Rabu, 15 Mei 2019

Produksi AS Naik Lagi, Harga Minyak Kembali Loyo - Rifan Financindo

Produksi  AS Naik Lagi, Harga Minyak Kembali Loyo
Rifan Financindo - Setelah menguat lebih dari 1% kemarin (14/5/2019), harga minyak mentah dunia kembali terkoreksi.

Pada perdagangan Rabu (15/5/2019) pukul 08:45 WIB, harga minyak jenis Brent terkoreksi 0,29% ke level US$ 71.03/barel setelah meroket 1,44% kemarin. Adapun harga minyak light sweet (WTI) melemah 0,57% ke posisi US$ 61,43/barel setelah ditutup menguat 1,21% pada perdagangan kemarin.

Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa dua fasilitas pengeboran milik perusahaan minyak kerajaan, Saudi Aramco diserang oleh drone yang dilengkapi bom, mengutip Reuters, Selasa (14/5/2019).

Falih mengatakan serangan tersebut merupakan aksi terorisme yang menargetkan pasokan minyak global. Dirinya juga menuding kelompok bersenjata dari Yaman yang memiliki hubungan dengan Iran sebagai dalang penyerangan tersebut.

Sebelumnya, otoritas uni Emirat Arab (UEA) mengabarkan bahwa telah terjadi sabotase pada empat kapal tanker komersial di dekat perairan Fujairah, yang mana salah satu hub perdagangan international yang terbesar di sekitar Selat Hormuz, mengutip Reuters.

Agensi Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA) Amerika Serikat (AS) mengatakan sabotase tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan atau bekerja untuk Iran. Namun pejabat Iran yang terkait membantah hal tersebut.

Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah membuat pelaku pasar khawatir akan ketersediaan pasokan minyak global. Apalagi diketahui bahwa satu per lima konsumsi minyak mentah dunia didistribusikan dari Timur Tengah melalui Selat Hormuz.

Apabila ada gangguan di wilayah itu, maka distribusi pasokan minyak akan mengalami gangguan dan sulit untuk dilepas ke pasar. Dampaknya, keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) berpotensi semakin gemuk dan mengangkat harga minyak.

Alhasil harga minyak sempat meroket kemarin.

Namun hari ini tampaknya sentimen tersebut sudah mulai pudar.

Kini investor menaruh perhatian pada produksi di tujuh fasilitas produksi minyak serpih (shale oil) AS yang diprediksi meningkat sebesar 83.000 barel/hari pada bulan Juni, berdasarkan keterangan Energy Information Administration (EIA), mengutip Reuters, Selasa (14/5/2019).

Bila benar, maka itu produksi minyak di sana akan menyentuh 8,49 juta barel/hari atau merupakan rekor batu.

Peningkatan produksi AS tentu saja bukan berita baik untuk pasar minyak, karena meningkatkan risiko banjir pasokan yang bisa menekan harga. Sebagai informasi, sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)

Sumber : CNBC
 

Selasa, 14 Mei 2019

Perang Dagang Jilid II, Trader Yen Tetap Bahagia Dong! - PT Rifan Financindo

Perang Dagang Jilid II, Trader Yen Tetap Bahagia Dong!
PT Rifan Financindo Palembang - Kembali berkobarnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China membuat bursa saham global rontok, para investor pun cemas akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi global.

Namun di sisi lain, para trader forex yang bertransaksi di kurs yen Jepang justru diuntungkan. Yen merupakan mata uang yang dianggap safe haven alias minim risiko, bahkan lebih safe haven dari dolar AS.

Ketika terjadi gejolak di pasar, mata uang Jepang ini hampir pasti akan menguat, sehingga mudah diprediksi. Para trader tentu berbondong-bondong membeli yen, yang membuat mata uang lawan-lawannya dalam trading forex keok.

Hal tersebut terlihat sejak pekan lalu, dan Senin kemarin (13/5/19) ketika yen terus menguat melawan dolar AS. Dalam trading, pasangan mata uang ini disimbolkan dengan USD/JPY, sehingga jika yen menguat lawan dolar AS maka USD/JPY akan bergerak turun.


Pada perdagangan Senin kemarin, yen mengakhiri perdagangan di level 109,27/US$, lebih kuat dibandingkan penutupan Jumat (10/5/19) di level 109,94/US$.

Kementerian Keuangan China pada Senin kemarin mengumumkan kenaikan tarif impor sebesar 25% untuk 5.000 produk dari AS dari sebelumnya 10%.

Produk-produk AS lainnya juga akan dikenakan tarif 20% naik dari sebelumnya 5%. Total nilai dari produk yang dikenakan kenaikan tarif impor tersebut sebesar US$ 60 miliar, dan mulai berlaku 1 Juni mendatang.

Dengan demikian, perang dagang jilid II sah dimulai. Kebijakan yang diambil Pemerintah Beijing ini membalas langkah Pemerintah AS di Washington yang menaikkan bea impor menjadi 25% untuk produk China senilai US$ 200 miliar pada Jumat (10/5/19) lalu.

Presiden AS Donald Trump pada pekan lalu juga berencana akan mengenakan tarif 25% lagi untuk produk China dengan total nilai lebih dari US$ 300 miliar. Namun Senin kemarin, Trump menyatakan belum memutuskan hal tersebut.

Di sisi lain, perwakilan dagang AS sudah mulai bersiap membuat proposal pengenaan tarif baru, dan rencananya akan mengadakan dengar pendapat pada 17 Juni mendatang dan akan berlangsung selama sepekan, melansir CNBC International.

Dengan demikian, kemungkinan adanya kenaikan tarif impor baru lagi paling cepat pada 24 Juni atau sebelum pertemuan negara-negara anggota G-20.

Eskalasi hubungan dagang dua negara ini tentu saja semakin berdampak buruk, tetapi tetap saja ada yang mendapat keuntungan.

Sepanjang pekan lalu trader yen jika mengambil posisi jual (short) USD/JPY akan mendapat cuan sekitar 115 pip atau sekitar Rp 15 juta per lot. Pip adalah satuan poin terkecil untuk mewakili perubahan harga dalam trading forex.

Jika bursa saham terus berguguran, yen kemungkinan besar akan terus menguat dan USD/JPY akan terus bergerak turun.

TIM RISET CNBC INDONESIA (tas)



Senin, 13 Mei 2019

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu Juni Ini - Riffinancindo

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu Juni Ini
Rifanfinancindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping kemungkinan akan bertemu di sela-sela pertemuan G20 Juni mendatang di Jepang, kata penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Minggu (12/5/2019).

Ia mengatakan peluang terjadinya pertemuan itu cukup baik namun belum ada rencana konkret kapan delegasi AS dan China akan kembali melanjutkan perundingan dagang.

Negosiasi dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu berakhir Jumat pekan lalu tanpa menghasilkan perjanjian dagang. Perundingan tersebut berlangsung di tengah bayang-bayang penerapan kenaikan bea impor terhadap produk-produk China oleh pemerintahan Trump.


"Perundingan akan berlanjut," kata Kudlow, dilansir dari CNBC International. "Saya akan mengatakan ini: Ada pertemuan G20 di Jepang akhir Juni mendatang dan peluang bahwa Presiden Trump dan Presiden Xi akan bertemu di pertemuan itu cukup baik."

Trump menyebut perundingan pada Jumat lalu berlangsung konstruktif dan mengatakan negosiasi dagang akan berlanjut sembari AS tetap menerapkan bea masuknya. Namun, ia juga menyampaikan bahwa bea impor itu bisa dicabut bergantung pada situasi dan kemajuan yang terjadi di masa depan.

Kudlow dalam wawancara dengan Fox News itu memperkirakan China akan membalas langkah penerapan bea impor AS. Beijing memang telah mengancam akan meluncurkan serangan balasan pekan lalu namun sejauh ini belum melakukannya.

Kudlow juga mengatakan China telah mundur dari beberapa komitmennya yang memaksa Trump mengambil langkah menaikkan bea masuk. Ia merujuk pada pencurian hak kekayaan intelektual dan alih teknologi paksa sebagai isu-isu rumit yang belum berhasil disepakati kedua negara.

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu di Juni
Foto: Wakil Perdana Menteri China Liu He berjabat tangan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di luar kantor Perwakilan Dagang AS di Washington, AS, (9/5/2019). (REUTERS / James Lawler Duggan)
"Negosiasi telah berlangsung terlalu lama dan kami tidak dapat menerima kemunduran sikap apapun," katanya. "Kami tidak yakin China telah cukup berubah, kami akan menanti dan memperhatikan."

Pada Sabtu lalu, Trump memperingatkan China untuk segera menentukan sikapnya dalam polemik dagang ini atau menghadapi langkah yang lebih buruk di masa jabatannya yang kedua setelah pemilu 2020 mendatang.(prm)

Jumat, 10 Mei 2019

Surat Cinta Jinping untuk Trump Bikin Harga Minyak Melesat - Rifan Financindo

Surat Cinta Jinping untuk Trump Bikin Harga Minyak Melesat
Foto: Infografis/10 Kkks Utama Produksi Minyak/Edward Ricardo
Rifan Financindo Palembang - Harga minyak menguat seiring dengan optimisme damai dagang Amerika Serikat (AS)-China yang meningkat di kalangan pelaku pasar. Namun hasil dialog dagang kedua negara yang masih tak pasti menyisakan sentimen negatif yang menahan laju penguatan harga.

Pada perdagangan Jumat (10/5/2019) pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli menguat 0,94% menjadi US$ 71,05/barel, setelah naik tipis 0,01% kemarin (9/5/2019).

Bersamaan dengan itu, harga light sweet (WTI) melesat hingga 1,15% ke level US$ 62,41/barel, setelah terkoreksi 0,86% sehari sebelumnya.

Bila tetap berada di posisi itu hingga akhir sesi perdagangan, maka harga Brent dan WTI akan membukukan penguatan mingguan masing-masing sebesar 0,28% dan 0,76% secara point-to point.

Beberapa analis menduga sentimen positif yang mendorong harga minyak mulai muncul setelah Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa dirinya menerima "surat yang indah" dari Presiden China , Xi Jinping.

"Dia [Xi Jinping] baru saja menulis surat yang indah untuk saya. Saya baru saja menerimanya dan mungkin akan berbicara dengannya melalui telepon. Mari bekerja sama, mari lihat apa yang bisa kita selesaikan," ujar Trump pada hari Kamis (8/5/2019) waktu setempat, mengutip Reuters.

Kabar tersebut tentu saja membuat ketakutan pelaku pasar setidaknya bisa diredam. Masih ada peluang damai dagang benar-benar tercipta.

Sebelumnya, pada hari Minggu (5/5/2019) Trump sempat mengancam akan menaikkan bea impor produk-produk asal China yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) mulai hari Jumat (10/5/2019). Ancaman Trump pun dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Dagang AS yang mengeluarkan pernyataan resmi kenaikan taris tersebut akan mulai berlaku seperti yang Trump katakan.

Pihak AS menuding China telah mangkir dari kesepakatan yang sudah dibuat. Ada beberapa poin dalam draf kesepakatan setebal 150 halaman yang secara sepihak dihapus oleh pihak China. Alhasil tensi perang dagang sempat kembali meningkat pekan ini.

Meski demikian, teka teki perang dagang belum sepenuhnya terpecahkan. Potensi batalnya kesepakatan masih tersisa.

Hari Kamis dan Jumat (9-10/5/2019) waktu setempat, Wakil Perdana Menteri China dijadwalkan kembali berdialog dengan delegasi AS di Washington.

Pelaku pasar masih menanti hasil final dari dialog tersebut. "Hasil dari dialog dagang AS-China masih tidak pasti," ujar Alfonso Esparza, analis pasar senior OANDA, mengutip Reuters.

Jika hasilnya tak sesuai harapan (damai dagang) maka sekali lagi perekonomian global akan mengalami perlambatan, bahkan lebih parah dari yang ada saat ini.

Selain itu harga minyak juga masih mendapat sokongan dari pemangkasan produksi yang dilakukan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Permintaan pun juga diramal meningkat tahun ini.

Berdasarkan data dari lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA), permintaan minyak global akan naik hingga 1,4 juta barel/hari sepanjang tahun 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)


Sumber : CNBC
 

Kamis, 09 Mei 2019

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi - PT Rifan Financindo

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi
PT Rifan Financindo Palembang - Bursa saham utama kawasan Asia kompak dibuka di zona merah pada perdagangan Kamis ini (9/5/2019): indeks Nikkei turun 0,51%, indeks Shanghai amblas 0,78%, indeks Hang Seng juga turun 0,56%, indeks Straits Times turun 0,62%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,38%.

Perang dagang AS-China yang kian panas membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Kemarin (8/5/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS secara resmi mengumumkan bahwa bea masuk terhadap produk China senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% dari 10% pada hari Jumat dini hari nanti.

Kenaikan bea masuk itu menyasar berbagai macam produk impor dari China seperti modem komputer dan router, penyedot debu, meubel, lampu, hingga bahan bangunan.

Kenaikan bea masuk tersebut akan terjadi di tengah-tengah pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dan para pejabat AS di Washington, Kamis dan Jumat waktu setempat.

Tak tinggal diam, Beijing mengancam akan membalas langkah AS tersebut.

"Pihak China sangat menyesal bahwa jika kebijakan bea impor AS dilaksanakan, China terpaksa harus mengambil langkah-langkah balasan yang diperlukan," kata Kementerian Perdagangan China di situs webnya tanpa menjelaskan lebih lanjut, dilansir dari Reuters.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa menurut beberapa sumber di pemerintahan AS dan sektor swasta, China telah mundur dari hampir seluruh aspek dalam rancangan perjanjian dagang dengan AS.

China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs. Hal inilah yang membuat pemerintahan AS meradang dan sampai memutuskan untuk menaikkan bea masuk.

Selain itu, rilis data ekonomi China yang mengecewakan masih ikut membebani kinerja bursa saham Asia.

Kemarin, ekspor China periode April diumumkan terkontraksi sebesar 2,7% secara tahunan, jauh lebih buruk dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,3%, seperti dilansir dari Trading Economics.

Jika perang dagang benar tereskalasi nantinya, tentu tekanan terhadap perekonomian China akan menjadi semakin besar. Mengingat status China sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tentunya tekanan terhadap perekonomian China akan berdampak negatif bagi perekonomian dunia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/tas)