaringan kompleks jalur kereta api, jalan raya, dan laut yang
membentang dari Cina hingga Asia Tengah, Afrika, dan Eropa. Ini juga
bertujuan untuk meningkatkan perdagangan.
Salah satu cara lain
yang bisa meningkatkan dominasi yuan adalah langkah dedolarisasi atau
"buang dolar" yang sedang dilakukan China.
"China dan Rusia telah bekerja sama untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS," kata Schubert.
Menurut
laporan tahunan terbaru dari Bank of Russia, negara tersebut
meningkatkan bagian yuan dalam cadangannya, dari lebih dari 2% pada
tahun 2018 menjadi lebih dari 14% pada tahun 2019. Pada saat yang sama,
negara itu mengurangi bagian dolar AS dari sekitar 30% menjadi 9,7%
saja.
"Aliansi itu telah mengakibatkan bagian dolar dalam
pembayaran perdagangan antara China dan Rusia turun di bawah angka 50%
untuk pertama kalinya pada kuartal pertama tahun 2020," menurut
Schubert. "Secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir, pangsa dolar
dalam penyelesaian perdagangan tersebut turun dari 90% menjadi 46%."
"Diukur
dari segi kepentingan ekonomi, mata uang China saat ini kurang
terwakili. Ini kemungkinan akan berubah seiring waktu," katanya.
Yuan
sendiri kini menjadi mata uang keenam yang paling banyak digunakan
dalam pembayaran internasional, dan digunakan sekitar 20% untuk
transaksi perdagangan China, kata bank DBS yang berbasis di Singapura.
Di
sisi lain, dominasi yuan bisa meningkat karena kini China telah menjadi
mitra dagang terbesar bagi negara-negara ASEAN. Status itu menciptakan
peluang untuk meningkatkan penggunaan yuan dalam penyelesaian
perdagangan lintas batas, kata DBS.
Selain itu, pangsa yuan dalam cadangan global juga naik, dari 1% pada
2016 menjadi sekitar 2% saat ini, menurut data dari Dana Moneter
Internasional (IMF).
Mata uang China juga telah menguat dalam
beberapa pekan terakhir. Yuan dalam negeri diperdagangkan pada level
terkuatnya dalam hampir 16 bulan pada hari Selasa, yaitu di level 6,8239
per dolar, menurut Reuters. Yuan offshore diperdagangkan di 6,8236 per
dolar, level tertinggi sejak Juli 2019.
"Ketika ketegangan
China-AS meningkat, mempromosikan renminbi (yuan) sebagai mata uang
internasional juga dapat membantu China untuk memisahkan diri dari AS,"
kata Eswar Prasad, seorang profesor perdagangan di Cornell University.
"Namun,
tidak mungkin secara serius menyaingi dolar sebagai mata uang dominan
di pasar keuangan global dalam beberapa tahun mendatang."
(sef/sef)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :
Info Lowongan Kerja
Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan