Kamis, 19 Desember 2024

Pasar Eropa Diperkirakan Melemah Setelah Sinyal dari Federal Reserve

 


Pasar saham Eropa diprediksi akan dibuka melemah pada hari Kamis, mengikuti tren penurunan di pasar global setelah Federal Reserve AS mengindikasikan lebih sedikit pemangkasan suku bunga di masa mendatang.

Prediksi Penurunan di Bursa Eropa
FTSE 100 di Inggris diperkirakan akan dibuka turun 84 poin ke level 8.105, sementara indeks DAX Jerman kehilangan 265 poin ke 19.993. CAC 40 Prancis diprediksi turun 105 poin ke 7.284, dan FTSE MIB Italia melemah 507 poin ke 33.876, menurut data dari IG.

Penurunan ini terjadi setelah aksi jual besar-besaran di Wall Street pada hari Rabu, menyusul keputusan Fed untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran target 4,25%-4,50%. Namun, Fed juga memberikan sinyal bahwa hanya akan ada dua kali pemangkasan suku bunga pada tahun 2025, lebih sedikit dibandingkan empat kali pemangkasan yang diproyeksikan sebelumnya.

Dampak Komentar Jerome Powell
Ketua Fed Jerome Powell menyatakan dalam konferensi pers setelah pertemuan bahwa Fed telah bergerak cukup cepat hingga saat ini, tetapi langkah ke depan akan diambil dengan lebih hati-hati. Komentar ini memicu kepanikan di Wall Street, dengan saham AS jatuh akibat terguncangnya sentimen pasar yang sebelumnya optimis.

Penurunan di pasar AS juga menjalar ke pasar Asia-Pasifik semalam, dengan indeks saham dan mata uang di kawasan tersebut turut tertekan.

Fokus pada Kebijakan Bank Sentral Eropa
Hari Kamis ini, perhatian investor akan tertuju pada keputusan kebijakan moneter dari Bank of England dan Norges Bank, bank sentral Norwegia. Langkah kedua bank sentral ini akan menjadi acuan penting untuk memahami bagaimana Eropa merespons tekanan ekonomi global.

Data Ekonomi yang Menjadi Sorotan
Selain itu, data ekonomi regional seperti registrasi mobil penumpang baru di Eropa, indeks kepercayaan konsumen GfK Jerman, dan data perdagangan Spanyol juga akan diawasi ketat oleh investor untuk menilai kesehatan ekonomi kawasan tersebut.

Kesimpulan
Pasar Eropa menghadapi tekanan besar di tengah sentimen global yang suram akibat kebijakan hawkish Fed. Dengan kombinasi proyeksi pemangkasan suku bunga yang lebih lambat, aksi jual di Wall Street, dan perhatian terhadap kebijakan bank sentral Eropa, volatilitas diperkirakan akan tetap tinggi. Data ekonomi regional akan menjadi faktor kunci yang menentukan arah pasar dalam waktu dekat.

Selasa, 17 Desember 2024

Rupiah Diprediksi Melemah di Tengah Penantian Keputusan The Fed

 


Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini, Selasa (17/12/2024), diproyeksi bergerak fluktuatif namun cenderung ditutup melemah di rentang Rp15.090 hingga Rp16.050 per dolar AS. Hal ini dipengaruhi oleh sikap hati-hati investor yang menanti keputusan penurunan suku bunga dari bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).

Pada penutupan perdagangan Senin (16/12), rupiah tercatat mengalami penguatan tipis sebesar 0,04% atau naik 7 poin ke level Rp16.001,5 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS terpantau melemah sebesar 0,19% ke posisi 106,8.

Dari sisi eksternal, penguatan dolar AS masih menjadi faktor utama yang menekan pergerakan mata uang regional, termasuk rupiah. Hal ini terjadi menjelang pertemuan The Fed yang diperkirakan akan menjadi momen penting dalam menentukan kebijakan moneter ke depan.

Sentimen Global: Antisipasi Penurunan Suku Bunga The Fed

Investor memproyeksikan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan pekan ini. Jika terealisasi, maka total penurunan suku bunga sepanjang tahun 2024 akan mencapai 100 basis poin. Namun, perhatian pasar saat ini tertuju pada sinyal yang akan disampaikan The Fed terkait langkah-langkah kebijakan selanjutnya.

Sentimen ini muncul setelah data ekonomi AS menunjukkan kenaikan inflasi pada November 2024. Data tersebut mencerminkan bahwa tekanan harga masih cukup kuat, sementara pasar tenaga kerja AS tetap stabil dengan tingkat pengangguran rendah. Kondisi ini dapat mempersempit ruang bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneter secara agresif.

Prospek kebijakan suku bunga yang lebih ketat membuat dolar AS cenderung menguat, menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Jika The Fed memberi sinyal untuk mempertahankan suku bunga lebih lama di level tinggi, hal ini berpotensi menambah tekanan bagi rupiah di pasar valuta asing.

Faktor Domestik dan Respons Pasar

Di dalam negeri, pergerakan rupiah juga dipengaruhi oleh dinamika ekonomi nasional dan arus modal asing. Investor cenderung bersikap hati-hati di tengah ketidakpastian global. Kondisi ini mendorong permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS, yang semakin membebani rupiah.

Di sisi lain, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga stabilitas rupiah melalui berbagai kebijakan moneter dan intervensi di pasar. Namun, volatilitas global yang masih tinggi membuat rupiah rentan mengalami pelemahan, terutama menjelang akhir tahun.

Proyeksi Rupiah ke Depan

Dengan kombinasi faktor global dan domestik yang ada, nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang fluktuatif. Investor masih menunggu kejelasan terkait kebijakan moneter The Fed, yang menjadi penentu utama pergerakan pasar dalam beberapa waktu mendatang. Jika sinyal dari The Fed cenderung hawkish, rupiah berpotensi tertekan lebih dalam.

Secara keseluruhan, pasar masih akan mencermati perkembangan data ekonomi global serta pernyataan resmi dari The Fed. Fokus utama tetap pada arah kebijakan suku bunga AS, yang akan sangat memengaruhi sentimen investor terhadap aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Jumat, 13 Desember 2024

EUR/USD Stabil di Tengah Perbedaan Kebijakan ECB dan Fed

 


Pasangan EUR/USD tetap tertekan selama sesi Asia pada Jumat (13/12), menyentuh level terendah dalam hampir tiga minggu di sekitar area 1,0455. Faktor fundamental yang mendasari menunjukkan bahwa jalur dengan resistensi paling rendah untuk harga spot cenderung ke bawah, mendukung prospek kelanjutan tren penurunan baru-baru ini.

Mata uang Euro terus terbebani oleh bias dovish dari Bank Sentral Eropa (ECB) dan kekhawatiran terhadap melemahnya ekonomi Zona Euro. Pada Kamis lalu, ECB kembali memangkas suku bunga untuk keempat kalinya tahun ini dan membuka kemungkinan pelonggaran lebih lanjut pada 2025. Keputusan ini mencerminkan perbedaan besar dibandingkan ekspektasi pasar terhadap kebijakan Federal Reserve (Fed) yang lebih hawkish, sehingga memperkuat prospek negatif bagi pasangan EUR/USD.

Perbedaan Kebijakan Moneter dan Dampaknya

Rilis data indeks harga konsumen (CPI) dan produsen (PPI) AS minggu ini menunjukkan bahwa upaya menurunkan inflasi menuju target 2% Fed hampir terhenti. Selain itu, meningkatnya keyakinan pasar bahwa kebijakan ekspansif Presiden Donald Trump akan memicu tekanan inflasi lebih besar, menyiratkan Fed kemungkinan lebih berhati-hati dalam pemotongan suku bunga di masa depan.

Kondisi ini mendukung kenaikan lebih lanjut pada imbal hasil obligasi AS dan membantu Dolar AS mempertahankan keuntungannya yang tercatat selama lebih dari seminggu terakhir, menyentuh level tertinggi bulanan baru pada Kamis. Selain itu, risiko geopolitik yang terus berlangsung, seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah, ditambah kekhawatiran perang dagang, turut memperkuat daya tarik Dolar sebagai aset aman dan memberikan tekanan tambahan pada pasangan EUR/USD.

Pasar Menunggu Kejelasan dari FOMC

Meskipun tekanan pada Euro cukup besar, para trader tampaknya enggan mengambil posisi agresif menjelang pertemuan kebijakan moneter dua hari FOMC minggu depan. Hasil dari pertemuan ini akan diawasi ketat untuk mendapatkan petunjuk baru mengenai jalur pemotongan suku bunga Fed, yang pada gilirannya akan menentukan arah jangka pendek bagi Dolar AS dan pasangan EUR/USD.

Namun, dengan latar belakang fundamental yang lebih condong mendukung penjual (bearish), prospek pasangan ini kemungkinan tetap negatif, kecuali terdapat kejutan signifikan dari FOMC atau perubahan dalam sentimen pasar global.

Selasa, 10 Desember 2024

Harga Minyak Turun, Didorong Oleh Redanya Kekhawatiran Geopolitik dan Fokus pada Stimulus China



Harga minyak mengalami penurunan pada Selasa, meskipun pasar tetap mendapat dukungan dari janji China untuk meningkatkan stimulus kebijakan yang dapat mendorong permintaan minyak mentah sebagai konsumen utama dunia.

Pergerakan Harga Minyak

Kontrak berjangka Brent turun 26 sen, atau sekitar 0,4%, menjadi $71,88 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 30 sen, atau 0,4%, menjadi $68,07 per barel pada pukul 07:07 GMT. Penurunan ini mengikuti kenaikan lebih dari 1% yang terjadi pada Senin.

Menurut Yeap Jun Rong, seorang ahli strategi pasar di IG, ketegangan di Timur Tengah tampak lebih terkendali. Hal ini menyebabkan pelaku pasar memproyeksikan risiko rendah dari potensi meluasnya gangguan regional yang signifikan terhadap pasokan minyak.

Dampak Perubahan Rezim di Suriah

Pasca penggulingan Presiden Bashar al-Assad, pemberontak Suriah mulai bekerja untuk membentuk pemerintahan baru dan memulihkan ketertiban. Sektor perbankan dan minyak di negara tersebut juga diharapkan kembali beroperasi pada Selasa.

Meskipun Suriah bukan produsen minyak utama, posisinya yang strategis serta hubungan eratnya dengan Rusia dan Iran menimbulkan potensi ketidakstabilan di kawasan. Peralihan kekuasaan ini menandai akhir dari perang saudara selama 13 tahun dan lebih dari lima dekade pemerintahan keras keluarga Assad.

Fokus Pasar pada Kebijakan Federal Reserve

Pasar juga mengalihkan perhatian ke potensi pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve AS minggu depan. Langkah ini, jika terealisasi, dapat meningkatkan permintaan minyak di ekonomi terbesar dunia.

The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan 17-18 Desember. Namun, pelaku pasar masih menunggu data inflasi minggu ini untuk memastikan apakah prospek tersebut akan tetap berlaku.

Dampak Stimulus China pada Permintaan Minyak

Harapan pasar terhadap kebijakan stimulus agresif dari China turut membatasi penurunan harga minyak. Laporan menunjukkan bahwa China akan mengadopsi kebijakan moneter yang "longgar secara tepat" tahun depan—pelonggaran pertama dalam 14 tahun terakhir—untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagai importir minyak terbesar dunia, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan minyak mentah.

Namun, kenaikan harga minyak tetap terbatas hingga ada kejelasan lebih lanjut mengenai dampak langkah Beijing terhadap prospek permintaan minyak. Yeap dari IG menambahkan bahwa meskipun data menunjukkan impor minyak mentah China melonjak pada November, pelaku pasar masih berhati-hati dalam mengambil posisi spekulatif.

Harga minyak terus dipengaruhi oleh kombinasi faktor geopolitik, kebijakan moneter global, dan prospek ekonomi China. Sementara ketegangan di Timur Tengah mulai mereda, perhatian kini beralih ke langkah stimulus China dan keputusan suku bunga Federal Reserve. Dengan dinamika ini, harga minyak cenderung fluktuatif dalam jangka pendek, menunggu kepastian dari kebijakan global yang dapat memengaruhi permintaan energi dunia.

Selasa, 03 Desember 2024

Rupiah Diprediksi Melemah: Analisis Sentimen Global dan Domestik

 


Nilai tukar rupiah diperkirakan berada pada kisaran Rp15.890 hingga Rp15.970 per dolar AS hari ini. Pelemahan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal dan internal, termasuk sentimen global terkait kebijakan proteksionis AS dan indikator ekonomi domestik seperti inflasi dan kinerja sektor manufaktur.


Pergerakan Rupiah dan Mata Uang Asia

Pada penutupan perdagangan Senin (2/12/2024), rupiah melemah 0,37% menjadi Rp15.905 per dolar AS berdasarkan data Bloomberg. Kinerja ini sejalan dengan pelemahan mayoritas mata uang Asia lainnya:

  • Yen Jepang: Turun 0,31%.
  • Won Korea Selatan: Melemah 0,50%.
  • Yuan China: Merosot 0,35%.
  • Peso Filipina: Turun 0,50%.
  • Rupee India: Melemah 0,24%.
  • Baht Thailand: Turun 0,51%.

Hanya dolar Hong Kong yang mencatat penguatan tipis sebesar 0,01%.


Sentimen Eksternal: Kebijakan Donald Trump

Pelemahan rupiah tidak terlepas dari pengaruh kebijakan global, khususnya ancaman proteksionis dari Presiden terpilih AS, Donald Trump. Trump mengisyaratkan akan mengenakan tarif hingga 100% pada blok BRICS, serta tambahan tarif pada China, Kanada, dan Meksiko.

  • Dampak Ancaman Tarif: Kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali ketegangan perang dagang global, yang mendorong penguatan dolar AS sebagai aset aman.
  • Ekspektasi Inflasi dan Suku Bunga Tinggi: Ketidakpastian atas kebijakan Trump juga meningkatkan ekspektasi inflasi jangka panjang, yang dapat memaksa The Fed mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.

Indikator Ekonomi Domestik

Dari sisi domestik, beberapa indikator ekonomi turut membebani performa rupiah:

1. Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur

PMI manufaktur Indonesia berada di level 49,2 pada Oktober 2024, menandakan kontraksi selama empat bulan berturut-turut.

  • Faktor Utama: Melemahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu penyebab stagnasi di sektor manufaktur. Tren ini juga terlihat di negara-negara ASEAN lain yang mengalami kontraksi serupa.
2. Inflasi November 2024

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi November sebesar 0,30%, naik dari 0,08% pada Oktober, tetapi masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

  • Kelompok Penyumbang Inflasi:
    • Makanan, Minuman, dan Tembakau: Memberikan kontribusi terbesar dengan inflasi 0,78% dan andil sebesar 0,22%.
    • Komoditas Utama: Bawang merah dan tomat masing-masing menyumbang 0,10% terhadap inflasi bulan ini.

Prospek Rupiah ke Depan

Pelemahan rupiah mencerminkan kombinasi tekanan eksternal dan domestik. Dari sisi global, kebijakan proteksionis AS dan sentimen perang dagang menjadi faktor dominan yang memicu penguatan dolar. Sementara itu, lemahnya kinerja sektor manufaktur dan inflasi yang meningkat secara moderat memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar.

Pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan global dan data ekonomi domestik yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah dalam beberapa hari mendatang.