Rabu, 12 Juni 2019

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai – Rifanfinancindo

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai
Foto: REUTERS/Jason Lee
Rifanfinancindo Palembang - Indeks Shanghai dibuka melemah 0,29% ke level 2.917,22, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,67% ke level 27.603,12.

Perang urat saraf AS-China di bidang perdagangan yang terus terjadi membuat aksi jual menerpa bursa saham China dan Hong Kong. Menjelang gelaran KTT G-20 pada akhir bulan ini di Jepang yang berpeluang mempertemukan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping, nada keras dilontarkan oleh kedua belah negara.

Trump menegaskan bahwa dirinya tidak ingin sebuah kesepakatan dagang yang merugikan Negeri Adidaya. 

"China adalah kompetitor utama dan mereka ingin sebuah kesepakatan yang merugikan (bagi AS). Memang saya yang menunda terjadinya kesepakatan, karena saya ingin ada kesepakatan yang luar biasa atau tidak sama sekali," papar Trump, dilansir dari Reuters.

"Sebenarnya kami sudah sepakat dengan China, tetapi mereka malah bergerak mundur. Mereka bilang tidak ingin ada empat hal, lima hal. Namun kami sudah sepakat dengan China, dan kecuali mereka mau kembali ke kesepakatan itu maka saya tidak tertarik," lanjutnya.

Dari pihak China, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.

"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.

Jika tak ada resolusi dalam waktu dekat, maka perang dagang antar kedua negara yang sudah berlangsung begitu lama bisa tereskalasi. Akibatnya, laju perekonomian AS dan China akan diterpa tekanan yang lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)


Selasa, 11 Juni 2019

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS - Rifan Financindo

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS
Rifan Financindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengklaim damai dagang antara AS dengan China bakal terwujud. Demikian disampaikan Trump dalam sebuah wawancara ekslusif via telepon dengan Joe Kernen pada program "Squawk Box", Senin (10/6/2019) waktu setempat.

"Kesepakatan (dengan) China akan berhasil. Anda tahu mengapa? Karena tarif. Saat ini China semakin "dihancurkan" oleh perusahaan yang meninggalkan China, hijrah ke negara lain, termasuk ke negara kita (AS), karena mereka (perusahaan-perusahaan) tidak ingin membayar tarif," kata Trump.

Kendati demikian, belum jelas sampai sejauh mana China dirugikan oleh kebijakan tarif AS. Sebab, pada Senin (10/6/2019) pagi waktu setempat, data yang dirilis pemerintah Negeri Tirai Bambu malah menunjukkan surplus dagang China dengan AS pada Mei 2019 semakin melebar.

Dalam kesempatan itu, Trump juga merespons secara langsung Wakil Presiden sekaligus Kepala Hubungan Internasional Kamar Dagang AS Myron Brilliant. Dalam program yang sama, Brilliant menilai kebijakan tarif a la Trump malah membawa dampak negatif.

"Tarif telah meningkatkan ancaman terhadap perekonomian kita, petani kita, produsen kita, konsumen kita, akan merugikan negara kita. Ini juga menciptakan ketidakpastian dengan mitra dagang kami," ujar Brilliant.

Menurut Trump, "Dia (Brilliant) tidak melindungi negara kita. Dia melindungi perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang AS."

Sekadar gambaran, rezim pemerintahan Trump menggunakan tarif atas barang impor asal China demi mengatasi berbagai isu, termasuk defisit perdagangan. Trump juga menggunakan tarif sebagai cara untuk membawa China ke meja perundingan.

Sejauh ini, AS telah mengenakan tarif atas barang impor asal China senilai US$ 250 miliar. Sebagai balasan, China telah menerapkan tarif atas barang impor asal AS senilai US$ 100 miliar. Trump telah mengancam akan mengenakan tambahan tarif senilai lebih dari US$ 300 miliar.

Suami dari Melania Trump itu dijadwalkan akan berjumpa dengan Presiden China Xi Jinping di ajang KTT G-20, akhir bulan ini, demi membahas kesepakatan dagang kedua negara.(miq/miq)

Sumber : CNBC
 
 

Senin, 10 Juni 2019

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya - PT Rifan Financindo

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya
Foto: Infografis/10 Kkks Utama Produksi Minyak/Edward Ricardo
PT Rifan Financindo Palembang - Harga minyak mentah dunia lanjut menguat untuk hari ke-3. Kekhawatiran akan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Meksiko yang telah surut membuat proyeksi permintaan minyak kembali meningkat.

Rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) melanjutkan pengurangan produksi hingga akhir tahun 2019 juga memberi sentimen pada pergerakan harga.

Pada perdagangan hari Senin (10/6/2019) pukul 08:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus menguat 0,58% ke level US$ 63,66/barel. Sementara jenis light sweet (WTI) naik 0,69% menjadi US$ 54,36/barel.


Dalam sepekan kemarin, harga Brent dan WTI mampu membukukan penguatan masing-masing sebesar 0,92% dan 2,1% secara point-to-point.



Pasar minyak kembali mendapat energi positif setelah AS dan Meksiko dikabarkan telah mencapai kesepakatan yang bisa meruntuhkan potensi perang dagang antara keduanya.
Mengutip Reuters, kedua negara dikabarkan telah mencapai kesepakatan pada hari Jumat (7/6/2019) setelah perundingan berjalan selama 3 hari di Washington.

Keputusan tersebut disampaikan bersama oleh delegasi kedua negara dan mengatakan Meksiko telah setuju untuk menerima lebih banyak migran yang mencari suaka ke AS ketika menunggu putusan atas kasus mereka.

Meksiko juga setuju untuk meningkatkan penegakan hukum untuk menahan arus imigrasi ilegal, termasuk menempatkan Garda Nasional di perbatasan bagian Selatannya.

Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump telah mengancam akan mengenakan bea impor sebesar 5% terhadap produk Meksiko mulai 10 Juni apabila tidak ada kesepakatan mengenai permasalahan imigran gelap. Tidak hanya itu, dirinya juga berencana menaikkan bea impor hingga sebesar 25% kecuali Meksiko mengambil langkah serius mengenai masalah tersebut.

Dengan begini, potensi perang dagang baru AS dengan Meksiko setidaknya dapat dihindari. Untuk sementara waktu. Pasokan minyak dari Meksiko dapat kembali mengalir ke kilang-kilang AS tanpa hambatan.

Selain itu, pada hari Jumat (7/6/2019), Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya harus memperpanjang kebijakan pengurangan pasokan hingga akhir tahun 2019, mengutip Reuters. Lebih lanjut, pihaknya tidak ingin bertarung mendapatkan pangsa pasar dengan Amerika Serikat dan membuat kejatuhan harga minyak terulang.

Presiden Rusia, Vladimir Putin juga menegaskan Negeri Beruang Merah akan secara bersama-sama mengambil kebijakan pengurangan pasokan dalam beberapa minggu ke depan, seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (6/6/2019).

Komentar tersebut sedikit menenangkan pelaku pasar karena sebelumnya Rusia terlihat sangat ingin untuk kembali menggenjot produksi minyak karena harga yang sudah normal.

Selama ini memang terjadi perbedaan persepsi atas harga minyak yang 'normal' menurut Rusia dan Arab Saudi.

Menurut catatan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), kerajaan dinasti Saud membutuhkan harga minyak pada kisaran US$ 80-85 untuk menyeimbangkan anggaran negara tahun ini. Namun Putin mengatakan harga minyak US$ 60-65 sudah cukup untuk Moskow.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)


Jumat, 31 Mei 2019

Masih Dibayangi Perang Dagang, Wall Street Menguat Terbatas - Rifanfinancindo

Masih Dibayangi Perang Dagang, Wall Street Menguat Terbatas
Rifanfinancindo Palembang - Indeks-indeks acuan Wall Street berhasil memulihkan diri dari pelemahan di sesi sebelumnya dan ditutup menguat, Kamis (30/5/2019). Namun, kekhawatiran terkait perseteruan dagang dan pelemahan ekonomi global membatasi laju penguatan tersebut.

Dow Jones Industrial Average naik tipis 0,17%, S&P 500 bertambah 0,21%, sementara Nasdaq Composite menguat 0,27%. Indeks-indeks utama tersebut ditutup melemah hari Rabu dengan Dow Jones kehilangan lebih dari 200 poin.

Wall Street sempat memerah di sesi perdagangan siang hari ketika imbal hasil obligasi negara Amerika Serikat (AS) atau US Treasury jatuh ke posisi terendahnya dalam 20 bulan terakhir di level 2,227%. Yield tersebut masih ada di atas 2,5% awal bulan ini, dilansir dari CNBC International.

Yield yang rendah menandakan harga obligasi tengah tinggi karena diburu investor.

Jatuhnya imbal hasil tersebut yang diikuti dengan pembalikan atau inversi yield (inverted yield) telah meningkatkan kecemasan bahwa pertumbuhan ekonomi AS tengah melambat. Para investor biasanya memandang obligasi sebagai alternatif aset yang lebih aman ketika kekhawatiran terkait perekonomian meningkat.

"Ini sudah pasti menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat," kata Ryan Nauman, ahli strategi pasar di Informa Financial Intelligence mengenai turunnya imbal hasil tersebut.

"Para investor tengah keluar dari saham dan masuk ke Treasury demi strategi bermain bertahan," jelasnya.

Perseteruan dagang antara AS dan China yang bekepanjangan membebani pasar. Seorang diplomat senior China kembali melancarkan retorika menyerang semalam sebelumnya.

China juga telah menghentikan pembelian kedelai dari AS, menurut laporan Bloomberg News.

Washington dan Beijing telah saling mengenakan bea masuk terhadap ratusan miliar dolar produk sejak awal 2018 yang memukul pasar keuangan global. Awal bulan ini, kedua negara menaikkan lagi bea impor terhadap berbagai produknya yang membuat perang dagang memanas. (prm)



Rabu, 29 Mei 2019

Reli 3 Hari Terhenti, IHSG Berpotensi Koreksi di Bawah 6.000 - Rifan Financindo

Reli 3 Hari Terhenti, IHSG Berpotensi Koreksi di Bawah 6.000
Foto: Muhammad Sabki
Rifan Financindo Palembang - Reli kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama tiga hari akhirnya terhenti pada perdagangan kemarin. Aktivitas ambil untung pada perdagangan kemarin, membuat IHSG anjlok 1,07% ke level 6.033.

Selain itu, besok bursa domestik akan diliburkan karena memperingati kenaikan Isa Almasih. Untuk perdagangan hari ini Rabu (29/5/2019), Tim Riset CNBC Indonesia memperkirakan IHSG akan bergerak variatif dengan kecenderungan melemah.

Dari bursa global atau khususnya Wall Street Amerika Serikat (AS) yang kembali di buka, semua indeks utama kembali terkoreksi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,93%, S&P 500, S&P 500 minus 0,85%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,39%.

Tampaknya investor di Wall Street masih agak jetlag selepas libur panjang. Investor memerlukan waktu untuk mencerna seluruh kabar dan sentimen yang terlewatkan. Misalnya, pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai prospek kelanjutan dialog dagang dengan China.

"Saya percaya kami akan membuat kesepakatan yang bagus dengan China suatu saat nanti. Sebab saya tidak yakin China bisa terus membayar bea masuk. Anda tahu? Pebisnis sudah meninggalkan China, ratusan bahkan ribuan," tegas Trump, mengutip Reuters.

Investor yang jetlag melakukan reaksi yang knee-jerk (spontanitas tanpa berpikir panjang). Padahal jika dilihat lebih dalam, Trump masih membuka kemungkinan terjadinya perundingan yang mengarah ke damai dagang AS-China.

Dari dalam negeri, aksi ambil untung kembali terjadi di bursa. Faktor libur panjang memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan menjadi momen berkumpul dan tentu saja meningkatkan pengeluaran atau konsumsi.

Pasca kembali masuk ke pasar setelah net sell 16 hari beruntun, investor asing kembali melepas portofolio sahamnya dengan membukukan jual bersih senilai Rp 297,6 miliar di pasar reguler. Hal ini menjadi penekan indeks di kala investor lokal melakukan profit taking sementara.

Dari sisi teknikal, IHSG sebenarnya masih sedikit berada di atas garis rata-rata nilainya dalam lima hari (moving average/MA5), sehingga potensi penguatan sebenarnya masih mungkin saja terjadi.

Pola bearish harami (cenderung menunjukkan penurunan) yang terbentuk pada perdagangan kemarin, mengindikasikan potensi kembali terjadi penurunan.

Melihat potensi pergerakan di tas, kemungkinan IHSG akan bergerak fluktuatif pada rentang 5.950 hingga 6.050.

TIM RISET CNBC INDONESIA (yam)

Sumber : CNBC