Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee) |
PT Rifan Financindo - Bursa
saham utama kawasan Asia bergerak di zona merah pada perdagangan hari
ini, Jumat (25/10/2019). Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei
turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,36%, indeks Hang Seng terkoreksi
0,37%, dan indeks Kospi berkurang 0,08%.
Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi
pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning.
Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa
batal diteken.
Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak
yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan
pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu
satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.
Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa
impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum
perang dagang AS-China meletus.
Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan
seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China
dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan
menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.
Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS
menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan
memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian
produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per
tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai
gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi
produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan
kemarin.
Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi
bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang
dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.
Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund
(IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju
pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS
melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS
diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019
diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada
tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan
melandai menjadi 6%.
Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai
perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian
kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi
perekonomian dunia.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang begitu mengecewakan di
Jepang ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin
(24/10/2019), pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Negeri Sakura
periode Oktober 2019 diumumkan di level 48,5, di bawah konsensus yang
sebesar 48,8, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas
manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan
sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Oktober menandai kontraksi
keenam secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar