|
Foto: Muhammad Luthfi Rahman |
Rifan Financindo Palembang - Rupiah menunjukkan performa
yang menggembirakan pada hari ini. Pasca sudah 'berpuasa' alias tak
pernah mencetak apresiasi dalam tiga hari perdagangan terakhir, hari ini
rupiah berhasil memukul mundur dolar AS.
Pada pembukaan perdagangan di pasar
spot,
rupiah menguat 0,21% ke level Rp 14.095/dolar AS. Pada pukul 08:20 WIB,
penguatan rupiah telah melebar menjadi 0,25% ke level Rp 14.090/dolar
AS.
Yang lebih menggembirakan lagi, rupiah menjadi mata uang
dengan kinerja terbaik kedua di Asia. Rupiah hanya kalah dari yen yang
mampu menguat sebesar 0,3% melawan
greenback.
Dolar
AS memang sedang loyo pada hari ini, ditunjukkan oleh indeks dolar AS
yang jatuh sebesar 0,08%. Sentimen negatif bagi dolar AS datang dari
rilis risalah (minutes of meeting) pertemuan The Fed edisi Juni 2019.
Melalui
risalah ini, semakin terkonfirmasi bahwa The Fed memiliki intensi untuk
memangkas tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat, kemungkinan pada
bulan ini juga. Para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang
bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga
laju perekonomian.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate
dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan
terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir
dari CNBC International.
Perang dagang antara AS dengan China
menjadi faktor yang dianggap berpotensi membawa guncangan bagi
perekonomian AS. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap
produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China
membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS
senilai US$ 110 miliar.
"Para anggota secara umum setuju bahwa
risiko terhadap prospek perekonomian telah meningkat semenjak pertemuan
pada bulan Mei, utamanya risiko yang berkaitan dengan negosiasi dagang
yang tengah berlangsung dan perlambatan ekonomi di negara-negara lain."
Selain
itu, sinyal kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas
datang dari kekhawatiran yang dirasakan The Fed terkait dengan inflasi
yang terus-menerus berada di bawah target.
"Beberapa anggota juga
melihat bahwa inflasi yang terus-menerus berada di bawah target
berisiko untuk melemahkan ekspektasi inflasi di masa depan yang pada
akhirnya akan memperlambat kenaikan bertahap dari inflasi itu sendiri ke
target yang sebesar 2%," tulis risalah itu lebih lanjut.
Sebagai
informasi, angka inflasi merupakan satu dari dua indikator utama yang
dicermati oleh The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya,
selain juga data tenaga kerja.
Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%. Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, jauh di bawah target The Fed. (ank/hps)