Senin, 17 Juni 2019

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar - Rifanfinancindo

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar
Foto: REUTERS/Thomas White
Rifanfinancindo Palembang - India mengenakan bea impor yang lebih tinggi terhadap 28 produk asal Amerika Serikat (AS) sebagai balasan setelah Negeri Paman Sam mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Negeri Bollywood itu.

Aksi balasan dari India itu menargetkan produk-produk AS, seperti kacang almond, apel, dan kacang walnut.

Penerapan GSP sebelumnya membuat berbagai produk dari India senilai US$5,6 miliar dapat masuk ke AS tanpa dikenai bea impor.

Bea impor baru itu berlaku mulai Minggu, menurut pemberitahuan resmi pemerintah, dilansir dari Reuters. Langkah ini membuat perseteruan dagang baru terjadi setelah Presiden AS Donald Trump berkuasa pada 2017 dan berjanji akan menindak negara-negara yang mencetak defisit perdagangan besar.

Trump telah mencabut GSP bagi India sejak 5 Juni lalu. India menyebut kebijakan itu sangat disayangkan dan berjanji akan membela kepentingan nasionalnya.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa India bersiap untuk menjatuhkan bea masuk yang lebih tinggi jelang pertemuan Perdana Menteri Narendra Modi dan Trump di sela-sela konferensi G20 di Jepang pada 28 dan 29 Juni mendatang.

India awalnya mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan bea impor hingga 120% terhadap beberapa produk AS pada Juni tahun lalu menyusul keputusan Washington yang menolak mengecualikan New Delhi dari bea masuk baja dan aluminium yang lebih tinggi.

Namun, India terus-menerus menunda penerapan kebijakan itu sembari menunggu hasil pembicaraan dagang kedua negara. Nilai perdagangan AS-India mencapai sekitar US$142,1 miliar di 2018.

Bea masuk India yang lebih tinggi terhadap barang-barang AS dapat berdampak pada hubungan politik dan keamanan kedua negara.

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar
Ilustrasi pabrik di India (Foto: REUTERS/Amit Dave)
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo akan berkunjung ke India bulan ini. Pada pekan lalu, ia sempat mengatakan negaranya terbuka untuk berdialog untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dengan India melalui pemberian akses pasar yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan Amerika di Negeri Bollywood itu.

Aturan baru India di beberapa bidang, seperti e-commerce dan lokalisasi data, telah membuat AS marah dan menghantam berbagai perusahaan seperti Amazon.com, Walmart, Mastercard, dan Visa. (prm)
 

Jumat, 14 Juni 2019

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar - Rifan Financindo

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar
Rifan Financindo Palembang - Tekanan pada harga komoditas batu bara global semakin berat seiring dikeluarkannya izin proyek tambang Charmicael, Australia. Kala sudah beroperasi secara penuh, proyek tersebut diperkirakan akan membuat ekspor batu bara thermal Australia meningkat hingga dua kali lipat.

Pada akhir perdagangan hari Kamis (13/6/2019), harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Juli di bursa Intercontinental Exchange (ICE) berada di level US$ 72,25/metrik ton, atau melemah 0,55% dibanding hari sebelumnya. Pada posisi tersebut, harga batu bara merupakan yang paling rendah sejak 15 Mei 2017.

Kemarin, pemerintah Australia telah mengeluarkan izin proyek pembangunan tambang batu bara raksasa Charmicael kepada Adani Australia, yang merupakan anak perusahaan batu bara raksasa asal India, Adani Group.

"Mulai hari ini hingga dua tahun ke depan, orang-orang akan berkekspektasi kami untuk melakukan ekspor pertama batu bara," ujar Lucas Dow, CEO Adani Mining, mengutip Reuters, Kamis (13/6/2019).

Berdasarkan pemberitaan dari Yahoo Finance, seperti yang dikutip dari Reuters, tambang baru tersebut berpotensi menghasilkan 60 juta ton batu bara thermal setiap tahun. Namun pada fase awal, perusahaan rencananya akan memproduksi 10 ton.

"Ekspor batu bara thermal Queensland bisa tumbuh lebih pesat dibanding yang telah diprediksi sebelumnya, seiring dengan izin pemerintah setempat yang memungkinkan untuk memulai pembangunan [proyek]," ujar Viktor Tanevski, analis konsultan Wood Mackenzie dalam sebuah catatan.

"Fase awal 10 juta ton dari proyek tersebut ditujukan untuk ekspor ke India, yang dapat memberikan tekanan ke bawah pada harga batu bar thermal, dan juga bersaing dengan batu bara abu tinggi lain dari Australia dan Afrika Selatan yang mengalir ke India."

India merupakan destinasi batu bara Impor terbesar kedua di dunia, dengan pangsa pasar mencapai 19%. Sementara China masih menjadi yang terbesar dengan porsi mencapai 22%.

Sementara di China, sentimen untuk batu bara impor juga masih tidak bagus.

Pemerintah China masih belum mencabut kebijakan pembatasan impor yang telah diberlakukan sejak tahun 2018. Kebijakan tersebut membatasi kuota impor batu bara pada level yang sama dengan tahun 2017.

Alhasil sepanjang 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton naik tipis dari 271,1 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding impor pada tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.

Apalagi kali ini produksi batu bara di China juga ada kemungkinan meningkat. Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) mengatakan ada kapasitas produksi batu bara tambahan sebesar 194 juta ton yang siap digarap pada tahun 2019. Asosiasi Perusahaan Tambang Batu Bara China juga telah memasang target peningkatan produksi sebesar 100 juta ton di tahun 2019.

Dikombinasikan dengan sentimen perlambatan ekonomi global yang tengah melanda, tentu saja peningkatan pasokan bukan kabar baik. Keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi sangat timpang dan menekan harga.

Sebagai catatan, harga batu bara Newcastle mengacu pada batu bara kalori 6.000 kcal. (taa/taa)

Sumber : CNBC
 

Kamis, 13 Juni 2019

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas - PT Rifan Financindo

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas
Foto: Dok Freepik
PT Rifan Financindo Palembang - Harga emas global masih melanjutkan penguatan yang dimulai sejak kemarin seiring dengan tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) yang rendah. Rendahnya inflasi membuat peluang bank sentral (The Federal Reserves/The Fed) untuk menurunkan suku bunga semakin besar.

Pada perdagangan Rabu (13/5/2019) pukul 10:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) naik 0,13% ke posisi US$ 1.338,5/troy ounce. Adapun harga emas di pasar spot naik 0,23% menjadi US$ 1.336,26/troy ounce pada waktu yang sama.

Kemarin harga emas COMEX dan spot juga menguat masing-masing sebesar 0,42% dan 0,49%.

Tingkat inflasi AS pada bulan Mei yang hanya sebesar 0,1% MoM atau 1,8% YoY membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed bisa saja menurunkan suku bunga acuan (Federal Fund Rate/FFR) dalam waktu dekat.

Pasalnya, inflasi Mei tercatat lebih lambat dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 0,3% Mom atau 1,9% YoY. Perlambatan inflasi dapat mencerminkan permintaan konsumen yang lesu, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk menaikkan harga.

Bila benar suku bunga acuan The Fed turun, bahkan dalam waktu dekat, maka kemungkinan besar nilai aset-aset yang berbasis dolar akan terkoreksi. Apalagi, enam hari lagi komite penentu kebijakan The Fed (FOMC) akan kembali menggelar rapat, yang bisa saja mengumumkan penurunan suku bunga saat itu.

Alhasil investor cenderung untuk mengalihkan asetnya ke bentuk safe haven selain dolar AS, yang mana emas merupakan salah satunya.

Selain itu pada hari ini, nilai Dollar Index (yang menyatakan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia masih tercatat melemah 0,09%. Harga emas pun jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Investor pun makin tergoda untuk banyak-banyak mengoleksi emas.


TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
 

Rabu, 12 Juni 2019

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai – Rifanfinancindo

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai
Foto: REUTERS/Jason Lee
Rifanfinancindo Palembang - Indeks Shanghai dibuka melemah 0,29% ke level 2.917,22, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,67% ke level 27.603,12.

Perang urat saraf AS-China di bidang perdagangan yang terus terjadi membuat aksi jual menerpa bursa saham China dan Hong Kong. Menjelang gelaran KTT G-20 pada akhir bulan ini di Jepang yang berpeluang mempertemukan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping, nada keras dilontarkan oleh kedua belah negara.

Trump menegaskan bahwa dirinya tidak ingin sebuah kesepakatan dagang yang merugikan Negeri Adidaya. 

"China adalah kompetitor utama dan mereka ingin sebuah kesepakatan yang merugikan (bagi AS). Memang saya yang menunda terjadinya kesepakatan, karena saya ingin ada kesepakatan yang luar biasa atau tidak sama sekali," papar Trump, dilansir dari Reuters.

"Sebenarnya kami sudah sepakat dengan China, tetapi mereka malah bergerak mundur. Mereka bilang tidak ingin ada empat hal, lima hal. Namun kami sudah sepakat dengan China, dan kecuali mereka mau kembali ke kesepakatan itu maka saya tidak tertarik," lanjutnya.

Dari pihak China, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.

"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.

Jika tak ada resolusi dalam waktu dekat, maka perang dagang antar kedua negara yang sudah berlangsung begitu lama bisa tereskalasi. Akibatnya, laju perekonomian AS dan China akan diterpa tekanan yang lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)


Selasa, 11 Juni 2019

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS - Rifan Financindo

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS
Rifan Financindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengklaim damai dagang antara AS dengan China bakal terwujud. Demikian disampaikan Trump dalam sebuah wawancara ekslusif via telepon dengan Joe Kernen pada program "Squawk Box", Senin (10/6/2019) waktu setempat.

"Kesepakatan (dengan) China akan berhasil. Anda tahu mengapa? Karena tarif. Saat ini China semakin "dihancurkan" oleh perusahaan yang meninggalkan China, hijrah ke negara lain, termasuk ke negara kita (AS), karena mereka (perusahaan-perusahaan) tidak ingin membayar tarif," kata Trump.

Kendati demikian, belum jelas sampai sejauh mana China dirugikan oleh kebijakan tarif AS. Sebab, pada Senin (10/6/2019) pagi waktu setempat, data yang dirilis pemerintah Negeri Tirai Bambu malah menunjukkan surplus dagang China dengan AS pada Mei 2019 semakin melebar.

Dalam kesempatan itu, Trump juga merespons secara langsung Wakil Presiden sekaligus Kepala Hubungan Internasional Kamar Dagang AS Myron Brilliant. Dalam program yang sama, Brilliant menilai kebijakan tarif a la Trump malah membawa dampak negatif.

"Tarif telah meningkatkan ancaman terhadap perekonomian kita, petani kita, produsen kita, konsumen kita, akan merugikan negara kita. Ini juga menciptakan ketidakpastian dengan mitra dagang kami," ujar Brilliant.

Menurut Trump, "Dia (Brilliant) tidak melindungi negara kita. Dia melindungi perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang AS."

Sekadar gambaran, rezim pemerintahan Trump menggunakan tarif atas barang impor asal China demi mengatasi berbagai isu, termasuk defisit perdagangan. Trump juga menggunakan tarif sebagai cara untuk membawa China ke meja perundingan.

Sejauh ini, AS telah mengenakan tarif atas barang impor asal China senilai US$ 250 miliar. Sebagai balasan, China telah menerapkan tarif atas barang impor asal AS senilai US$ 100 miliar. Trump telah mengancam akan mengenakan tambahan tarif senilai lebih dari US$ 300 miliar.

Suami dari Melania Trump itu dijadwalkan akan berjumpa dengan Presiden China Xi Jinping di ajang KTT G-20, akhir bulan ini, demi membahas kesepakatan dagang kedua negara.(miq/miq)

Sumber : CNBC