Senin, 01 Juli 2019

PT Rifan Financindo - Manuver Trump ke Asia, Donald Trump Menang Banyak

Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)
PT Rifan Financindo Palembang - Gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 telah resmi berakhir. Selama dua hari yakni Sabtu hingga Minggu (29-30 Juni), para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan G20 bersua di Osaka, Jepang, guna membahas berbagai hal. Mulai dari perdagangan, investasi, produksi minyak, hingga perubahan iklim dibahas di sini.

Sebagai informasi, G20 merupakan forum yang terdiri dari 20 negara dengan nilai perekonomian atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang besar. Karena nilai perekonomiannya yang besar, negara-negara anggota G20 dipastikan memiliki dampak sistemik pada perekonomian global.

Oleh karena itu, gelaran KTT G20 menjadi momen yang ditunggu oleh seluruh pelaku pasar keuangan, bahkan seluruh masyarakat dunia. Dalam gelaran ini, rantai diplomasi antar negara-negara anggota bisa diperkuat.

Berbicara mengenai gelaran KTT G20 tahun 2019, ada satu tokoh yang bisa dibilang keluar sebagai 'pemenang'. Sosok tersebut adalah Donald Trump, mantap pebisnis yang kini menjabat sebagai presiden Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.

Tak lengkap rasanya jika gelaran KTT G20 tak dikaitkan dengan perang dagang AS-China. Seperti yang kita ketahui, sudah berbulan-bulan lamanya AS dan China saling mengenakan bea masuk bagi produk impor satu sama lain senilai ratusan miliar.

Hal ini dilakukan AS guna menekan kebijakan pemerintah China yang dianggap sangat merugikan AS, seperti pemberian subsidi kepada perusahaan-perusahaan milik pemerintah China, pencurian kekayaan intelektual, hingga transfer teknologi secara paksa yang dialami oleh perusahaan asal AS yang berinvestasi di Negeri Panda.

Menjelang gelaran KTT G20 sebenarnya pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping sudah santer terdengar, hingga akhirnya dikonfirmasi sendiri oleh Trump.

Setelah itu, pemberitaan yang santer terdengar adalah AS dan China telah secara tentatif setuju untuk memberlakukan gencatan senjata di bidang perdagangan guna menyambung lagi rantai negosiasi yang sudah terputus sejak bulan Mei. Pemberitaan tersebut pertama kali digaungkan oleh South China Morning Post (SCMP) dengan mengutip berbagai sumber yang mengetahui masalah tersebut.

Seorang sumber mengatakan bahwa keputusan Trump terkait pemberlakuan gencatan senjata tersebut merupakan syarat dari Xi jika Trump ingin melakukan pertemuan dengannya di sela-sela gelaran KTT G20.

Walaupun positif bagi perekonomian dan pasar keuangan dunia jika AS dan China menyepakati gencatan senjata di bidang perdagangan, namun hal ini sedikit berbeda bagi Trump. Pasalnya, timbul citra bahwa dirinya lah yang begitu 'ngebet' ingin meneken kesepakatan dagang dengan China. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komentarnya (yang dilontarkan berulang kali) bahwa ia nyaman dengan bea masuk yang ditetapkan AS terhadap produk impor asal China.

Pada hari Jumat (28/6/2019) waktu Asia atau sehari menjelang gelaran KTT G20, Trump kemudian membantah sendiri pemberitaan tersebut.

"Saya tak menjanjikkannya, tidak," kata Trump, dilansir dari Reuters.

Tapi nyatanya, AS tetap saja menyetujui gencatan senjata dengan China pasca kedua pimpinan negara bertemu. Dilansir dari CNBC International, pasca Trump dan Xi bertemu selama sekitar 80 menit, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Di sini, citra Trump terangkat. Terlihat bahwa China lah yang sesungguhnya 'ngebet' untuk meneken kesepakatan dagang. Buktinya, tanpa adanya perjanjian bahwa gencatan senjata akan diteken pun Xi tetap bersedia menemui Trump. Hal ini berarti sikap keras yang diambil Trump kepada China telah membuahkan hasil. (ank/ank)


Jumat, 28 Juni 2019

Rifanfinancindo - Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah

Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah
Foto: Bursa Jepang (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Rifanfinancindo Palembang - Bursa Jepang dibuka di zona merah, Jumat (28/6/2019), ketika pertemuan negara-negara Kelompok 20 atau G20 dimulai. Pembicaraan perdagangan yang dinanti-nantikan antara Amerika Serikat (AS) dan China juga akan berlangsung di sela-sela pertemuan ini.

Indeks acuan Nikkei 225 melemah 0,2% sementara indeks Topix terkoreksi 0,12% di awal perdagangan.

Isu perdagangan akan menjadi salah satu topik panas yang akan dibahas dalam pertemuan G20 di Osaka, Jumat dan Sabtu ini. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping juga akan bertemu Sabtu siang waktu setempat untuk membicarakan perang dagang kedua negara.

Meski sebagian besar para pelaku pasar global telah memperkirakan tidak ada kesepakatan dagang yang akan dicapai esok, mereka masih berharap kedua negara akan mau melanjutkan perundingan dagang yang menemui jalan buntu Mei lalu.

Selain itu, rancangan komunike G20 disebut-sebut akan mencantumkan pernyataan mengenai praktik perdagangan proteksionis. Tekanan dari Trump membuat G20 harus menghapuskan satu frasa yang menyerukan perlunya melawan proteksionisme dari komunike pertemuan tahun lalu di Buenos Aires, Argentina.

Komunike yang diteken para menteri keuangan dan pemimpin bank sentral G20 awal bulan ini juga tidak menyebutkan perlawanan terhadap proteksionisme. Namun, beberapa negara Eropa meminta komunike pekan ini memasukkan kalimat yang menentang menyebarnya kebijakan perdagangan protektif, tulis surat kabar Jepang Asahi.

Jepang, yang memimpin pertemuan G20 tahun ini, mencoba mencari jalan tengah dan rancangan komunike saat ini berisi frasa yang mendukung perdagangan bebas, menurut surat kabar tersebut. (prm)


Kamis, 27 Juni 2019

Rifan Financindo - Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal

Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal
Rifan Financindo Palembang - Perjanjian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China punya harapan untuk menjadi kenyataan. Keyakinan itu muncul setelah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kedua negara masih memiliki harapan untuk merampungkan seluruh kesepakatan penting itu.

Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea impor sejak setahun lalu terhadap berbagai produk senilai ratusan miliar dolar. Kebijakan itu telah mengguncang perekonomian dan pasar keuangan dunia serta mengganggu rantai pasokan global.

Bicara soal optimisme, ekonomi pun akan semakin membaik. Lalu bagaimana jika AS dan China batal bersepakat?

"Bila negosiasi dagang tersebut semakin sulit mencapai titik temu maka dampaknya kepada ekonomi global semakin nyata dan berkepanjangan (prolong)," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (27/6/2019).

Risiko yang Timbul untuk RI Jika Trump dan Jinping Batal Deal
Foto: Nanang Hendarsah (dok. Bank Indonesia)
Bila hal ini terjadi, sambung Nanang, maka bank sentral AS Federal Reserve pun akan semakin agresif menurunkan suku bunga karena ekonomi AS pun akan semakin terpukul. Pasar OIS (overnight index swap) dan futures bahkan memprediksi akhir tahun ini Fed Funds Rate akan ke 1,6%, terpaut jauh dari dot plot FOMC terakhir di 2,375%.

"Dengan menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga global dan domestik ke depan, wajar bila investor sigap masuk ke SBN [Surat Berharga Negara] saat ini untuk mengunci (lock up) yield SBN yang tinggi saat ini karena mereka tahu yield akan berlanjut turun. Secara year-to-date (per 25 Juni 2019), arus modal ke pasar SBN saja mencapai Rp 90,9 triliun," papar Nanang.

Ia menjelaskan lebih jauh, bila yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1.9% berlanjut turun ke 1,6% di akhir 2019 akan membuat spread dengan yield SBN yang saat ini di 7.4% maka spreadnya akan melebar di atas 550 bps. 

"Bila dikurangi dengan instrumen lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang saat ini 100 bps, maka Covered Yield Parity nya 450 bps. Seharusnya CDS Indonesia lebih rendah dari 100 bps karena pasar belum memperhitungkan secara penuh (fully priced in) upgrade credit rating oleh S&P pada akhir Mei lalu," tutur Nanang.

Kondisi ini berbeda dengan tahun 2018 lalu di mana the Fed justru sedang menaikkan suku bunga sehingga mendorong yield obligasi AS naik di atas 3.0%. Sehingga di tahun 2018 lalu, sambung Nanang, RI menghadapi dua tantangan pada neraca pembayaran yaitu tekanan di current account dan financial account. 

"Di tahun ini tekanan di financial account-nya seharusnya mereda, bahkan bisa surplus besar untuk menutup defisit di current account. Hanya saja kita masih mewaspadai berlangsungnya eskalasi sengketa dagang AS China yang masih bisa memengaruhi pergerakan lalu lintas modal asing," tutup Nanang.(prm)

Sumber : CNBC
 
 

Rabu, 26 Juni 2019

PT Rifan Financindo - The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran

The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
PT Rifan Financindo Palembang - Para pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memupuskan harapan para pelaku pasar dan menepis tekanan presiden agar memangkas suku bunga acuan hingga 50 basis poin di pertemuannya bulan depan.

Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan independensi bank sentral dari pengaruh Presiden Donald Trump dan pasar keuangan yang saat ini tengah mendesak adanya pemangkasan suku bunga yang agresif. Ia menyampaikan hal itu dalam pidatonya di Dewan Hubungan Internasional di New York, Selasa (25/6/2019).

"The Fed bebas dari tekanan-tekanan politik jangka pendek," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami tidak ada urusan mencoba bekerja berdasarkan pergerakan sesaat di sektor finansial. Kami harus melihat lebih jauh dari itu," ujarnya ketika ditanya mengenai kemungkinan The Fed mengecewakan pasar karena tidak mewujudkan harapan penurunan bunga acuan secara agresif itu.

Namun, ia mengatakan dirinya dan koleganya tengah mencari tahu apakah ketidakpastian terkait bea impor AS, konflik Washington dengan para rekan dagangnya, dan lesunya inflasi memerlukan penurunan suku bunga.


The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (REUTERS/Leah Millis)

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard memupuskan harapan penurunan suku bunga hingga 50 basis poin.

"Duduk di sini hari ini, saya rasa 50 basis poin akan berlebihan," ujarnya kepada Bloomberg TV dan dikutip Reuters

"Saya tidak merasa situasi saat ini benar-benar meminta hal tersebut namun saya bersedia menurunkan 25 basis poin... Saya tidak suka mendahului pertemuan (The Fed) karena banyak hal bisa berubah hingga saat itu tiba. Namun, jika saya harus memutuskan hari ini, itulah yang akan saya lakukan," lanjutnya.

The Fed pada pertemuan penentuan kebijakanya pekan lalu memutuskan menahan bunga acuan namun memberi sinyal akan melonggarkan kebijakan di Juli.

Bullard ketika itu memberikan suara agar The Fed menurunkan suku bunganya karena lemahnya inflasi dan ketidakpastian proyeksi pertumbuhan ekonomi memerlukan langkah tersebut.

Mengutip CME Fedwatch, pada Senin (24/6/2019), probabilitas FFR diturunkan 50 basis poin pada bulan Juli mencapai 42,6%. Sedangkan saat ini, setelah Powell dan Bullard berbicara, probabilitas itu turun menjadi tinggal 29,2%, dikutip dari Newsletter CNBC Indonesia.

Meski demikian, pelaku pasar masih yakin 100% bahwa suku bunga akan turun bulan Juli, setidaknya 25 basis poin. (prm)


Selasa, 25 Juni 2019

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah - Rifanfinancindo

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah
Rifanfinancindo Palembang - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah pada perdagangan Senin (24/6/19), setelah mengalami penurunan tajam dalam tiga hari berturut-turut pada pekan lalu.

Sikap dovish Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih menjadi penekan utama Mata Uang Paman Sam.

Pada pukul 20:50 WIB, indeks dolar berada di level 96,13 atau melemah sekitar 0,9%, mengutip data dari Refinitiv. Sementara dalam tiga hari terakhir indeks yang digunakan untuk mengukur kekuatan dolar ini anjlok 1,47%.

Saat mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (20/6/19) lalu, The Fed membuka peluang pemangkasan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Pasca-pengumuman kebijakan tersebut, pelaku pasar semakin yakin Jerome Powell, sang pimpinan, akan memangkas suku bunga di tahun ini. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group yang menunjukkan hingga akhir tahun probabilitas suku bunga 2,25% - 2,50% ditahan sebesar 0% alias tidak ada.

The Fed diprediksi akan memangkas FFR sebanyak 25 basis poin menjadi 2,00% - 2,25% pada bulan Juli. Probabilitas terjadinya pemangkasan suku bunga tersebut sebesar 63,6%, berdasarkan perangkat FedWatch.

Di sisa tahun 2019, The Fed diramal akan memangkas FFR lagi di bulan September dan Desember.

Meski mayoritas bank sentral utama dunia juga akan melonggarkan kebijakan moneter, namun The Fed diprediksi menjadi yang paling agresif. Hal ini tentunya berkebalikan dengan tahun 2018 lalu, saat bank sentral paling powerful di dunia ini menaikkan suku bunga sebanyak empat kali.

Kebijakan The Fed mengalami u-turn jika pada akhirnya benar-benar memangkas suku bunga.

Bank sentral lainnya yang juga berancang-ancang akan melonggarkan moneter adalah European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ). Namun, kedua bank sentral itu sepertinya akan menggunakan instrumen selain suku bunga untuk pelonggaran moneter, misalnya dengan program pembelian aset seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

Hanya Bank of England (BOE) yang belum bersikap dovish, malah bank sentral Inggris ini membuka peluang kenaikan suku bunga jika Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan atau soft Brexit. (pap/pap)