Selasa, 18 Februari 2020

Resesi Ancam Raksasa Ekonomi, Pasar Keuangan RI Apa Kabar?

Foto: PBOC (REUTERS/Jason Lee)
PT RifanPasar finansial dalam negeri menguat pada perdagangan Senin (17/2/2020) kemarin, meski tipis. Nilai tukar rupiah menguat 0,15% di Rp 13.670/US$, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik tipis 0,01% ke 5.867,523.

Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 0,1 basis poin (bps) ke 6,574%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Pergerakan rupiah, IHSG, dan SUN juga seirama, menghabiskan mayoritas perdagangan di zona merah, sebelum berhasil menguat beberapa menit sebelum perdagangan berakhir.

IHSG sebenarnya sempat menguat sebelum perdagangan sesi I berakhir, tetapi begitu masuk ke sesi II langsung kembali ke zona merah.

Tekanan bagi IHSG di sesi II terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Januari 2019 mencapai US$ 13,41 miliar. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai US$ 14,28 miliar.

Ekspor terkoreksi 3,71% sedangkan impor turun 4,78%. Sehingga berdasarkan hitungan, maka neraca dagang pada Januari 2020 mengalami defisit sebesar US$ 870 juta.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.

Membengkaknya defisit perdagangan tersebut memberikan gambaran tantangan berat yang dihadapi perekonomian tahun ini, apalagi dengan adanya wabah virus corona di China.

Wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis dari John Hopkins CSSE, korban meninggal akibat virus corona atau yang disebut Covid-19 kini mencapai 1,775 orang dan telah menjangkiti lebih dari 71.000 orang di berbagai negara.

Masih belum diketahui seberapa besar dampak virus corona ke pertumbuhan ekonomi China dan global umumnya, yang pasti akan melambat.

Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.

Sementara itu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan virus corona mungkin akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini.

"Mungkin ada pemotongan yang kami masih harapkan akan berada dalam persentase 0,1-0,2," kata direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dikutip dari AFP akhir pekan kemarin.

Pelambatan ekonomi global menjadi kabar buruk bagi rupiah. Di awal tahun ini, rupiah menunjukkan keperkasaan, bahkan sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Salah satu sebabnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi bangkit di tahun ini, sehingga aliran modal deras masuk ke Indonesia, di mana aset-aset memberikan imbal hasil tinggi.

Dengan perekonomian global yang diprediksi melambat, tentunya sentimen pelaku pasar memburuk dan lebih berhati-hati. Apalagi Indonesia tidak lepas dari pelambatan ekonomi juga.

Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020, dampaknya pasar finansial dalam negeri mendapat tekanan.

Tetapi dibalik semua sentimen negatif tersebut, terselip satu hal positif. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) sekali lagi bertindak guna meredam dampak wabah Covid-19 ke perekonomian.

PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.

Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan Kamis pekan ini.

Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.

Berkat kebijakan tersebut, sentimen pelaku pasar sedikit terangkat, meski belum benar-benar bagus. Terbukti bursa utama Asia belum kompak Senin kemarin, indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 2% sementara Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan masih melemah. Hal tersebut mengindikasikan pelaku pasar masih berhati-hati, dan belum agresif masuk ke aset berisiko, dan IHSG hanya mampu menguat tipis. (pap)

Senin, 17 Februari 2020

IMF: Corona Merusak Pertumbuhan Global 2020

IMF: Corona Merusak Pertumbuhan Global 2020
Foto: CNBC
PT Rifan Financindo Berjangka - Epidemi penyakit COVID-19 atau virus corona dikabarkan dapat merusak pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Namun dalam Global Women's Forum di Dubai, kepala International Monetary Fund (IMF) mengatakan rebound ekonomi yang tajam dan cepat dapat terjadi.

"Mungkin ada pemotongan yang kami masih harapkan akan berada dalam persentase 0,1-0,2," kata direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dikutip dari AFP akhir pekan kemarin.

"Saya menyarankan semua orang untuk tidak langsung mengambil kesimpulan prematur. Masih ada banyak ketidakpastian. Kami beroperasi dengan skenario, belum dengan proyeksi, tanya saya dalam 10 hari."

Dalam pembaruan Januari untuk World Economic Outlook, IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020 dengan 0,1 poin persentase menjadi 3,3 persen, mengikuti pertumbuhan 2,9 persen tahun sebelumnya. Angka ini menjadi terendah dalam satu dekade.

Georgieva mengatakan terlalu dini untuk menilai dampak penuh dari epidemi. Namun di sisi lain, ia mengakui bahwa epidemi ini sudah mempengaruhi sektor-sektor seperti pariwisata dan transportasi.

"Masih terlalu dini untuk mengatakan karena kami belum cukup tahu apa sifat virus ini. Kami tidak tahu seberapa cepat China akan dapat menahannya. Kami tidak tahu apakah virus akan menyebar ke seluruh dunia," ungkapnya.

Dibandingkan dengan dampak Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) pada 2002, Georgieva mengatakan ekonomi China kemudian hanya membuat 8,0 persen dari ekonomi global. Sekarang, angka itu mencapai 19 persen.

"(Pada virus corona) mereka bekerja sangat keras untuk menahan epidemi, mereka telah membawa likuiditas setara 115 miliar dolar sehingga mereka dapat meningkatkan perekonomian," ujarnya, menambahkan jika dunia khawatir mengenai pertumbuhan lamban yang dipengaruhi oleh ketidakpastian.

Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa para ahli internasional mulai bertemu dengan rekan-rekan mereka di China untuk membahas epidemi virus corona baru, yang dikatakan agak sulit untuk diprediksi.

"Para pakar internasional yang berpartisipasi dalam misi bersama yang dipimpin oleh WHO (China) telah tiba di Beijing & telah mengadakan pertemuan pertama mereka dengan rekan-rekan China hari ini," cuit ketua WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus di Twitter.

"Kami menantikan kolaborasi yang sangat penting ini berkontribusi pada pengetahuan global tentang wabah # COVID19." lanjut cuit tersebut.

Menurut data, jumlah kasus baru dari epidemi virus korona China turun selama hari ketiga berturut-turut. Namun soal penyebarannya, kekhawatiran global tetap tinggi. Apalagi ketika AS mengatakan lebih dari tiga lusin orang Amerika terinfeksi dari kapal pesiar yang dikarantina di Jepang.

Corona kini telah menewaskan 1.700 lebih orang. Berdasarkan data pemerintah Provinsi Hubei yang dipublikasi Senin (17/2/2020) pagi, ada tambahan 100 kematian baru di provinsi episentrum corona itu.

Bukan hanya itu, pemerintah China juga melaporkan ada 1.933 kasus baru. Ini menjadikan total pasien terinfeksi corona di seluruh dunia menjadi 70.400 orang. (sef/sef)

Jumat, 14 Februari 2020

Walau Wall Street Terpeleset, Bursa Saham Asia Tetap Hijau

Walau Wall Street Terpeleset, Bursa Saham Asia Tetap Hijau
Foto : CNBC Indonesia
PT Rifan Financindo - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona hijau pada perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (14/2/2020).

Hingga berita ini diturunkan, indeks Shanghai naik 0,16%, indeks Hang Seng menguat 0,41%, indeks Straits Times terapresiasi 0,05%, dan indeks Kospi terangkat 0,37%.

Bursa saham Benua Kuning berhasil menguat walaupun Wall Street terpeleset pada perdagagan kemarin, Kamis (13/2/2020). Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones turun 0,43%, indeks S&P melemah 0,16%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 0,14%.

Bursa saham AS terpeleset pasca sudah ditutup di level tertinggi sepanjang sejarah pada penutupan perdagangan hari Rabu (12/2/2020).

Kinerja Wall Street dalam beberapa waktu terakhir memang bisa dibilang menggembirakan, sebelum akhirnya terpeleset pada perdagangan kemarin. Indeks S&P 500 misalnya, tercatat menguat selama tiga hari beruntun yakni pada periode 10-12 Februari.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS di sepanjang pekan ini. Menjelang akhir pekan kemarin, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi resmi pemerintah AS diumumkan sebanyak 225.000, jauh di atas ekspektasi yang sebanyak 163.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan tersebut memberikan harapan bahwa laju perekonomian AS akan membaik di tahun 2020.

Belum lama ini, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Bursa saham Benua Kuning juga berhasil menguat di tengah-tengah terus meluasnya infeksi virus Corona.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir Bloomberg, hingga kemarin sebanyak 1.483 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona.

Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.

Seiring dengan perkembangan dari kinerja bursa saham AS dan infeksi virus Corona yang bisa dibilang tak menggembirakan, ada kemungkinan bursa saham utama kawasan Asia justru akan ditutup di zona merah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)

Kamis, 13 Februari 2020

Korban Corona Tembus 1.300 Jiwa, Indeks Shanghai Naik Tipis

Korban Corona Tembus 1.300 Jiwa, Indeks Shanghai Naik Tipis
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
Rifan Financindo - Bursa saham China dan Hong Kong kompak mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (13/2/2020), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, indeks Shanghai naik 0,01% ke level 2.927,14, sementara indeks Hang Seng menguat 0,47% ke level 27.953,65.

Bursa saham China dan Hong Kong sukses mengekor jejak Wall Street yang ditutup menguat pada perdagangan kemarin, Rabu (12/2/2020). Pada perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 0,94%, indeks S&P 500 menguat 0,65%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,9%.

Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.

Di sisi lain, terus meluasnya infeksi virus Corona menjadi sentimen negatif yang membayangi perdagangan di bursa saham China dan Hong Kong.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir CNBC International, hingga kemarin sebanyak 1.310 orang di provinsi Hubei telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 48.000.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ank/ank)

Rabu, 12 Februari 2020

Corona Memang dari China, Tapi Bisa Hantam Ekonomi Dunia!

Foto: Hong Kong Terkena Corona. (AP Photo/Kin Cheung)
PT Rifan - Virus Corona semakin mengkhawatirkan. Jika penyebaran berlangsung semakin lama, maka perekonomian China dan dunia bakal merasakan dampaknya.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (12/2/2020) pukul 08:53 WIB, jumlah kasus virus Corona di seluruh dunia mencapai 45.119 di mana 44.643 melanda Negeri Tirai Bambu. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 1.115 orang, dua di antaranya berada di luar China.

Virus Corona bermula dari Kota Wuhan di Provinisi Hubei (China). Penyebarannya menjadi meluas karena bertepatan dengan momen perayaan Tahun Baru Imlek yang menjadi puncak mobilitas masyarakat China. Virus menyebar ke penjuru China dan berbagai negara di Asia, Eropa, hingga Amerika.

Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menegaskan bahwa virus Corona adalah ancaman yang bisa jadi melebih terorisme. "Dunia harus sadar dan melihat (Corona) sebagai musuh publik nomor satu," katanya, seperti diberitakan Reuters.

Gara-gara Corona, aktivitas ekonomi di China belum pulih betul meski masa libur Imlek sudah berakhir. Masih ada perusahaan yang meliburkan karyawannya atau memperbolehkan bekerja dari rumah.

Serba salah juga, karena kalau semakin banyak orang yang beraktivitas di luar rumah maka penyebaran virus bakal kian meluas. "Banyaknya orang yang kembali bekerja menambah kesulitan untuk meredam penyebaran virus," ujar Zhang Gewho, seorang pejabat pemerintah pusat China, seperti diberitakan Reuters. 

Tak Cuma China, Seluruh Dunia Bakal Kena Getahnya
Oleh karena itu, virus Corona hampir pasti membuat ekonomi China melambat. Sebab aktivitas ekonomi, baik oleh rumah tangga maupun dunia usaha, menjadi terbatas.

Sejumlah institusi pun merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020. Citi menurunkan dari 5,8% menjadi 5,5%, Economist Intelligence Unit memangkas dari 5,9% menjadi 4,9-5,4%, Macquarie memotong dari 5,9% ke 5,6%, Mizuho menurunkan dari 5,9% menjadi 5,6%, Natixis memangkas dari 5,7% menjadi 5,5%, dan UBS merevisi dari 6% menjadi 5,5%.

"Kami meyakini bahwa upaya China untuk meredam penyebaran virus, termasuk dengan melakukan karantina, akan cukup efektif. Namun tetap saja akan ada tekanan di perekonomian dalam jangka pendek karena gangguan permintaan dan pasokan," kata Mark Haefele, Global Chief Investment Officer UBS, seperti dikutip dari CNBC International.
"Virus Corona jelas akan berdampak signifikan terhadap perekonomian China pada Januari dan Februari. Pasar terlalu meremehkan ini," sebut riset Nomura, seperti diberitakan Reuters. 

Peran China dalam percaturan ekonomi global semakin besar. Bahkan China diharapkan menjadi lokomotif perekonomian global karena kondisi di negara-negara maju yang belum bisa diharapkan.



Oleh karena itu, perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap dunia. Kala China melambat, kemungkinan besar negara-negara lain akan merasakan hal serupa.

Berdasarkan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat China menyumbang 19,24% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Hampir seperlima. Kala seperlima dari perekonomian dunia bermasalah, tentu dampaknya akan sangat terasa.

 
 
Jadi kalau outbreak virus corona semakin luas dan mengkhawatirkan, bukan cuma ekonomi China yang terpukul. Seluruh dunia akan merasakan akibatnya, cepat atau lambat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Sumber : CNBC
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan