Foto: Ilustrasi mata uang poundsterling (REUTERS/Benoit Tessier) |
PT Rifan Financindo Palembang - Jelang voting kedua lingkup Partai Konservatif hari ini, Selasa (18/6/19), mata uang poundsterling
kembali jeblok hingga mendekati level terendah enam bulan melawan dolar
Amerika Serikat (AS). Terus menurunnya nilai tukar pound terjadi
setelah nama Boris Johnson semakin kuat menjadi Perdana Menteri Inggris
menggantikan Theresa May.
Hingga Senin (17/6/19) kemarin,
poundsterling telah anjlok dalam empat hari perdagangan berturut-turut,
dengan total pelemahan sebesar 1,5% dan mencapai level terendah sejak 3
Januari. Sementara pagi ini, pound diperdagangkan di kisaran US$ 1,2534
pada pukul 8:10 WIB, tidak jauh dari penutupan perdagangan Senin.
Dalam voting tahap pertama di lingkup Partai Konservatif pada pekan lalu, Boris Johnson menjadi pengumpul suara terbanyak.
Johnson memperoleh 114 suara, unggul jauh dari pesaing terdekatnya
Jeremy Hunt (43 suara). Posisi ketiga ditempat Michael Gove (37 suara).
Menteri
Kesehatan Inggris, Matt Hancock, yang tereleminasi pada voting tahap
pertama (hanya memperoleh 20 suara), kini memberikan dukungannya kepada
Johnson. Hancock mengatakan Johnson merupakan kandidat terbaik yang bisa
memimpin Partai Konservatif, mengutip Reuters.
"Sepertinya Boris Johnson akan menjadi perdana menteri berikutnya,
kecuali ada kejutan besar dan itu menunjukkan peningkatan konfrontasi
yang dengan Uni Eropa," kata Lee Hardman, ahli strategi mata uang MUFG
di London, melansir Reuters.
Total ada tujuh kandidat
yang bakal ikut serta dalam voting tahap kedua, dan berlanjut pada 19
dan 20 Juni hingga menyisakan 2 kandidat. Pada 22 Juni akan dilakukan
pemungutan suara antara dua kandidat terakhir, pemenangnya akan
menduduki kursi tertinggi Partai Konservatif yang otomatis menjadi
Perdana Menteri Inggris.
Johnson adalah figur kontroversial dan
seorang euroskeptik. Oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa Johnson
akan membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dengan cara apa pun, termasuk
No Deal atau Hard Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa
kompensasi) pada 31 Oktober nanti.
Hasil survei Reuters pada periode 11 - 15 Juni menunjukkan
peluang terjadinya Hard Brexit pada 31 Oktober nanti sebesar 25%, naik
dibandingkan survei sebelumnya yang dilakukan di bulan Mei sebesar 15%.(prm)