PT Rifan Financindo - Nilai tukar poundsterling
kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan
Kamis (19/12/2019). Dalam dua hari terakhir, mata uang Negeri John Bull
ini anjlok nyaris 2%.
Di awal perdagangan hari ini, poundsterling sebenarnya mampu menguat 0,42%, tetapi kemudian berbalik melemah 0,34% ke level US$ 1,3031 pada pukul 20:40 WIB. Namun Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) hari ini menambah derita poundsterling.
Dalam pengumuman kebijakan moneter sore tadi, BoE mempertahankan suku bunga acuannya 0,75%, tetapi dua dari sembilan anggota pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) memilih menurunkan suku bunga. Ini berarti suara mempertahankan suku bunga tidak bulat dalam dua pengumuman kebijakan moneter beruntun.
Di awal perdagangan hari ini, poundsterling sebenarnya mampu menguat 0,42%, tetapi kemudian berbalik melemah 0,34% ke level US$ 1,3031 pada pukul 20:40 WIB. Namun Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) hari ini menambah derita poundsterling.
Dalam pengumuman kebijakan moneter sore tadi, BoE mempertahankan suku bunga acuannya 0,75%, tetapi dua dari sembilan anggota pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) memilih menurunkan suku bunga. Ini berarti suara mempertahankan suku bunga tidak bulat dalam dua pengumuman kebijakan moneter beruntun.
Suara yang tidak bulat menandakan jika sebagian anggota dewan
BoE melihat Inggris perlu stimulus untuk mempercepat perputaran roda
perekonomian. Tidak hanya menunjukkan terbelahnya suara anggota, BoE
juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 menjadi
0,1% dari sebelumnya 0,2%. Poundsterling pun berbalik ke zona merah.
Sebelumnya dalam dua hari terakhir poundsterling tertekan setelah CNBC International mengutip media local mewartakan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill), sehingga masa transisi tidak bisa diperpanjang lagi.
Partai Konservatif yang dipimpin Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pada pekan lalu, bahkan menguasai kursi mayoritas parlemen, dengan demikian perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) kemungkinan besar akan terjadi pada 31 Januari 2020, dengan masa transisi yang berlangsung hingga akhir tahun depan.
Ketika ditanya mengenai apakah pemerintah akan melegislasi pembatasan masa transisi tidak lebih dari tahun 2020, salah satu menteri senior Inggris, Michael Gove mengatakan "tepat sekali", sebagaimana diwartakan CNBC International.
Di tempat terpisah, dari Brussel pejabat Uni Eropa mengatakan
jadwal perundingan dagang dengan Inggris "kaku" dan cenderung membatasi
ruang lingkup untuk mencapai kesepakatan dagang.
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat. PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut, yang memicu kecemasan akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (hard Brexit). Dus, poundsterling langsung jeblok.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/ags)
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat. PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut, yang memicu kecemasan akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (hard Brexit). Dus, poundsterling langsung jeblok.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/ags)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar