Jumat, 04 September 2020

Sah! 44 Negara Dunia Resmi Jatuh ke Jurang Resesi

[DALAM] Resesi
Foto: Arie Pratama
PT Rifan - Resesi bukan isapan jempol. Sejumlah negara mengalaminya sekarang.

Sebenarnya dalam ekonomi tidak ada patokan yang pasti dalam pendefinisian resesi. Indikator resesi yang paling umum dipakai sampai saat ini adalah kontraksi PDB riil dua kuartal berturut-turut yang diajukan oleh ekonom Julius Shiskin pada 1974 silam.

Dalam pandangan National Bureaus of Economic Research (NBER) AS definisi resesi lebih komprehensif. Yakni penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.

Lalu negara mana saja yang sudah resesi?

Terbaru adalah Yunani. 'Lawan' Turki di Laut Mediterania Timur itu resmi masuk jurang resesi. Ekonomi negara ini berkontraksi dua kuartal berturut-turut di 2020 ini.



Dikutip dari data Trading Economics, Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal II 2020 secara tahun ke tahun (YoY) -15,2%. Sementara di kuartal I 2020, ekonomi tercatat -05%.

Menurut badan statistik negara, penurunan disebabkan dampak Covid-19. "Karena pembatasan sosial yang dilakukan," ujar badan itu dikutip dari AFP.



Di basis kuartalan (QtQ), ekonomi di April hingga Juni -14%. Ini menyusul penyusutan di Januari hingga Maret -0,7%.

Bank sentral Yunani memperkirakan ekonomi tahun 2020 akan mengalami kontraksi 5,8%. Namun Dana Moneter Internasional menilai PDB akan terpukul hingga 10%.

Sebelumnya, Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis telah memperingatkan bahwa negara itu akan jatuh ke dalam tahun ini, sebelum pulih di 2021.

 Guna menjaga pertumbuhan, pemerintah telah mengalokasikan US$ 28,4 miliar dana nasional dan bantuan Uni Eropa.



Sebelumnya ada 43 negara lainnya yang resmi resesi. Berikut rangkumannya dari Trading Economics dengan pencantuman data kuartal paling akhir secara YoY:

1. Afrika Selatan (0)
2. Albania (-3)
3. Angola (-2)
4. Arab Saudi (-1)
5. Argentina (-5)
6. Austria (-13)
7. Bahrain (-1)
8. Barbados (0)
9. Belanda (-9)
10. Belgia (-14)
11. Belize (-4)
12.Brasil (-11,4)
13. Ekuador (-1)
14. Filipina (-16)
15. Finlandia (-5)
16. Guyana Khatulistiwa (-6)
17. Hong Kong (-9)
18. Inggris (-22)
19. Iran (-10)
20. Italia (-17)
21. Jepang (-10)
22. Jerman (-12)
23. Kanada (-13)
24. Latvia (-10)
25. Lebanon (-5)
26. Lebanon (-5)
27. Lituania (-4)
28. Makau (-68)
29. Meksiko (-19)
30. Mongolia (-10)
31. Palestina (-3)
32. Peru (-30)
33. Portugal (-16)
34. Republik Ceska (-11)
35. Singapura (-13)
36. Slowakia (-12)
37. Spanyol (-22)
38. Sudan (-2)
39. Swiss (-9)
40. Thailand (-12)
41. Tunisia (-22)
42. Ukraina (-11)
43.Venezuela (-27)
(sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Kamis, 03 September 2020

Yuan 'Raja' Mata Uang Dunia, Masih Jauh Pemirsah!

FILE PHOTO:  U.S. 100 dollar banknotes and Chinese 100 yuan banknotes are seen in this picture illustration in Beijing, China, January 21, 2016. REUTERS/Jason Lee/Illustration/File Photo
Foto: Ilustrasi Mata Uang Yuan dan Dolar AS (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo Berjangka - Dolar Amerika Serikat (AS) selama ini dipandang sebagai mata uang dominan karena jauh lebih banyak digunakan ketimbang mata uang negara lainnya. Namun belakangan, mata uang China, yuan, juga mulai menunjukkan kekuatannya.

Yuan telah meningkat cakupannya dalam cadangan global serta perdagangan internasional. Hal itu pun dianggap sebagai salah satu langkah awalnya menggantikan dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Apa lagi nilai dolar telah melemah tajam dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, tidak demikian menurut para analis. Meski keunggulan yuan di kancah internasional terus meningkat, tapi mata uang Negeri Tirai Bambu masih jauh tertinggal di belakang untuk dapat menyalip dominasi dolar AS.

Baik yuan maupun euro, yang terus bersaing dalam penguatan nilai dengan dolar, memiliki kekurangan, kata para analis.

"Namun, yuan China ditetapkan untuk menjadi lebih menonjol, dan memang penggunaan globalnya secara bertahap telah naik karena pengaruh ekonomi negara yang tumbuh," kata para analis, sebagaimana dilaporkan CNBC International, Kamis (3/9/2020).

Menurut ahli strategi investasi senior di Vontobel Asset Management, Sven Schubert ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan dominasi yuan di kancah global, di antaranya adalah teknologi dan dukungan investasi.

"Faktor-faktor seperti perang teknologi yang semakin memanas antara AS dan China, serta pengaruh Beijing yang semakin meningkat melalui inisiatif Belt and Road, juga penting dalam jangkauan dominasi yuan," kata Schubert.

"Berkat Belt and Road Initiative (BRI) China, pengaruhnya di kawasan Eurasia dan Afrika meningkat karena mengikat banyak negara ke sistem ekonominya, yang membuka jalan bagi yuan untuk menemukan jalannya lebih banyak lagi ke dalam kontrak perdagangan global," katanya.

Belt and Road Initiative (BRI) adalah proyek ambisius yang bertujuan untuk membangun jaringan kompleks jalur kereta api, jalan raya, dan laut yang membentang dari Cina hingga Asia Tengah, Afrika, dan Eropa. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan perdagangan.

Salah satu cara lain yang bisa meningkatkan dominasi yuan adalah langkah dedolarisasi atau "buang dolar" yang sedang dilakukan China.

"China dan Rusia telah bekerja sama untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS," kata Schubert.

Menurut laporan tahunan terbaru dari Bank of Russia, negara tersebut meningkatkan bagian yuan dalam cadangannya, dari lebih dari 2% pada tahun 2018 menjadi lebih dari 14% pada tahun 2019. Pada saat yang sama, negara itu mengurangi bagian dolar AS dari sekitar 30% menjadi 9,7% saja.

"Aliansi itu telah mengakibatkan bagian dolar dalam pembayaran perdagangan antara China dan Rusia turun di bawah angka 50% untuk pertama kalinya pada kuartal pertama tahun 2020," menurut Schubert. "Secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir, pangsa dolar dalam penyelesaian perdagangan tersebut turun dari 90% menjadi 46%."

"Diukur dari segi kepentingan ekonomi, mata uang China saat ini kurang terwakili. Ini kemungkinan akan berubah seiring waktu," katanya.

Yuan sendiri kini menjadi mata uang keenam yang paling banyak digunakan dalam pembayaran internasional, dan digunakan sekitar 20% untuk transaksi perdagangan China, kata bank DBS yang berbasis di Singapura.

Di sisi lain, dominasi yuan bisa meningkat karena kini China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi negara-negara ASEAN. Status itu menciptakan peluang untuk meningkatkan penggunaan yuan dalam penyelesaian perdagangan lintas batas, kata DBS.

Selain itu, pangsa yuan dalam cadangan global juga naik, dari 1% pada 2016 menjadi sekitar 2% saat ini, menurut data dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Mata uang China juga telah menguat dalam beberapa pekan terakhir. Yuan dalam negeri diperdagangkan pada level terkuatnya dalam hampir 16 bulan pada hari Selasa, yaitu di level 6,8239 per dolar, menurut Reuters. Yuan offshore diperdagangkan di 6,8236 per dolar, level tertinggi sejak Juli 2019.

"Ketika ketegangan China-AS meningkat, mempromosikan renminbi (yuan) sebagai mata uang internasional juga dapat membantu China untuk memisahkan diri dari AS," kata Eswar Prasad, seorang profesor perdagangan di Cornell University.

"Namun, tidak mungkin secara serius menyaingi dolar sebagai mata uang dominan di pasar keuangan global dalam beberapa tahun mendatang." (sef/sef)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan 

Rabu, 02 September 2020

Breaking! Australia Resesi Teknikal, Ekonomi Kontraksi 7%

Australia Jadi Musuh Baru Facebook, Ada Apa?
Foto: Australia Jadi Musuh Baru Facebook, Ada Apa?
PT Rifan Financindo - Australia memasuki resesi teknikal. Ini merupakan pertama kalinya sejak sejak 1991.

Dalam pengumuman Rabu (2/9/2020) Produk Domerstik Bruto (PDB) secara kuartalan (QtQ) di kuartal II 2020 berkontraksi atau - 7%. Sebelumnya di kuartal I 2020, ekonomi -0,3%.

Secara basis tahunan (YoY), ekonomi di kuartal II 2020 -6,3%. Namun di kuartal I 2020, pertumbuhan masih positif 1,4%.

Biro Statistik Australia mengatakan ini adalah kontraksi triwulanan tercepat dalam catatan negeri itu. Angka terbaru telah mengakhiri pertumbuhan ekonomi tiga dekade yang sebelumnya bahkan tidak terpengaruh oleh krisis keuangan global.

"Belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kepala Biro Akun Nasional, Michael Smedes, dikutip dari AFP.

Pengeluaran rumah tangga tergerus karena masyarakat menahan bepergian guna menghindari penularan corona (Covid-19). Jam kerja turun hampir 10% sementara pengajuan tunjangan sosial naik 40%.

Perdagangan juga terpukul selama kuartal II. Di mana impor barang turun 2,4% dan ekspor jasa turun 18,4%.

Australia sekarang telah mengkonfirmasi hampir 26.000 kasus Covid-19 dan 663 kematian akibat virus tersebut. Sebagian besar di Melbourne dan sekitarnya sejak Juli.

Pemerintah pada bulan Juli memperkirakan pertumbuhan kembali pada kuartal III 2020 ini karena pelonggaran pembatasan. Tetapi penutupan bisnis yang dianggap tidak penting di Melbourne, kota terbesar kedua di negara itu, dapat menghambat pemulihan.

Resesi didefinisikan sebagai kontraksi dua kuartal berturut-turut. Austalia belum benar-benar resesi karena pencapaian yang positif di kuartal I (YoY) namun negeri itu masuk ke resesi teknikal. (sef/sef)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 01 September 2020

WHO Beri Peringatan Soal Vaksin Corona

The logo of the World Health Organization is seen at the WHO headquarters in Geneva, Switzerland, Thursday, June 11, 2009. The World Health Organization held an emergency swine flu meeting Thursday and was likely to declare the first flu pandemic in 41 years as infections climbed in the United States, Europe, Australia, South America and elsewhere. (AP Photo/Anja Niedringhaus)
Foto: Logo World Health Organization (WHO) (AP Photo/Anja Niedringhaus)
Rifan Financindo - Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperingatkan negara-negara soal vaksin corona (Covid-19). Otorisasi terlalu dini, yang dilakukan beberapa negara tanpa menunggu fase III, bisa menimbulkan masalah.

"Risiko menyetujui vaksin terlalu dini bagi kami adalah, pertama-tama, akan sangat sulit untuk melanjutkan uji klinis acak," kata Kepala Ilmuan WHO Dr. Soumya Swaminathan dikutip dari CNBC International, Selasa (1/9/2020).

"Dan kedua, ada risiko memperkenalkan vaksin yang belum dipelajari secara memadai dan mungkin ternyata memiliki kemanjuran yang rendah. Sehingga tidak mengakhiri pandemi ini atau malah memperburuk, karena profil keamanan yang tidak dapat diterima."

Sementara itu, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Mike Ryan juga meminta negara dan pengembang vaksin mengumpulkan data yang lebih memadai. Terutama ke jenis populasi mana vaksin akan disalurkan,

"Saat vaksin diperkenalkan ke bagian populasi yang lebih besar dan mungkin lebih beragam, efek samping negatif dapat muncul," katanya ditulis media yang sama menekankan pada risiko keamanan.

Sejumlah negara memang memberi izin pada vaksin meski belum selesai pengujian atau uji fase terakhir masih berjalan. Di antaranya Rusia dan China.

Pemerintah AS juga dikabarkan bakal melakukan hal sama. Kritikus berpendapat itu karena desakan pemerintah Presiden Donald Trump agar vaksin dibagikan saat pemilu AS berlangsung November. (sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 31 Agustus 2020

Dolar AS 'Sakit Keras', Rupiah Jaya di Bawah Rp 14.600/US$!

foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
PT Rifan - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Mata Uang Negeri Paman Sam sedang 'sakit keras' akibat kebijakan baru bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Pada Senin (31/8/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.500 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,79% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Seiring perjalanan, penguatan rupiah menipis. Pada pukul 09:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.540 di mana rupiah menguat 0,51%.

Rupiah tengah berada dalam tren penguatan. Pekan lalu, rupiah menguat tajam 1,05% di hadapan greenback. Sepekan sebelumnya, meski rupiah hanya diperdagangkan dua hari di pasar spot, tetapi masih bisa menguat.


Rupiah mampu memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 07:55 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index terkoreksi 1,11% dan dalam sebulan ke belakang pelemahannya mencapai 1,16%. Lebih parah dari, indeks ini ambles 5,69% dalam tiga bulan terakhir.


Suku Bunga Rendah, Dolar AS Tak Seksi Lagi
 
Dolar AS menderita akibat perubahan kebijakan The Fed. Pekan lalu, Ketua Jerome 'Jay' Powell mengumumkan perubahan target inflasi dari 2% dalam jangka menengah menjadi rata-rata 2% dalam jangka menengah. Artinya, The Fed akan memberi toleransi inflasi rendah sepanjang secara rerata bisa menyentuh 2%.

Perubahan ini dilakukan untuk merespons dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang sepertinya bakal terus terasa selama beberapa waktu ke depan. Pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat aktivitas ekonomi turun drastis, baik di sisi produksi maupun permintaan.

"Risiko ke bawah terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja meningkat. Perubahan ini mencerminkan niat kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat tanpa perlu khawatir terhadap percepatan laju inflasi," sebut Powell, sebagaimana dikutip oleh Reuters.

Well, sepertinya target inflasi yang dipatok 2% memang sudah kurang relevan. Selama lima tahun terakhir, hanya empat bulan inflasi (yang diukur dari Personal Consumption Expenditure/PCE inti) menyentuh 2%.


Melalui pendekatan ini, pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga akan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan. Plus berbagai kebijakan lain untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi tanpa harus mencemaskan risiko inflasi.

ini menjadi sentimen negatif buat dolar AS. Suku bunga rendah berarti berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi minim imbal hasil.

"Ketika bank sentral lain mulai melakukan pengetatan, The Fed mungkin akan tertinggal. Perbedaan suku bunga tidak berpihak kepada dolar AS. Jadi dalam jangka menengah-panjang, ini akan menjadi sentimen negatif bagi greenback," kata Edward Moya, Senior Market Analyst OANDA, seperti dikutip dari Reuters.

Tanpa pemanis berupa cuan, investor agak menghindar dari aset-aset berbasis dolar AS. Permintaan akan mata uang ini pun berkurang sehingga nilainya melemah. Saat dolar AS lesu, rupiah dan mata uang lainnya bisa melaju.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
 
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan