Rifan Financindo Palembang - Perjanjian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China
punya harapan untuk menjadi kenyataan. Keyakinan itu muncul setelah
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kedua negara masih
memiliki harapan untuk merampungkan seluruh kesepakatan penting itu.
Kedua
negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea
impor sejak setahun lalu terhadap berbagai produk senilai ratusan
miliar dolar. Kebijakan itu telah mengguncang perekonomian dan pasar
keuangan dunia serta mengganggu rantai pasokan global.
Bicara soal optimisme, ekonomi pun akan semakin membaik. Lalu bagaimana jika AS dan China batal bersepakat?
"Bila
negosiasi dagang tersebut semakin sulit mencapai titik temu maka
dampaknya kepada ekonomi global semakin nyata dan berkepanjangan
(prolong)," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank
Indonesia (BI) Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis
(27/6/2019).
|
Bila hal ini terjadi, sambung Nanang, maka bank sentral AS
Federal Reserve pun akan semakin agresif menurunkan suku bunga karena
ekonomi AS pun akan semakin terpukul. Pasar OIS (overnight index swap)
dan futures bahkan memprediksi akhir tahun ini Fed Funds Rate akan ke
1,6%, terpaut jauh dari dot plot FOMC terakhir di 2,375%.
"Dengan
menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga global dan domestik ke
depan, wajar bila investor sigap masuk ke SBN [Surat Berharga Negara]
saat ini untuk mengunci (lock up) yield SBN yang tinggi saat ini karena
mereka tahu yield akan berlanjut turun. Secara year-to-date (per 25 Juni
2019), arus modal ke pasar SBN saja mencapai Rp 90,9 triliun," papar
Nanang.
Ia menjelaskan lebih jauh, bila yield obligasi pemerintah AS
tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1.9% berlanjut turun ke 1,6% di
akhir 2019 akan membuat spread dengan yield SBN yang saat ini di 7.4%
maka spreadnya akan melebar di atas 550 bps.
"Bila dikurangi
dengan instrumen lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS)
Indonesia yang saat ini 100 bps, maka Covered Yield Parity nya 450 bps.
Seharusnya CDS Indonesia lebih rendah dari 100 bps karena pasar belum
memperhitungkan secara penuh (fully priced in) upgrade credit rating
oleh S&P pada akhir Mei lalu," tutur Nanang.
Kondisi ini
berbeda dengan tahun 2018 lalu di mana the Fed justru sedang menaikkan
suku bunga sehingga mendorong yield obligasi AS naik di atas 3.0%.
Sehingga di tahun 2018 lalu, sambung Nanang, RI menghadapi dua tantangan
pada neraca pembayaran yaitu tekanan di current account dan financial
account.
"Di tahun ini tekanan di financial account-nya
seharusnya mereda, bahkan bisa surplus besar untuk menutup defisit di
current account. Hanya saja kita masih mewaspadai berlangsungnya
eskalasi sengketa dagang AS China yang masih bisa memengaruhi pergerakan
lalu lintas modal asing," tutup Nanang.(prm)
Sumber : CNBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar