Rabu, 09 September 2020

AS-China Ancam Mau Putus Lagi, Wall Street Jadi Loyo

wall street
Foto: Reuters
PT Rifan Financindo Berjangka - Saham Wall Street ditutup melemah tajam pada Selasa (8/9/2020). Pelemahan didukung melempemnya saham-saham teknologi dan aksi jual saham emiten energi dan keuangan.

Dow Jones Industrial Average turun 2,3% atau sekitar 630 poin dan ditutup pada 27.500,89. Sementara S&P 500 berbasis luas merosot 2,8% menjadi 3.331,84.

Sedangkan Nasdaq yang kaya teknologi merosot 4,1% menjadi 10.847,69. Nasdaq telah turun 10% dalam tiga sesi terakhir setelah mencapai yang terakhir dalam serangkaian rekor pada 2 September.

Kepala investasi di Cresset Capital, Jack Ablin, mengatakan sesi kemarin menandai pergeseran dari dinamika akhir pekan lalu di mana penjualan jauh melampaui saham-saham teknologi.

"Investor tidak hanya memindahkan 'kursi' mereka," kata Ablin dikutip dari AFP. "Mereka khawatir tentang pemulihan yang tidak kuat."

Tidak seperti pekan lalu, imbal hasil Treasury AS juga turun kemarin. Hal senada juga terjadi pada minyak turun tajam, indikator kekhawatiran meningkat, kata Ablin.

"Ini kisah perlambatan ekonomi," katanya.

Analis mengutip meningkatnya ketegangan AS-China sebagai alasan. Presiden AS Donald Trump menyebut akan melakukan decouple (pemutusan hubungan) jika terpilih lagi.

China pun sudah mengambil ancang-ancang. Aturan baru dibuat untuk memutus perusahaan teknologi dengan AS.

Selain itu, kebuntuan di Washington atas putaran lain pendanaan stimulus jadi sebab lain. Meski data ekonomi seperti pekerjaan yang terbit minggu lalu melampaui ekspektasi, hal ini tak bisa membuat Wall Street ke zona hijau.

Perusahaan teknologi besar seperti Apple dan Amazon kembali mengalami penurunan yang dalam. Namun Tesla paling anjlok hingga 21,1%.

Saham Boeing juga turun 5,8% setelah mengungkapkan lebih banyak masalah dengan jet 787 Dreamliner. Perusahaan pembuat pesawat itu akan menunda pengiriman pesawat. (sef/sef)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan 

Selasa, 08 September 2020

Alert! Resesi Jepang Makin Jadi, Ekonomi Ambruk 28,1%

A woman wearing a mask walks past a Japanese flag Wednesday, March 11, 2020, in Tokyo. For most people, the new coronavirus causes only mild or moderate symptoms, such as fever and cough. For some, especially older adults and people with existing health problems, it can cause more severe illness, including pneumonia. The vast majority of people recover from the new virus. (AP Photo/Jae C. Hong)
Foto: Jepang (AP/Jae C. Hong)
PT Rifan Financindo - Ekonomi Jepang ternyata makin jatuh di kuartal II 2020 ini.

Dalam rilis data terbaru, Selasa (8/9/2020), ekonomi negara itu kontraksi atau -7,9% dalam basis kuartalan (QtQ), dibandingkan dengan pembacaan sebelumnya pekan lalu, -7,8%.

Ini adalah kontraksi untuk ketiga kalinya secara berturut-turut. Sebelumnya di kuartal II 2020 ekonomi -0,6% dan di kuartal IV 2019 ekonomi -1,8%.

Hal ini juga merupakan rekor tertajam, di tengah dampak parah krisis Covid-19 terjadi. Corona membuat pembatasan sosial dilakukan di negara itu guna menekan penyebaran virus.

Dalam skala tahunan (YoY), ekonomi ambruk 28,1% di kuartal April hingga Juni itu. Ini juga rekor terdalam, dibandingkan dengan perkiraan penurunan 27,8%.

Sebelumnya sejumlah analis mengatakan kekuatan ketiga ekonomi dunia itu harus mengembalikan ekonomi ke jalur pemulihan.

"Kontraksi tajam itu tidak dapat dihindari mengingat keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang diciptakan oleh virus corona," kata Yuichi Kodama, kepala ekonom di Meiji Yasuda Research Institute, mengutip Nikkei Asian Review.

"Membantu membangun kembali industri yang paling terpukul oleh pandemi, seperti restoran dan pariwisata, adalah tugas yang mendesak, begitu juga dengan mempercepat digitalisasi ekonomi, sebuah area di mana pandemi telah menunjukkan bahwa Jepang gagal."

"Rencana kesinambungan fiskal jangka panjang juga perlu dirumuskan setelah defisit pemerintah meningkat tajam." (sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 07 September 2020

Termasuk RI, 3 Negara Ini Calon Terkena Resesi

[DALAM] Resesi
Foto: Arie Pratama
Rifan Financindo - Pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang menyerang dunia membuat negara-negara masuk ke jurang resesi. Tidak hanya negara maju, negara-negara emerging market dengan pertumbuhan ekonomi cenderung tinggi pun masuk ke jurang resesi.

Pada umumnya, suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika kontraksi terjadi secara kuartalan atau quarter-to-quarter (QtQ), maka disebut mengalami resesi teknikal.

Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini jumlah kasus Covid-19 di dunia lebih dari 27 juta orang, dengan 883.846 orang meninggal dunia, dan 19.174.193 orang dinyatakan sembuh. Sehingga jumlah kasus aktif tercatat sebanyak 7.017.874 orang.

Virus yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut sudah menyerang lebih dari 200 negara dan wilayah di seluruh dunia.\

Dari total negara yang terjangkit tersebut hingga saat ini sudah 47 negara sah mengalami resesi. Maklum saja, demi meredam penyebaran virus corona, pemerintah mengorbankan sektor ekonomi, kebijakan pembatasan sosial (social distancing) hingga karantina wilayah (lockdown) diterapkan, akibatnya roda perekonomian melambat signifikan bahkan nyaris mati suri. Resesi pun tak terhindarkan.

Amerika Serikat, sang negeri Adikuasa, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia menjadi salah satu yang mengalami kontraksi PDB terparah. Berdasarkan data pembacaan kedua, PDB kuartal II-2020 dilaporkan sebesar -31,7%, menjadi kontraksi ekonomi terparah sepanjang sejarah AS. Sementara di kuartal I-2020, PDB Negeri Paman Sam -5%, sehingga sah mengalami resesi.

Sementara negara emerging market yang termasuk dalam G20, seperti Afrika Selatan, dan Argentina juga mengalami resesi, meski kontraksi ekonominya tak separah AS.

Pekan depan, ada beberapa negara lagi yang akan melaporkan data PDB. PDB Irlandia kuartal II-2020 akan dirilis pada Senin (7/9/2020), tetapi meskipun mengalami kontraksi tetapi Irlandia masih belum akan mengalami resesi. Sebab di kuartal sebelumnya PDB Irlandia masih tumbuh 5,1% YoY.

Meski demikian, Komisi Eropa memprediksi PDB Irlandia akan berkontraksi 8,5% YoY sepanjang tahun ini, artinya hampir pasti akan mengalami resesi di tahun ini.

Selain Komisi Eropa, Moody's yang sebelumnya memprediksi ekonomi Irlandia hanya akan berkontraksi 1,6% YoY, kini meramal kontraksi sebesar 8,5% YoY. Moody's mengatakan meski pemerintah Irlandia mengelola perekonomian secara prudent, tetapi masih belum cukup untuk menghindarkan dari resesi.

Kemudian, Makedonia yang akan merilis data PDB juga pada hari Senin. Sama dengan Irlandia, Makedonia juga masih selamat dari resesi, sebab di kuartal I-2020 PDB masih tumbuh 0,2% YoY. Makedonia juga tidak akan lepas dari resesi di kuartal III-2020 nanti. PDB Makedonia sebelumnya diprediksi akan tumbuh 3,8% di tahun ini, tetapi kini diramal -3,5% itu pun merupakan skenario yang paling optimistik.

Selain Irlandia dan Makedonia, Indonesia juga termasuk negara calon resesi di kuartal III-2020. Waktu yang akan menjawab.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 04 September 2020

Sah! 44 Negara Dunia Resmi Jatuh ke Jurang Resesi

[DALAM] Resesi
Foto: Arie Pratama
PT Rifan - Resesi bukan isapan jempol. Sejumlah negara mengalaminya sekarang.

Sebenarnya dalam ekonomi tidak ada patokan yang pasti dalam pendefinisian resesi. Indikator resesi yang paling umum dipakai sampai saat ini adalah kontraksi PDB riil dua kuartal berturut-turut yang diajukan oleh ekonom Julius Shiskin pada 1974 silam.

Dalam pandangan National Bureaus of Economic Research (NBER) AS definisi resesi lebih komprehensif. Yakni penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.

Lalu negara mana saja yang sudah resesi?

Terbaru adalah Yunani. 'Lawan' Turki di Laut Mediterania Timur itu resmi masuk jurang resesi. Ekonomi negara ini berkontraksi dua kuartal berturut-turut di 2020 ini.



Dikutip dari data Trading Economics, Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal II 2020 secara tahun ke tahun (YoY) -15,2%. Sementara di kuartal I 2020, ekonomi tercatat -05%.

Menurut badan statistik negara, penurunan disebabkan dampak Covid-19. "Karena pembatasan sosial yang dilakukan," ujar badan itu dikutip dari AFP.



Di basis kuartalan (QtQ), ekonomi di April hingga Juni -14%. Ini menyusul penyusutan di Januari hingga Maret -0,7%.

Bank sentral Yunani memperkirakan ekonomi tahun 2020 akan mengalami kontraksi 5,8%. Namun Dana Moneter Internasional menilai PDB akan terpukul hingga 10%.

Sebelumnya, Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis telah memperingatkan bahwa negara itu akan jatuh ke dalam tahun ini, sebelum pulih di 2021.

 Guna menjaga pertumbuhan, pemerintah telah mengalokasikan US$ 28,4 miliar dana nasional dan bantuan Uni Eropa.



Sebelumnya ada 43 negara lainnya yang resmi resesi. Berikut rangkumannya dari Trading Economics dengan pencantuman data kuartal paling akhir secara YoY:

1. Afrika Selatan (0)
2. Albania (-3)
3. Angola (-2)
4. Arab Saudi (-1)
5. Argentina (-5)
6. Austria (-13)
7. Bahrain (-1)
8. Barbados (0)
9. Belanda (-9)
10. Belgia (-14)
11. Belize (-4)
12.Brasil (-11,4)
13. Ekuador (-1)
14. Filipina (-16)
15. Finlandia (-5)
16. Guyana Khatulistiwa (-6)
17. Hong Kong (-9)
18. Inggris (-22)
19. Iran (-10)
20. Italia (-17)
21. Jepang (-10)
22. Jerman (-12)
23. Kanada (-13)
24. Latvia (-10)
25. Lebanon (-5)
26. Lebanon (-5)
27. Lituania (-4)
28. Makau (-68)
29. Meksiko (-19)
30. Mongolia (-10)
31. Palestina (-3)
32. Peru (-30)
33. Portugal (-16)
34. Republik Ceska (-11)
35. Singapura (-13)
36. Slowakia (-12)
37. Spanyol (-22)
38. Sudan (-2)
39. Swiss (-9)
40. Thailand (-12)
41. Tunisia (-22)
42. Ukraina (-11)
43.Venezuela (-27)
(sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Kamis, 03 September 2020

Yuan 'Raja' Mata Uang Dunia, Masih Jauh Pemirsah!

FILE PHOTO:  U.S. 100 dollar banknotes and Chinese 100 yuan banknotes are seen in this picture illustration in Beijing, China, January 21, 2016. REUTERS/Jason Lee/Illustration/File Photo
Foto: Ilustrasi Mata Uang Yuan dan Dolar AS (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo Berjangka - Dolar Amerika Serikat (AS) selama ini dipandang sebagai mata uang dominan karena jauh lebih banyak digunakan ketimbang mata uang negara lainnya. Namun belakangan, mata uang China, yuan, juga mulai menunjukkan kekuatannya.

Yuan telah meningkat cakupannya dalam cadangan global serta perdagangan internasional. Hal itu pun dianggap sebagai salah satu langkah awalnya menggantikan dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Apa lagi nilai dolar telah melemah tajam dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, tidak demikian menurut para analis. Meski keunggulan yuan di kancah internasional terus meningkat, tapi mata uang Negeri Tirai Bambu masih jauh tertinggal di belakang untuk dapat menyalip dominasi dolar AS.

Baik yuan maupun euro, yang terus bersaing dalam penguatan nilai dengan dolar, memiliki kekurangan, kata para analis.

"Namun, yuan China ditetapkan untuk menjadi lebih menonjol, dan memang penggunaan globalnya secara bertahap telah naik karena pengaruh ekonomi negara yang tumbuh," kata para analis, sebagaimana dilaporkan CNBC International, Kamis (3/9/2020).

Menurut ahli strategi investasi senior di Vontobel Asset Management, Sven Schubert ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan dominasi yuan di kancah global, di antaranya adalah teknologi dan dukungan investasi.

"Faktor-faktor seperti perang teknologi yang semakin memanas antara AS dan China, serta pengaruh Beijing yang semakin meningkat melalui inisiatif Belt and Road, juga penting dalam jangkauan dominasi yuan," kata Schubert.

"Berkat Belt and Road Initiative (BRI) China, pengaruhnya di kawasan Eurasia dan Afrika meningkat karena mengikat banyak negara ke sistem ekonominya, yang membuka jalan bagi yuan untuk menemukan jalannya lebih banyak lagi ke dalam kontrak perdagangan global," katanya.

Belt and Road Initiative (BRI) adalah proyek ambisius yang bertujuan untuk membangun jaringan kompleks jalur kereta api, jalan raya, dan laut yang membentang dari Cina hingga Asia Tengah, Afrika, dan Eropa. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan perdagangan.

Salah satu cara lain yang bisa meningkatkan dominasi yuan adalah langkah dedolarisasi atau "buang dolar" yang sedang dilakukan China.

"China dan Rusia telah bekerja sama untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS," kata Schubert.

Menurut laporan tahunan terbaru dari Bank of Russia, negara tersebut meningkatkan bagian yuan dalam cadangannya, dari lebih dari 2% pada tahun 2018 menjadi lebih dari 14% pada tahun 2019. Pada saat yang sama, negara itu mengurangi bagian dolar AS dari sekitar 30% menjadi 9,7% saja.

"Aliansi itu telah mengakibatkan bagian dolar dalam pembayaran perdagangan antara China dan Rusia turun di bawah angka 50% untuk pertama kalinya pada kuartal pertama tahun 2020," menurut Schubert. "Secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir, pangsa dolar dalam penyelesaian perdagangan tersebut turun dari 90% menjadi 46%."

"Diukur dari segi kepentingan ekonomi, mata uang China saat ini kurang terwakili. Ini kemungkinan akan berubah seiring waktu," katanya.

Yuan sendiri kini menjadi mata uang keenam yang paling banyak digunakan dalam pembayaran internasional, dan digunakan sekitar 20% untuk transaksi perdagangan China, kata bank DBS yang berbasis di Singapura.

Di sisi lain, dominasi yuan bisa meningkat karena kini China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi negara-negara ASEAN. Status itu menciptakan peluang untuk meningkatkan penggunaan yuan dalam penyelesaian perdagangan lintas batas, kata DBS.

Selain itu, pangsa yuan dalam cadangan global juga naik, dari 1% pada 2016 menjadi sekitar 2% saat ini, menurut data dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Mata uang China juga telah menguat dalam beberapa pekan terakhir. Yuan dalam negeri diperdagangkan pada level terkuatnya dalam hampir 16 bulan pada hari Selasa, yaitu di level 6,8239 per dolar, menurut Reuters. Yuan offshore diperdagangkan di 6,8236 per dolar, level tertinggi sejak Juli 2019.

"Ketika ketegangan China-AS meningkat, mempromosikan renminbi (yuan) sebagai mata uang internasional juga dapat membantu China untuk memisahkan diri dari AS," kata Eswar Prasad, seorang profesor perdagangan di Cornell University.

"Namun, tidak mungkin secara serius menyaingi dolar sebagai mata uang dominan di pasar keuangan global dalam beberapa tahun mendatang." (sef/sef)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan