|
Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque) |
Rifan Financindo - Setelah
seminggu kemarin pasar diwarnai optimisme akan perang dagang, akhir
pekan lalu ketegangan kembali terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan
China. Hal ini dipicu pernyataan China yang mengatakan AS setuju membatalkan seluruh tarif perang dagang.
Pernyataan
itu langsung dibantah Presiden AS Donald Trump akhir pekan lalu. Bahkan
ia mengatakan klaim tersebut adalah kemunduran bagi perdamaian perang
dagang.
"Mereka [China] ingin mengalami kemunduran [kesepakatan]. Saya belum
menyetujui apa pun [soal tarif]," katanya kepada wartawan sebelum
meninggalkan Gedung Putih dalam perjalanan ke Georgia.
"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran
total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan
tarif]."
Komentar Trump ini sebelumnya juga ditegaskan Penasehat Perdagangan
Gedung Putih, Peter Navarro. Bahkan ia menegaskan ini dalam wawancara
dengan Fox Business Network.
"Tidak ada kesepakatan untuk saat
ini yang menghapus semua tarif yang diberlakukan, sebagai kondisi untuk
kesepakatan fase pertama," katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Menurut
Navarro, pihak China hanya bernegosiasi di ranah publik, dan mencoba
mendorong kesepakatan satu arah. Dia menilai pernyataan dari media China
tersebut sebagai upaya propaganda.
Sebelumnya, Pemerintah China
dan Pemerintah AS memang tengah membicarakan kesepakatan damai
perdagangan. Pembicaraan telah dimulai sejak Oktober lalu.
Dari pertemuan yang langsung dihadiri Presiden
AS Donald Trump dan Perdana Menteri China itu, keduanya mengaku sepakat
pada sejumlah hal. Diantaranya, AS yang bersedia membatalkan salah satu
kebijakan tarifnya pada barang China yang berlaku di Oktober.
"Di
dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius,
diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan
di fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah
berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng,
sebagaimana dikutip Bloomberg.
"Jika China, AS, mencapai
kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali
semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan
berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk
tercapainya kesepakatan," katanya lagi.
Sejak 2018
Pemerintah Amerika
pertama kali menjatuhkan tarif impor pada barang-barang China pada
Januari 2018. Saat itu tarif dikenakan pada solar dan sel surya dan
jenis mesin cuci tertentu.
Langkah tersebut langsung dikritik
China. Penerapan tarif itu dilakukan setelah sebelumnya kedua negara
mengadakan perundingan dagang pertama yang membahas berbagai produk
seperti daging dan unggas, hingga baja, aluminium, dan beberapa isu
lainnya.
Selang dua bulan setelahnya, yaitu pada 8 Maret 2018,
Trump menerapkan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium.
Pada awal April, China menerapkan balasan dengan mengenakan tarif impor
terhadap barang-barang AS senilai US$3 miliar.
Semenjak itu,
tarif dagang terus berlangsung hingga 2019. Pada 10 Mei 2019, AS
meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar.
Pada
Agustus, AS kembali menyerang China dengan tarif. Trump mengumumkan
akan mengenakan tarif impor baru sebesar 10% untuk barang-barang China
senilai US$ 300 miliar mulai 1 September.
Alasannya adalah
karena China mengingkari janji untuk membeli produk pertanian AS dan
menghentikan penjualan opioid fentanyl, sejenis obat penenang yang
banyak dipakai di AS. Pada saat itu Trump juga telah mengatakan akan
mengenakan tarif lainnya pada bulan Desember mendatang.
Pada
bulan yang sama, nilai yuan China jatuh di bawah 7 terhadap dolar AS,
untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Akibat ini, AS menuduh China
memanipulasi mata uangnya demi membantu ekspornya yang merugi akibat
perang dagang mereka.
Tuduhan itu dibantah oleh bank sentral China. Namun, AS bersikukuh akan menerapkan tarif baru sebagai hukuman.
Di
akhir Agustus, China mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada
barang-barang AS senilai US$ 75 miliar sebagai pembalasan atas kenaikan
tarif yang direncanakan Gedung Putih. Tarif 5-10% itu rencananya mulai
diberlakukan pada 1 September hingga 15 Desember, bersamaan dengan tarif
AS yang baru.
Namun Trump kembali membalas, mengatakan tarif
senilai US$ 300 miliar yang ia rencanakan untuk jatuhkan pada
barang-barang China, akan dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September.
Trump juga berencana menaikkan tarif yang ada pada US$ 250 miliar barang
China dari 25% menjadi 30% mulai 15 Oktober.
Namun, pada 13
Oktober lalu, AS menangguhkan tarif itu. Alasannya adalah karena kedua
negara sudah berhasil mencapai kesepakatan awal 'fase satu'. Tarif
Oktober itu bahkan berpotensi dihapuskan oleh AS. (sef/sef)
Sumber : CNBC
Baca Juga :
Info Lowongan Kerja
Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan