Rabu, 30 Oktober 2019

Resesi Belum Basi, Negara-negara Ini Menuju Jurang Resesi

Foto: Arie Pratama
Rifan Financindo - Saat ekonomi dunia mengalami perlambatan, berbagai bank sentral global banyak yang melakukan pelonggaran kebijakan fiskal. Memangkas suku bunga mendekati nol, bahkan beberapa menetapkan suku bunga negatif.

Langkah itu ditempuh demi menghentikan perlambatan dan mendorong kembali pertumbuhan. Sebab, berbagai ekonomi dunia telah terancam jatuh ke dalam resesi. Mengutip Forbes, berikut adalah negara-negara yang berada di bawah ancaman resesi yang tinggi: 

Hong Kong

Salah satu pusat keuangan dunia ini telah dilanda demo anti-pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Akibatnya, ekonomi kota yang masih menjadi bagian dari China ini menjadi kacau dan secara teknis disebut telah jatuh ke dalam resesi. Sektor pariwisata dan ritel telah mencatatkan kerugian yang tidak sedikit akibat demo yang kerap diselingi aksi kekerasan itu.

Inggris

Ketidakpastian yang menyelimuti negara ini selama beberapa waktu terakhir mengenai rencana keluarnya negara dari blok Uni Eropa alias Brexit, telah membuat ekonomi kacau. Hal ini terlihat dari pertumbuhan Inggris yang melambat untuk pertama kalinya sejak 2012. Bahkan Brexit yang tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) juga terancam menjatuhkan Inggris ke dalam resesi.

Jerman

Ekonomi terbesar di Uni Eropa ini terancam jatuh ke dalam resesi apabila sektor manufaktur serta penjualan mobil negara ini terus melambat.

Italia

Ekonomi terbesar keempat di Uni Eropa ini berada dalam resesi secara teknis pada paruh kedua 2018 den telah menghadapi krisis ekonomi yang berkelanjutan akibat dari produktivitas yang rendah, pengangguran yang tinggi, utang yang besar, dan kekacauan politik.  

China
Ekonomi China terus melambat akibat perang dagangnya dengan Amerika Serikat (AS). Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi terbesar kedua di dunia ini hanya akan tumbuh 5,8% pada 2020. Angka ini turun dari 6,6% pada 2018 dan proyeksi pertumbuhan 6,1% pada 2019.

Selain negara-negara itu, Turki, Argentina, Iran, Meksiko dan Brasil juga terancam jatuh ke dalam resesi akibat berbagai kekacauan.

Amerika Serikat juga diisukan akan jatuh ke dalam resesi karena ekonominya mulai memunculkan tanda-tanda perlambatan. Peluang AS jatuh ke dalam resesi pada tahun 2020 adalah sebesar 27% menurut Bloomberg Economy Index.

Sebagai informasi, IMF memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3% tahun ini. Jika terjadi, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terlambat sejak krisis keuangan global pada tahun 2008. (sef/sef)
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 29 Oktober 2019

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat
Foto: Bursa Jepang (AP/Koji Sasahara)
PT Rifan - Bursa saham Tokyo menguat pada pembukaan perdagangan hari Selasa, hal itu didorong karena adanya unjuk rasa di Wall Street, didukung oleh optimisme tentang pembicaraan perdagangan AS-China dan yen yang lebih murah terhadap dolar.

Seperti dikutip dari AFP, indeks acuan Nikkei 225 naik 0,48% atau 109,60 poin pada 22.976,87 di awal perdagangan, sementara indeks Topix yang lebih luas naik 0,58% atau 9,58 poin pada 1.658,01.

Investor akan terus memantau perkembangan perdagangan AS-China. Kantor Perwakilan Dagang AS mengatakan bahwa Washington akan mempertimbangkan untuk memperpanjang pengecualian tarif tertentu atas impor senilai US$ 34 miliar dari China. Minggu lalu, USTR mengatakan bahwa China dan AS hampir menyelesaikan kesepakatan fase satu.

Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dengan China diperkirakan akan ditandatangani "lebih cepat dari jadwal," tetapi tidak menjelaskan waktu yang pasti, lapor Reuters. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 28 Oktober 2019

Tunggu The Fed, Bisakah Emas Menggila di Atas US$/1.500/Oz?

PT Rifan Financindo Berjangka
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
PT Rifan Financindo Berjangka - Harga emas dunia pekan ini diperkirakan akan menguat jelang pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS)/The Federal Reserve (The Fed) atau the Federal Open Marke Committee (FOMC).

Akhir pekan lalu harga emas dunia di pasar spot sempat melesat 1% ke level US$ 1.517,70/troy ons (Oz), dan hingga akhirnya ditutup pada level US$ 1.507,15/Oz atau naik 0.16%. 

Ini artinya harga emas sudah kembali lagi level harga US$ 1.500/Oz. Penyebabnya, ada kekhawatiran The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuan.

Katalis pemangkasan Fed Funds Rate dan kecemasan terjadinya resesi menjadikan komoditas emas diburu investor dan harganya melonjak.

Data piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 93,5% bank sentral AS akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Probabilitas tersebut terus bertahan di atas 90% setelah rilis data ekonomi AS yang mengecewakan Kamis malam kemarin.

Departemen Perdagangan AS melaporkan, pada pesanan barang tahan lama AS turun 1,1% di bulan September secara month-on-month (MoM). Sementara, pesanan barang tahan lama inti (tak memasukkan sektor transportasi) turun 0,3% MoM. Penurunan tersebut lebih buruk dari prediksi Forex Factory masing-masing pada 0,5% dan 0,2%.

Selain itu, hubungan AS-China yang kembali terlihat merenggang juga membuat pelaku pasar kembali ragu akan ditandatanganinya kesepakatan dagang antara kedua belah pihak. Emas sekali lagi mendapat keuntungan dari hal tersebut.

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan).

Namun demikian, tren penguatan harga emas diprediksi sudah berakhir oleh Capital Economics. Lembaga riset makroekonomi ternama yang berbasis di London ini bahkan memprediksi harga emas akan merosot dua tahun ke depan. 

Melansir kitco.com, chief commodities economist di Capital Economics, Caroline Bain memproyeksikan harga emas dunia berada di kisaran US$ 1.350/troy ons di akhir 2020. "Tren kenaikan harga emas sudah berakhir," ujarnya.

Untuk tahun 2021, harga emas diprediksi masih akan turun lagi ke kisaran US$ 1.250/troy ons. Sementara untuk akhir tahun ini, harga emas diprediksi akan berada di kisatan US$ 1.500/troy ons. "Di tahun ini, harga emas diuntungkan oleh ketidakpastian ekonomi, peningkatan tensi geopolitik, serta pemangkasan suku bunga di AS" kata Bain.

Capital Economics memprediksi di tahun depan pertumbuhan ekonomi global akan membaik, yang membuat selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar meningkat, dampaknya emas tidak akan menarik lagi. Bain mengatakan "investasi terbaik" untuk tahun depan bukan logam mulia. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 25 Oktober 2019

PT Rifan Finacindo - AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar

AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo - Bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona merah pada perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019). Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,36%, indeks Hang Seng terkoreksi 0,37%, dan indeks Kospi berkurang 0,08%.

Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning.

Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa batal diteken. 

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.

Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.

Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.

Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian dunia.

Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang begitu mengecewakan di Jepang ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin (24/10/2019), pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Negeri Sakura periode Oktober 2019 diumumkan di level 48,5, di bawah konsensus yang sebesar 48,8, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Oktober menandai kontraksi keenam secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC

Kamis, 24 Oktober 2019

Rifan Financindo - Harga Emas Tak Bisa Move On, Berat Cari Cuan

Harga Emas Tak Bisa Move On, Berat Cari Cuan
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Rifan Financindo - Harga emas dunia pagi di pasar spot tidak jauh berbeda dibandingkan tadi malam, Rabu (23/10/2019) waktu perdagangan Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data investing.com, pada pukul 06.00 harga emas dunia di pasar spot berada pada level US$ 1.495,25, turun tipis dibandingkan tadi malam.

Perdagangan tadi malam, pukul 20:56 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.495,29/troy ons di pasar spot. Pergerakan harga emas yang cenderung tipis dipicu tarik ulurnya proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.

Perkembangan terakhir Parlemen Inggris menolak keinginan Perdana Menteri (PM) Johnson untuk mempercepat proses legislasi Brexit.
PM Johnson kini dikabarkan akan mendorong diadakan Pemilu sebelum Natal, tetapi tentunya harus mendapat penundaan deadline Brexit terlebih dahulu dari Uni Eropa.

Akibat tarik ulur tersebut sebagian bursa saham Eropa melemah. Bervariasinya bursa saham Eropa disusul bursa saham AS akibat beberapa laporan laba rugi emiten yang mengecewakan.

Pergerakan bursa saham Eropa dan AS hari ini menunjukkan sentimen pelaku pasar tidak terlalu bagus, yang menjadi sentimen positif bagi emas.

Namun, penguatan emas sepertinya masih sulit untuk terus berlanjut.

Emas terindikasi kurang menarik lagi bagi para pelaku pasar setelah menguat tajam pada Juni sampai Agustus lalu. Pada periode itu, logam mulia ini mencatat kenaikan sekitar 16% dan mencapai level tertinggi enam tahun.

Namun setelahnya emas mulai mengendur. Kenaikan 16% dalam tiga bulan mungkin terlihat sedikit berlebihan, sehingga pelaku pasar melihat harga emas sudah cukup mahal. Perlu momentum yang besar akan harga emas bisa melaju naik lagi.

Tanda emas mulai ditinggalkan sebagai aset investasi adalah turunnya posisi bullish, artinya investor yang memegang posisi beli emas sudah mulai berkurang. Berdasarkan laporan CNBC International, hedge fund dan money manager sudah mengurangi posisi bullish dalam kontrak emas dan perak di Comex.

Selain itu data dari Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan posisi net buy emas pada pekan lalu turun menjadi 253.000 kontrak dari sebelumnya 275.600 kontrak di bursa berjangka Chicago dan New York.

Satu tanda lagi, total holding aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas fisik terbesar dunia, juga menunjukkan penurunan. Pada Selasa pekan lalu, Reuters melaporkan holding di SPDR Gold Trust menurun sebesar 0,22% menjadi 919,66 ton.

Penurunan-penurunan tersebut bisa jadi sinyal awal emas akan ditinggalkan oleh pelaku pasar, apalagi jika AS-China akhirnya menandatangani kesepakatan dagang, dan pertumbuhan ekonomi global akhirnya membaik serta menghilangnya ancaman resesi.

Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi global membaik tentunya perlu waktu cukup lama, apalagi sampai saat ini AS-China belum menandatangani kesepakatan dagang. Sehingga penggerak emas dalam beberapa pekan ke depan adalah pengumuman kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di akhir bulan ini.

Berdasarkan data FedWacth milik CME Group, pada pukul 20:25 WIB pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 93,5% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Probabilitas tersebut tinggi, yang menunjukkan pelaung suku bunga dipangkas cukup besar, akibatnya dolar AS melemah. Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar, bahkan menyentuh level terlemah dua bulan pada pekan lalu.

Peluang The Fed memangkas suku bunga dan dolar yang lemah seharusnya bisa menjadi sentimen positif bagi emas. Tapi nyatanya emas masih belum sanggup menyentuh level psikologis US$ 1.500/troy ons hingga hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA (hps/hps)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan