Ilustrasi yen Jepang dan dolar AS (Foto: REUTERS/Shohei Miyano) |
Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang
melemah terhadap dolar AS di awal perdagangan, Senin (25/3/19). Tetapi
yen masih belum terlalu jauh dari level terkuatnya dalam lima pekan
terakhir.
Pada pukul 6:46 WIB, yen ditransaksikan di kisaran 110,07/US$, dengan level terkuat lima pekan di kisaran 110,73/US$ yang dicapai pada perdagangan Jumat (22/3/19).
Nilai tukar dolar terhadap yen yang terlihat murah membuat dolar terlihat menarik lagi untuk dipegang. Tercatat sepanjang pekan lalu, yen mengalami penguatan 1,4% terhadap dolar, dan menjadi penguatan mingguan tertinggi dalam 11 pekan terakhir atau sejak awal tahun saat dolar mengalami flash crash terhadap yen.
Me-review pekan lalu, penguatan yen terpicu sikap dovish Federal Reserve (The Fed) AS.
Dalam pengumuman kebijakan moneternya pada Kamis (21/3/19) dini hari Waktu Indonesia, The Fed mengindikasikan tidak akan menaikkan suku bunga acuan atau Federal Funds Rate (FFR) di tahun ini. Hal ini menjadi kejutan bagi pasar finansial karena tidak sampai tiga bulan sebelumnya bank sentral AS tersebut menyatakan kenaikan FFR sebanyak dua kali di tahun 2019 akan menjadi kebijakan yang tepat.
Perbedaan suku bunga di AS dan Jepang akan semakin lebar seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga di tahun ini. Untuk saat ini saja ada selisih yang besar antara suku bunga di AS dan Jepang, The Fed dengan FFR-nya sebesar 2,25% - 2,50%, dibandingkan dengan BOJ yang menerapkan suku bunga negatif (-0,1%).
Pada pukul 6:46 WIB, yen ditransaksikan di kisaran 110,07/US$, dengan level terkuat lima pekan di kisaran 110,73/US$ yang dicapai pada perdagangan Jumat (22/3/19).
Nilai tukar dolar terhadap yen yang terlihat murah membuat dolar terlihat menarik lagi untuk dipegang. Tercatat sepanjang pekan lalu, yen mengalami penguatan 1,4% terhadap dolar, dan menjadi penguatan mingguan tertinggi dalam 11 pekan terakhir atau sejak awal tahun saat dolar mengalami flash crash terhadap yen.
Me-review pekan lalu, penguatan yen terpicu sikap dovish Federal Reserve (The Fed) AS.
Dalam pengumuman kebijakan moneternya pada Kamis (21/3/19) dini hari Waktu Indonesia, The Fed mengindikasikan tidak akan menaikkan suku bunga acuan atau Federal Funds Rate (FFR) di tahun ini. Hal ini menjadi kejutan bagi pasar finansial karena tidak sampai tiga bulan sebelumnya bank sentral AS tersebut menyatakan kenaikan FFR sebanyak dua kali di tahun 2019 akan menjadi kebijakan yang tepat.
Perbedaan suku bunga di AS dan Jepang akan semakin lebar seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga di tahun ini. Untuk saat ini saja ada selisih yang besar antara suku bunga di AS dan Jepang, The Fed dengan FFR-nya sebesar 2,25% - 2,50%, dibandingkan dengan BOJ yang menerapkan suku bunga negatif (-0,1%).
Kini suku bunga acuan The Fed sebesar 2,25%-2,50% akan tetap
bertahan hingga akhir tahun nanti, begitu juga dengan suku bunga acuan
BOJ yang masih akan di tahan sebesar -0,1%, sehingga spread imbal hasil
di kedua negara tidak lagi melebar.
The Fed sekarang sejalan dengan Bank of Japan (BOJ) yang sama-sama bersikap dovish. Sepekan sebelum pengumuman The Fed, BOJ juga bersikap dovish dengan memperkirakan perekonomian Jepang yang akan melambat. Selain itu, satu anggota dewan diketahui meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.
Di pekan ini, beberapa data ekonomi dari AS akan menentukan arah pergerakan nilai tukar yen terhadap dolar mengingat negeri Paman Sam tersebut dispekulasikan akan mengalami resesi.
The Fed sekarang sejalan dengan Bank of Japan (BOJ) yang sama-sama bersikap dovish. Sepekan sebelum pengumuman The Fed, BOJ juga bersikap dovish dengan memperkirakan perekonomian Jepang yang akan melambat. Selain itu, satu anggota dewan diketahui meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.
Di pekan ini, beberapa data ekonomi dari AS akan menentukan arah pergerakan nilai tukar yen terhadap dolar mengingat negeri Paman Sam tersebut dispekulasikan akan mengalami resesi.
Imbal hasil obligasi AS tenor pendek (3 bulan) kini
lebih tinggi dari tenor panjang (10 tahun) atau dikenal dengan istilah
inversi. Hal seperti ini terjadi jika pelaku pasar melihat dalam jangka
pendek AS kemungkinan akan mengalami resesi, sehingga investor melepas
obligasi jangka pendek yang membuat yield-nya naik dan masuk ke obligasi jangka panjang.
Kali terakhir inversi terjadi di bulan Januari 2017, dan kembali muncul di hari Jumat lalu di mana yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di level 2,4527%, sementara tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)
Kali terakhir inversi terjadi di bulan Januari 2017, dan kembali muncul di hari Jumat lalu di mana yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di level 2,4527%, sementara tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%.
TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar