PT Rifan Financindo - Bersiaplah, pekan terpenting
bagi pasar keuangan dunia di tahun 2019 akan segera dimulai. Pada pekan depan, segerombolan sentimen yang luar biasa penting akan datang menghampiri pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Pelaku pasar hanya akan diberi waktu sebentar untuk mencerna setiap sentimen tersebut.
Guna membantu para pelaku pasar mempersiapkan diri, Tim Riset CNBC Indonesia merangkum deretan sentimen yang harus diantisipasi pada pekan depan.
Guna membantu para pelaku pasar mempersiapkan diri, Tim Riset CNBC Indonesia merangkum deretan sentimen yang harus diantisipasi pada pekan depan.
Negosiasi Dagang AS-China
Pertama, ada negosiasi dagang AS-China. Dalam wawancara dengan CNBC International
pada hari Rabu (24/7/2019), Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin
mengatakan bahwa dirinya dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert
Lighthizer akan bertandang ke China pada hari Senin (29/7/2019) untuk
kemudian menggelar negosiasi dagang selama dua hari yang dimulai sehari
setelahnya (Selasa, 30/7/2019).
Walaupun etikat baik kedua negara untuk kembali ke meja perundingan merupakan sesuatu yang sangat positif, namun jalannya negosiasi patut untuk dikawal ketat oleh pelaku pasar. Pasalnya, Mnuchin sendiri mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Kalau negosiasi dagang antar kedua negara tak berjalan dengan mulus, tentu potensi eskalasi perang dagang menjadi tak bisa dikesampingkan. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Walaupun etikat baik kedua negara untuk kembali ke meja perundingan merupakan sesuatu yang sangat positif, namun jalannya negosiasi patut untuk dikawal ketat oleh pelaku pasar. Pasalnya, Mnuchin sendiri mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Kalau negosiasi dagang antar kedua negara tak berjalan dengan mulus, tentu potensi eskalasi perang dagang menjadi tak bisa dikesampingkan. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
The Fed Pangkas Tingkat Suku Bunga Acuan?
Sentimen
kedua yang harus dipantau pelaku pasar adalah hasil pertemuan The
Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Pada tanggal 30 dan 31
Juli waktu setempat, The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan.
Selepas pertemuan selama dua hari usai, bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Jika benar ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan, hal ini terbilang bersejarah lantaran akan menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama dalam lebih dari satu dekade.
Sejatinya, pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed nampak sudah pasti. Namun pertanyaannya: seberapa banyak?
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 28 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan bulan ini adalah sebesar 21,4%.
Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 78,6%. Jika ditotal, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas (baik itu 25 bps maupun 50 bps) sudah mencapai 100%.
Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan bulan ini, bukan 50 bps.
Selepas pertemuan selama dua hari usai, bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Jika benar ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan, hal ini terbilang bersejarah lantaran akan menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama dalam lebih dari satu dekade.
Sejatinya, pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed nampak sudah pasti. Namun pertanyaannya: seberapa banyak?
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 28 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan bulan ini adalah sebesar 21,4%.
Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 78,6%. Jika ditotal, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas (baik itu 25 bps maupun 50 bps) sudah mencapai 100%.
Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan bulan ini, bukan 50 bps.
Salah satu alasannya adalah pasar tenaga kerja AS yang sedang
bergairah. Untuk diketahui, dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan,
The Fed memperhatikan dua indikator utama yakni inflasi dan pasar
tenaga kerja.
Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%. Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, sangat jauh di bawah target The Fed.
Sementara itu, berbicara mengenai pasar tenaga kerja, pada bulan Juni data resmi dari pemerintah AS mencatat bahwa tercipta sebanyak 224.000 lapangan pekerjaan (sektor non-pertanian), jauh mengalahkan konsensus yang sebanyak 162.000 saja, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan Juni juga jauh mengalahkan capaian pada bulan Mei yang sebanyak 72.000 saja.
Kemudian, tingkat pengangguran per akhir Juni diumumkan di level 3,7%, di mana level tersebut berada di dekat kisaran terendah dalam 49 tahun terakhir.
Jadi, kalau dari dua indikator utama yang diperhatikan The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya, terbilang sulit untuk mengharapkan The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif. Walaupun inflasi masih berada jauh di bawah target Powell dan koleganya, pasar tenaga kerja AS saat ini sedang bergairah.
Bank Sentral Jepang Siap Suntik Stimulus Tambahan?
Tak hanya The Fed, pelaku pasar juga perlu memantau hasil pertemuan Bank of Japan (BOJ) selaku bank sentral Jepang yang akan diumumkan pada hari Selasa (30/7/2019).
BOJ menjadi salah satu bank sentral utama dunia yang diprediksi akan mengucurkan stimulus moneter guna memacu perekonomian dan mendorong kenaikan inflasi. Hingga kini, belum jelas stimulus macam apa yang akan diberikan oleh bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut, beserta dengan waktunya.
Mengingat posisi Jepang selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia, arah kebijakan moenter yang diambil bank sentralnya tentu menjadi sangat penting bagi perekonomian dunia.
Kala perekonomian Jepang melaju di level yang relatif tinggi, perekonomian dunia juga bisa dipacu untuk melaju di level yang tinggi. Sebaliknya, kala perekonomian Jepang lesu, perekonomian dunia juga akan mendapatkan tekanan.
Masihkan Penanaman Modal Asing Terkontraksi?
Melansir Refinitiv, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dijadwalkan merilis data realisasi penanaman modal periode kuartal II-2019 pada hari Selasa (30/7/2019). Pelaku pasar akan mencermati betul angka realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI).
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Sebagai informasi, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Tak hanya The Fed, pelaku pasar juga perlu memantau hasil pertemuan Bank of Japan (BOJ) selaku bank sentral Jepang yang akan diumumkan pada hari Selasa (30/7/2019).
BOJ menjadi salah satu bank sentral utama dunia yang diprediksi akan mengucurkan stimulus moneter guna memacu perekonomian dan mendorong kenaikan inflasi. Hingga kini, belum jelas stimulus macam apa yang akan diberikan oleh bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut, beserta dengan waktunya.
Mengingat posisi Jepang selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia, arah kebijakan moenter yang diambil bank sentralnya tentu menjadi sangat penting bagi perekonomian dunia.
Kala perekonomian Jepang melaju di level yang relatif tinggi, perekonomian dunia juga bisa dipacu untuk melaju di level yang tinggi. Sebaliknya, kala perekonomian Jepang lesu, perekonomian dunia juga akan mendapatkan tekanan.
Masihkan Penanaman Modal Asing Terkontraksi?
Melansir Refinitiv, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dijadwalkan merilis data realisasi penanaman modal periode kuartal II-2019 pada hari Selasa (30/7/2019). Pelaku pasar akan mencermati betul angka realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI).
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Sebagai informasi, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran
satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92%
secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal
I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Rilis Data Ekonomi AS & China
Sentimen
terakhir yang patut dicermati oleh pelaku pasar pada pekan depan adalah
rilis data ekonomi dari negara-negara maju, terutama AS dan China.
Pasalnya, seperti sudah disebutkan di halaman-halaman sebelumnya, ada
potensi perang dagang AS-China justru akan tereskalasi.
Rilis data di AS dan China lantas menjadi sangat penting guna memberikan gambaran terkait dengan dampak perang dagang kedua negara terhadap satu sama lain.
Pada hari Rabu (31/7/2019), Manufacturing PMI China periode Juli 2019 versi resmi pemerintah China akan dirilis, disusul Manufacturing PMI versi Caixin untuk periode yang sama sehari setelahnya (1/8/2019).
Beralih ke AS, angka indeks keyakinan konsumen periode Juli 2019 akan dirilis oleh The Conference Board pada hari Selasa. Pada hari Rabu, angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juli 2019 akan dirilis oleh Automatic Data Processing (ADP).
Pada hari Jumat (2/8/2019), angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juli 2019 versi resmi pemerintah AS akan dirilis, beserta juga angka tingkat pengangguran untuk periode yang sama. (ank/ank)
Rilis data di AS dan China lantas menjadi sangat penting guna memberikan gambaran terkait dengan dampak perang dagang kedua negara terhadap satu sama lain.
Pada hari Rabu (31/7/2019), Manufacturing PMI China periode Juli 2019 versi resmi pemerintah China akan dirilis, disusul Manufacturing PMI versi Caixin untuk periode yang sama sehari setelahnya (1/8/2019).
Beralih ke AS, angka indeks keyakinan konsumen periode Juli 2019 akan dirilis oleh The Conference Board pada hari Selasa. Pada hari Rabu, angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juli 2019 akan dirilis oleh Automatic Data Processing (ADP).
Pada hari Jumat (2/8/2019), angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juli 2019 versi resmi pemerintah AS akan dirilis, beserta juga angka tingkat pengangguran untuk periode yang sama. (ank/ank)