Jumat, 28 Juni 2019

Rifanfinancindo - Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah

Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah
Foto: Bursa Jepang (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Rifanfinancindo Palembang - Bursa Jepang dibuka di zona merah, Jumat (28/6/2019), ketika pertemuan negara-negara Kelompok 20 atau G20 dimulai. Pembicaraan perdagangan yang dinanti-nantikan antara Amerika Serikat (AS) dan China juga akan berlangsung di sela-sela pertemuan ini.

Indeks acuan Nikkei 225 melemah 0,2% sementara indeks Topix terkoreksi 0,12% di awal perdagangan.

Isu perdagangan akan menjadi salah satu topik panas yang akan dibahas dalam pertemuan G20 di Osaka, Jumat dan Sabtu ini. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping juga akan bertemu Sabtu siang waktu setempat untuk membicarakan perang dagang kedua negara.

Meski sebagian besar para pelaku pasar global telah memperkirakan tidak ada kesepakatan dagang yang akan dicapai esok, mereka masih berharap kedua negara akan mau melanjutkan perundingan dagang yang menemui jalan buntu Mei lalu.

Selain itu, rancangan komunike G20 disebut-sebut akan mencantumkan pernyataan mengenai praktik perdagangan proteksionis. Tekanan dari Trump membuat G20 harus menghapuskan satu frasa yang menyerukan perlunya melawan proteksionisme dari komunike pertemuan tahun lalu di Buenos Aires, Argentina.

Komunike yang diteken para menteri keuangan dan pemimpin bank sentral G20 awal bulan ini juga tidak menyebutkan perlawanan terhadap proteksionisme. Namun, beberapa negara Eropa meminta komunike pekan ini memasukkan kalimat yang menentang menyebarnya kebijakan perdagangan protektif, tulis surat kabar Jepang Asahi.

Jepang, yang memimpin pertemuan G20 tahun ini, mencoba mencari jalan tengah dan rancangan komunike saat ini berisi frasa yang mendukung perdagangan bebas, menurut surat kabar tersebut. (prm)


Kamis, 27 Juni 2019

Rifan Financindo - Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal

Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal
Rifan Financindo Palembang - Perjanjian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China punya harapan untuk menjadi kenyataan. Keyakinan itu muncul setelah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kedua negara masih memiliki harapan untuk merampungkan seluruh kesepakatan penting itu.

Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea impor sejak setahun lalu terhadap berbagai produk senilai ratusan miliar dolar. Kebijakan itu telah mengguncang perekonomian dan pasar keuangan dunia serta mengganggu rantai pasokan global.

Bicara soal optimisme, ekonomi pun akan semakin membaik. Lalu bagaimana jika AS dan China batal bersepakat?

"Bila negosiasi dagang tersebut semakin sulit mencapai titik temu maka dampaknya kepada ekonomi global semakin nyata dan berkepanjangan (prolong)," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (27/6/2019).

Risiko yang Timbul untuk RI Jika Trump dan Jinping Batal Deal
Foto: Nanang Hendarsah (dok. Bank Indonesia)
Bila hal ini terjadi, sambung Nanang, maka bank sentral AS Federal Reserve pun akan semakin agresif menurunkan suku bunga karena ekonomi AS pun akan semakin terpukul. Pasar OIS (overnight index swap) dan futures bahkan memprediksi akhir tahun ini Fed Funds Rate akan ke 1,6%, terpaut jauh dari dot plot FOMC terakhir di 2,375%.

"Dengan menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga global dan domestik ke depan, wajar bila investor sigap masuk ke SBN [Surat Berharga Negara] saat ini untuk mengunci (lock up) yield SBN yang tinggi saat ini karena mereka tahu yield akan berlanjut turun. Secara year-to-date (per 25 Juni 2019), arus modal ke pasar SBN saja mencapai Rp 90,9 triliun," papar Nanang.

Ia menjelaskan lebih jauh, bila yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1.9% berlanjut turun ke 1,6% di akhir 2019 akan membuat spread dengan yield SBN yang saat ini di 7.4% maka spreadnya akan melebar di atas 550 bps. 

"Bila dikurangi dengan instrumen lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang saat ini 100 bps, maka Covered Yield Parity nya 450 bps. Seharusnya CDS Indonesia lebih rendah dari 100 bps karena pasar belum memperhitungkan secara penuh (fully priced in) upgrade credit rating oleh S&P pada akhir Mei lalu," tutur Nanang.

Kondisi ini berbeda dengan tahun 2018 lalu di mana the Fed justru sedang menaikkan suku bunga sehingga mendorong yield obligasi AS naik di atas 3.0%. Sehingga di tahun 2018 lalu, sambung Nanang, RI menghadapi dua tantangan pada neraca pembayaran yaitu tekanan di current account dan financial account. 

"Di tahun ini tekanan di financial account-nya seharusnya mereda, bahkan bisa surplus besar untuk menutup defisit di current account. Hanya saja kita masih mewaspadai berlangsungnya eskalasi sengketa dagang AS China yang masih bisa memengaruhi pergerakan lalu lintas modal asing," tutup Nanang.(prm)

Sumber : CNBC
 
 

Rabu, 26 Juni 2019

PT Rifan Financindo - The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran

The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
PT Rifan Financindo Palembang - Para pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memupuskan harapan para pelaku pasar dan menepis tekanan presiden agar memangkas suku bunga acuan hingga 50 basis poin di pertemuannya bulan depan.

Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan independensi bank sentral dari pengaruh Presiden Donald Trump dan pasar keuangan yang saat ini tengah mendesak adanya pemangkasan suku bunga yang agresif. Ia menyampaikan hal itu dalam pidatonya di Dewan Hubungan Internasional di New York, Selasa (25/6/2019).

"The Fed bebas dari tekanan-tekanan politik jangka pendek," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami tidak ada urusan mencoba bekerja berdasarkan pergerakan sesaat di sektor finansial. Kami harus melihat lebih jauh dari itu," ujarnya ketika ditanya mengenai kemungkinan The Fed mengecewakan pasar karena tidak mewujudkan harapan penurunan bunga acuan secara agresif itu.

Namun, ia mengatakan dirinya dan koleganya tengah mencari tahu apakah ketidakpastian terkait bea impor AS, konflik Washington dengan para rekan dagangnya, dan lesunya inflasi memerlukan penurunan suku bunga.


The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (REUTERS/Leah Millis)

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard memupuskan harapan penurunan suku bunga hingga 50 basis poin.

"Duduk di sini hari ini, saya rasa 50 basis poin akan berlebihan," ujarnya kepada Bloomberg TV dan dikutip Reuters

"Saya tidak merasa situasi saat ini benar-benar meminta hal tersebut namun saya bersedia menurunkan 25 basis poin... Saya tidak suka mendahului pertemuan (The Fed) karena banyak hal bisa berubah hingga saat itu tiba. Namun, jika saya harus memutuskan hari ini, itulah yang akan saya lakukan," lanjutnya.

The Fed pada pertemuan penentuan kebijakanya pekan lalu memutuskan menahan bunga acuan namun memberi sinyal akan melonggarkan kebijakan di Juli.

Bullard ketika itu memberikan suara agar The Fed menurunkan suku bunganya karena lemahnya inflasi dan ketidakpastian proyeksi pertumbuhan ekonomi memerlukan langkah tersebut.

Mengutip CME Fedwatch, pada Senin (24/6/2019), probabilitas FFR diturunkan 50 basis poin pada bulan Juli mencapai 42,6%. Sedangkan saat ini, setelah Powell dan Bullard berbicara, probabilitas itu turun menjadi tinggal 29,2%, dikutip dari Newsletter CNBC Indonesia.

Meski demikian, pelaku pasar masih yakin 100% bahwa suku bunga akan turun bulan Juli, setidaknya 25 basis poin. (prm)


Selasa, 25 Juni 2019

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah - Rifanfinancindo

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah
Rifanfinancindo Palembang - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah pada perdagangan Senin (24/6/19), setelah mengalami penurunan tajam dalam tiga hari berturut-turut pada pekan lalu.

Sikap dovish Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih menjadi penekan utama Mata Uang Paman Sam.

Pada pukul 20:50 WIB, indeks dolar berada di level 96,13 atau melemah sekitar 0,9%, mengutip data dari Refinitiv. Sementara dalam tiga hari terakhir indeks yang digunakan untuk mengukur kekuatan dolar ini anjlok 1,47%.

Saat mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (20/6/19) lalu, The Fed membuka peluang pemangkasan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Pasca-pengumuman kebijakan tersebut, pelaku pasar semakin yakin Jerome Powell, sang pimpinan, akan memangkas suku bunga di tahun ini. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group yang menunjukkan hingga akhir tahun probabilitas suku bunga 2,25% - 2,50% ditahan sebesar 0% alias tidak ada.

The Fed diprediksi akan memangkas FFR sebanyak 25 basis poin menjadi 2,00% - 2,25% pada bulan Juli. Probabilitas terjadinya pemangkasan suku bunga tersebut sebesar 63,6%, berdasarkan perangkat FedWatch.

Di sisa tahun 2019, The Fed diramal akan memangkas FFR lagi di bulan September dan Desember.

Meski mayoritas bank sentral utama dunia juga akan melonggarkan kebijakan moneter, namun The Fed diprediksi menjadi yang paling agresif. Hal ini tentunya berkebalikan dengan tahun 2018 lalu, saat bank sentral paling powerful di dunia ini menaikkan suku bunga sebanyak empat kali.

Kebijakan The Fed mengalami u-turn jika pada akhirnya benar-benar memangkas suku bunga.

Bank sentral lainnya yang juga berancang-ancang akan melonggarkan moneter adalah European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ). Namun, kedua bank sentral itu sepertinya akan menggunakan instrumen selain suku bunga untuk pelonggaran moneter, misalnya dengan program pembelian aset seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

Hanya Bank of England (BOE) yang belum bersikap dovish, malah bank sentral Inggris ini membuka peluang kenaikan suku bunga jika Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan atau soft Brexit. (pap/pap)

Senin, 24 Juni 2019

Rifan Financindo - Peringatan PM Malaysia: Cekcok AS-Iran Bisa Jadi Perang Dunia

Peringatan PM Malaysia: Cekcok AS-Iran Bisa Jadi Perang Dunia
Foto: (CNBC Indonesia TV)
Rifan Financindo Palembang - Tindakan Amerika Serikat (AS) yang memprovokasi Iran dan tumbuhnya risiko salah perhitungan dalam konflik tersebut dapat menyebabkan terjadinya "perang dunia", menurut Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

"Saya rasa sepanjang yang saya lihat, Amerika-lah yang membuat memprovokasi semua ini," kata Mahathir kepada CNBC, Sabtu (22/6/2019), ketika ditanya pihak mana yang bertanggung jawab atas kesalahan perhitungan strategi ini.

"Pertama, mereka menarik diri dari kesepakatan (nuklir), dan sekarang mereka mengirim kapal perang ke Teluk, dan melakukan hal-hal yang akan memprovokasi Iran," ujarnya di Bangkok, Thailand, di sela-sela pertemuan tingkat tinggi ASEAN, dilansir dari CNBC International.

Ketegangan antara AS dan Iran meninggi Kamis pekan lalu ketika Teheran menembak jatuh pesawat tak berawak atau drone pengintai militer milik Washington.

Insiden itu membuat Presiden AS Donald Trump menyetujui serangan militer terhadap beberapa target Iran meski kemudian tiba-tiba membatalkannya di 10 menit terakhir, Kamis malam. Sang presiden mengatakan ia membatalkan serangan itu karena akan ada sekitar 150 orang yang tewas dan hal itu tidak sepadan dengan serangan Iran.

"Saya tidak terburu-buru," tulis Trump di akun Twitter resminya. "Militer kami telah dibangun kembali, baru, dan siap."

Mahathir pada Minggu memperingatkan bahwa bila kedua negara berperang, perang itu bukanlah antara Iran melawan AS.

"Itu akan menjadi perang dunia," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa negara-negara lain yang tidak ingin senjata nuklir digunakan akan ikut campur dan berupaya menghentikannya.

AS di bawah pemerintahan Trump telah menarik diri dari kesepakatan nuklir internasional dengan Iran pada Mei tahun lalu. Awalnya, perjanjian yang dibuat di masa kepemimpinan Barack Obama itu menarik sanksi ekonomi dari Iran dengan imbalan penghentian program pengayaan uranium oleh Teheran.

Dengan penarikan diri itu, AS menerapkan lagi sanksi ekonominya terhadap Iran yang membuat Teheran mengaktifkan lagi program pengayaan uraniumnya.

Mahathir memperingatkan bahwa harga energi akan naik karena Iran adalah salah satu pemasok besar energi.

"Sebenarnya sanksi itu dikenakan kepada Malaysia juga karena kami tidak dapat berdagang dengan Iran yang merupakan rekan dagang yang baik," jelasnya.

Ia tidak setuju dengan penerapan sanksi AS terhadap Iran.

"Permainan pengenaan sanksi ini dan memaksa negara-negara untuk patuh terhadap keputusan sebuah kekuatan besar adalah sesuatu yang benar-benar tidak demokratis.. Ini adalah tindakan bully," tegasnya.

Pemimpin berusia 93 tahun itu menyebut Trump betul-betul tidak dapat diprediksi.

"Pria ini, dengan satu masa jabatan lagi, dapat membuat banyak kerusakan di seluruh dunia," ujarnya. (prm/prm)

Sumber : CNBC

Jumat, 21 Juni 2019

Yen Menguat, Bursa Jepang Dibuka Lesu di Akhir Pekan - PT Rifan Financindo

Yen Menguat, Bursa Jepang Dibuka Lesu di Akhir Pekan
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
PT Rifan Financindo Palembang - Bursa saham Jepang dibuka terkoreksi, Jumat (21/6/2019), setelah yen menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, Wall Street reli kencang dini hari tadi.

Indeks acuan Nikkei 225 melemah 0,18% sementara indeks Topix turun 0,39 di awal perdagangan.

Indeks-indeks acuan Wall Street ditutup menguat dini hari tadi. Dow Jones Industrial Average melesat naik 0,94%, S&P 500 melompat 0,95%, dan Nasdaq Composite melejit 0,8% di akhir perdagangan.

The Fed mengumumkan kebijakan moneternya Rabu waktu setempat dan mengatakan bank sentral siap menghadapi risiko-risiko ekonomi global dan dalam negeri. Sebagian besar pejabat The Fed menurunkan proyeksi tingkat suku bunga acuannya tahun ini hingga sekitar 0,5 poin persentase.

Para pelaku pasar melihat secara umum bank sentral AS telah bersikap lebih dovish dari yang diharapkan.

Penguatan bursa AS juga dipengaruhi melejitnya harga minyak. West Texas Intermediate (WTI), ditutup melejit 5,4% menjadi US$56,65 per barel sementara harga minyak acuan global, Brent, melompat 4,5% ke posisi US$64,61 per barel. (prm)
 

Kamis, 20 Juni 2019

Banjir Sentimen Positif, Harga Minyak Melesat 1% Lebih - Rifanfinancindo

Banjir Sentimen Positif, Harga Minyak Melesat 1% Lebih
Foto: REUTERS / Isaac Urrutia
Rifanfinancindo Palembang - Harga minyak melesat lebih dari 1% seiring dengan penurunan inventori minyak di Amerika Serikat (AS). Selain itu Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akhirnya telah menyepakati tanggal pertemuan untuk mendiskusikan kelanjutan pengurangan produksi.

Pada perdagangan Kamis (20/6/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak brent kontrak pengiriman Agustus naik hingga 1,59% ke US$ 62,8/barel. Adapun harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli melesat hingga 1,69% menjadi US$ 54,67/barel.

US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan inventori minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 14 Juni 2019 berkurang hingga 3,1 juta barel dibanding pekan sebelumnya. Hal itu membuat pelaku pasar sumringah karena sebelumnya konsensus analis memperkirakan penurunan inventori hanya sebesar 1,1 juta barel.

Penurunan inventori di AS akan membuat permintaan minyak mentah akan meningkat, setidaknya dlaam jangka pendek. Namun itu juga memberi harapan bahwa permintaan minyak masih bisa terjaga di tengah perlambatan ekonomi global seperti sekarang ini.

Isu pelemahan permintaan memang menjadi salah satu yang paling diperhatikan pelaku akhir-akhir ini. Pasalnya tiga lembaga yang memantau perkembangan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pasar minyak, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan untuk 2019. Tiga lembaga tersebut adalah EIA, OPEC, dan International Energy Agency (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.

Sentimen permintaan yang positif juga datang dari perkembangan hubungan dagang AS-China yang kian mesra.

"Saya rasa pertemuan nanti (dengan Presiden Xi) akan berjalan dengan sangat baik. Tim kami akan memulai pembicaraan. China ingin sebuah kesepakatan, demikian pula AS. Namun kesepakatan itu harus menguntungkan bagi semuanya," tutur Trump, mengutip Reuters.

Kala dua raksasa ekonomi dunia tidak lagi saling hambat perdagangan, maka rantai pasokan global akan kembali lancar. Permintaan energi, yang salah satunya berasal dari minyak juga berpotensi meningkat.

Sementara itu, OPEC akhirnya sepakat untuk bertemu pada tanggal 2 Juli 2019 di Wina, Austria demi menentukan kelanjutan kebijakan pengurangan produksi yang telah dilakukan sejak Januari 2019 silam.

Jauh hari sebelumnya, pertemuan dijadwalkan pada tanggal 25-26 Juni, tetapi Rusia meminta diundur hingga 3-4 Juli. Iran bahkan menyarankan pertemuan ditunda hingga 10-12 Juli.

Sejauh ini OPEC telah memberi sinyal akan terus menahan produksi di level yang rendah. Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih juga pernah mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengurangi produksi secara bertahap dan menjaga pasokan di level normal.

Jika benar pada pertemuan nanti OPEC dan sekutunya lanjut mengurangi pasokan hingga akhir tahun, harga minyak berpeluang untuk menguat lagi.

Dari Timur Tengah, serangan roket telah menghantam kawasan pemukiman dan kantor beberapa perusahaan minyak, termasuk ExxonMobil, di daerah dekat Basra, Irak pada hari Rabu (19/6/2019). Serangan tersebut turut membuat ketegangan yang telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir semakin parah.

"Kelompok (yang meluncurkan roket) terdiri dari lebih dari satu grup dan terlatih dalam hal peluncuran misil," ujar pihak keamanan Irak, mengutip Reuters.

Pekan lalu juga telah terjadi penyerangan pada dua kapal tanker di perairan dekat Selat Hormuz, yang mana beberapa negara menuding Iran sebagai pihak yang bertanggungjawab. Namun Iran dengan segera menampik tuduhan tersebut.

Entah siapa yang salah, tetapi konflik di Timur Tengah dapat mengancam pasokan minyak global. Sebab, wilayah tersebut merupakan ladang minyak terbesar di dunia. Pasokan yang semakin seret sudah tentu akan memberi dorongan ke atas pada harga minyak.(taa/taa)

 

Rabu, 19 Juni 2019

Trump & Xi Jinping Akan Bertemu, Bursa Jepang Meroket - Rifan Financindo

Trump & Xi Jinping Akan Bertemu, Bursa Jepang Meroket
Rifan Financindo Palembang - Bursa Jepang dibuka naik tajam, Rabu (19/6/2019), mengikuti reli yang dicatatkan Wall Street dini hari tadi.

Bursa Amerika Serikat (AS) melesat kencang setelah Presiden Donald Trump mengatakan dirinya akan bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan G20 akhir bulan nanti.

Kabar ini membuat harapan bahwa kedua negara akan mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang dagang AS-China hidup kembali.

Indeks acuan Nikkei 225 di Jepang melonjak 1,19% sementara indeks Topix melompat 1,07% di awal perdagangan.

Indeks-indeks Wall Street sendiri mencatatkan penguatan tajam dini hari tadi. Dow Jones Industrial Average melonjak 1,35%, S&P 500 menguat 0,97%, sementara Nasdaq Composite melesat naik 1,39% di akhir perdagangan.

Trump menulis di akun Twitter resminya bahwa ia telah berbicara lewat telepon dengan Xi dan hasilnya sangat baik.

"Kami akan bertemu pekan depan di G20 di Jepang. Tim kami akan memulai pembicaraan jelang pertemuan kami," tulisnya.

Pertemuan tingkat tinggi negara-negara kelompok 20 itu akan dimulai pada 28 Juni mendatang. (prm)

Sumber : CNBC
 
 

Selasa, 18 Juni 2019

Poundsterling Jeblok ke Level Terendah 6 Bulan - PT Rifan Financindo

Selasa Pagi, Poundsterling Jeblok ke Level Terendah 6 Bulan
Foto: Ilustrasi mata uang poundsterling (REUTERS/Benoit Tessier)
PT Rifan Financindo Palembang - Jelang voting kedua lingkup Partai Konservatif hari ini, Selasa (18/6/19), mata uang poundsterling kembali jeblok hingga mendekati level terendah enam bulan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Terus menurunnya nilai tukar pound terjadi setelah nama Boris Johnson semakin kuat menjadi Perdana Menteri Inggris menggantikan Theresa May.

Hingga Senin (17/6/19) kemarin, poundsterling telah anjlok dalam empat hari perdagangan berturut-turut, dengan total pelemahan sebesar 1,5% dan mencapai level terendah sejak 3 Januari. Sementara pagi ini, pound diperdagangkan di kisaran US$ 1,2534 pada pukul 8:10 WIB, tidak jauh dari penutupan perdagangan Senin.

Dalam voting tahap pertama di lingkup Partai Konservatif pada pekan lalu, Boris Johnson menjadi pengumpul suara terbanyak. Johnson memperoleh 114 suara, unggul jauh dari pesaing terdekatnya Jeremy Hunt (43 suara). Posisi ketiga ditempat Michael Gove (37 suara).

Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock, yang tereleminasi pada voting tahap pertama (hanya memperoleh 20 suara), kini memberikan dukungannya kepada Johnson. Hancock mengatakan Johnson merupakan kandidat terbaik yang bisa memimpin Partai Konservatif, mengutip Reuters

"Sepertinya Boris Johnson akan menjadi perdana menteri berikutnya, kecuali ada kejutan besar dan itu menunjukkan peningkatan konfrontasi yang dengan Uni Eropa," kata Lee Hardman, ahli strategi mata uang MUFG di London, melansir Reuters.

Total ada tujuh kandidat yang bakal ikut serta dalam voting tahap kedua, dan berlanjut pada 19 dan 20 Juni hingga menyisakan 2 kandidat. Pada 22 Juni akan dilakukan pemungutan suara antara dua kandidat terakhir, pemenangnya akan menduduki kursi tertinggi Partai Konservatif yang otomatis menjadi Perdana Menteri Inggris.

Johnson adalah figur kontroversial dan seorang euroskeptik. Oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa Johnson akan membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dengan cara apa pun, termasuk No Deal atau Hard Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi) pada 31 Oktober nanti.

Hasil survei Reuters pada periode 11 - 15 Juni menunjukkan peluang terjadinya Hard Brexit pada 31 Oktober nanti sebesar 25%, naik dibandingkan survei sebelumnya yang dilakukan di bulan Mei sebesar 15%.(prm)

Senin, 17 Juni 2019

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar - Rifanfinancindo

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar
Foto: REUTERS/Thomas White
Rifanfinancindo Palembang - India mengenakan bea impor yang lebih tinggi terhadap 28 produk asal Amerika Serikat (AS) sebagai balasan setelah Negeri Paman Sam mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) untuk Negeri Bollywood itu.

Aksi balasan dari India itu menargetkan produk-produk AS, seperti kacang almond, apel, dan kacang walnut.

Penerapan GSP sebelumnya membuat berbagai produk dari India senilai US$5,6 miliar dapat masuk ke AS tanpa dikenai bea impor.

Bea impor baru itu berlaku mulai Minggu, menurut pemberitahuan resmi pemerintah, dilansir dari Reuters. Langkah ini membuat perseteruan dagang baru terjadi setelah Presiden AS Donald Trump berkuasa pada 2017 dan berjanji akan menindak negara-negara yang mencetak defisit perdagangan besar.

Trump telah mencabut GSP bagi India sejak 5 Juni lalu. India menyebut kebijakan itu sangat disayangkan dan berjanji akan membela kepentingan nasionalnya.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa India bersiap untuk menjatuhkan bea masuk yang lebih tinggi jelang pertemuan Perdana Menteri Narendra Modi dan Trump di sela-sela konferensi G20 di Jepang pada 28 dan 29 Juni mendatang.

India awalnya mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan bea impor hingga 120% terhadap beberapa produk AS pada Juni tahun lalu menyusul keputusan Washington yang menolak mengecualikan New Delhi dari bea masuk baja dan aluminium yang lebih tinggi.

Namun, India terus-menerus menunda penerapan kebijakan itu sembari menunggu hasil pembicaraan dagang kedua negara. Nilai perdagangan AS-India mencapai sekitar US$142,1 miliar di 2018.

Bea masuk India yang lebih tinggi terhadap barang-barang AS dapat berdampak pada hubungan politik dan keamanan kedua negara.

GSP Dicabut, Perang Dagang AS-India Berkobar
Ilustrasi pabrik di India (Foto: REUTERS/Amit Dave)
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo akan berkunjung ke India bulan ini. Pada pekan lalu, ia sempat mengatakan negaranya terbuka untuk berdialog untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dengan India melalui pemberian akses pasar yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan Amerika di Negeri Bollywood itu.

Aturan baru India di beberapa bidang, seperti e-commerce dan lokalisasi data, telah membuat AS marah dan menghantam berbagai perusahaan seperti Amazon.com, Walmart, Mastercard, dan Visa. (prm)
 

Jumat, 14 Juni 2019

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar - Rifan Financindo

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar
Rifan Financindo Palembang - Tekanan pada harga komoditas batu bara global semakin berat seiring dikeluarkannya izin proyek tambang Charmicael, Australia. Kala sudah beroperasi secara penuh, proyek tersebut diperkirakan akan membuat ekspor batu bara thermal Australia meningkat hingga dua kali lipat.

Pada akhir perdagangan hari Kamis (13/6/2019), harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Juli di bursa Intercontinental Exchange (ICE) berada di level US$ 72,25/metrik ton, atau melemah 0,55% dibanding hari sebelumnya. Pada posisi tersebut, harga batu bara merupakan yang paling rendah sejak 15 Mei 2017.

Kemarin, pemerintah Australia telah mengeluarkan izin proyek pembangunan tambang batu bara raksasa Charmicael kepada Adani Australia, yang merupakan anak perusahaan batu bara raksasa asal India, Adani Group.

"Mulai hari ini hingga dua tahun ke depan, orang-orang akan berkekspektasi kami untuk melakukan ekspor pertama batu bara," ujar Lucas Dow, CEO Adani Mining, mengutip Reuters, Kamis (13/6/2019).

Berdasarkan pemberitaan dari Yahoo Finance, seperti yang dikutip dari Reuters, tambang baru tersebut berpotensi menghasilkan 60 juta ton batu bara thermal setiap tahun. Namun pada fase awal, perusahaan rencananya akan memproduksi 10 ton.

"Ekspor batu bara thermal Queensland bisa tumbuh lebih pesat dibanding yang telah diprediksi sebelumnya, seiring dengan izin pemerintah setempat yang memungkinkan untuk memulai pembangunan [proyek]," ujar Viktor Tanevski, analis konsultan Wood Mackenzie dalam sebuah catatan.

"Fase awal 10 juta ton dari proyek tersebut ditujukan untuk ekspor ke India, yang dapat memberikan tekanan ke bawah pada harga batu bar thermal, dan juga bersaing dengan batu bara abu tinggi lain dari Australia dan Afrika Selatan yang mengalir ke India."

India merupakan destinasi batu bara Impor terbesar kedua di dunia, dengan pangsa pasar mencapai 19%. Sementara China masih menjadi yang terbesar dengan porsi mencapai 22%.

Sementara di China, sentimen untuk batu bara impor juga masih tidak bagus.

Pemerintah China masih belum mencabut kebijakan pembatasan impor yang telah diberlakukan sejak tahun 2018. Kebijakan tersebut membatasi kuota impor batu bara pada level yang sama dengan tahun 2017.

Alhasil sepanjang 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton naik tipis dari 271,1 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding impor pada tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.

Apalagi kali ini produksi batu bara di China juga ada kemungkinan meningkat. Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) mengatakan ada kapasitas produksi batu bara tambahan sebesar 194 juta ton yang siap digarap pada tahun 2019. Asosiasi Perusahaan Tambang Batu Bara China juga telah memasang target peningkatan produksi sebesar 100 juta ton di tahun 2019.

Dikombinasikan dengan sentimen perlambatan ekonomi global yang tengah melanda, tentu saja peningkatan pasokan bukan kabar baik. Keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi sangat timpang dan menekan harga.

Sebagai catatan, harga batu bara Newcastle mengacu pada batu bara kalori 6.000 kcal. (taa/taa)

Sumber : CNBC
 

Kamis, 13 Juni 2019

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas - PT Rifan Financindo

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas
Foto: Dok Freepik
PT Rifan Financindo Palembang - Harga emas global masih melanjutkan penguatan yang dimulai sejak kemarin seiring dengan tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) yang rendah. Rendahnya inflasi membuat peluang bank sentral (The Federal Reserves/The Fed) untuk menurunkan suku bunga semakin besar.

Pada perdagangan Rabu (13/5/2019) pukul 10:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) naik 0,13% ke posisi US$ 1.338,5/troy ounce. Adapun harga emas di pasar spot naik 0,23% menjadi US$ 1.336,26/troy ounce pada waktu yang sama.

Kemarin harga emas COMEX dan spot juga menguat masing-masing sebesar 0,42% dan 0,49%.

Tingkat inflasi AS pada bulan Mei yang hanya sebesar 0,1% MoM atau 1,8% YoY membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed bisa saja menurunkan suku bunga acuan (Federal Fund Rate/FFR) dalam waktu dekat.

Pasalnya, inflasi Mei tercatat lebih lambat dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 0,3% Mom atau 1,9% YoY. Perlambatan inflasi dapat mencerminkan permintaan konsumen yang lesu, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk menaikkan harga.

Bila benar suku bunga acuan The Fed turun, bahkan dalam waktu dekat, maka kemungkinan besar nilai aset-aset yang berbasis dolar akan terkoreksi. Apalagi, enam hari lagi komite penentu kebijakan The Fed (FOMC) akan kembali menggelar rapat, yang bisa saja mengumumkan penurunan suku bunga saat itu.

Alhasil investor cenderung untuk mengalihkan asetnya ke bentuk safe haven selain dolar AS, yang mana emas merupakan salah satunya.

Selain itu pada hari ini, nilai Dollar Index (yang menyatakan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia masih tercatat melemah 0,09%. Harga emas pun jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Investor pun makin tergoda untuk banyak-banyak mengoleksi emas.


TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
 

Rabu, 12 Juni 2019

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai – Rifanfinancindo

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai
Foto: REUTERS/Jason Lee
Rifanfinancindo Palembang - Indeks Shanghai dibuka melemah 0,29% ke level 2.917,22, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,67% ke level 27.603,12.

Perang urat saraf AS-China di bidang perdagangan yang terus terjadi membuat aksi jual menerpa bursa saham China dan Hong Kong. Menjelang gelaran KTT G-20 pada akhir bulan ini di Jepang yang berpeluang mempertemukan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping, nada keras dilontarkan oleh kedua belah negara.

Trump menegaskan bahwa dirinya tidak ingin sebuah kesepakatan dagang yang merugikan Negeri Adidaya. 

"China adalah kompetitor utama dan mereka ingin sebuah kesepakatan yang merugikan (bagi AS). Memang saya yang menunda terjadinya kesepakatan, karena saya ingin ada kesepakatan yang luar biasa atau tidak sama sekali," papar Trump, dilansir dari Reuters.

"Sebenarnya kami sudah sepakat dengan China, tetapi mereka malah bergerak mundur. Mereka bilang tidak ingin ada empat hal, lima hal. Namun kami sudah sepakat dengan China, dan kecuali mereka mau kembali ke kesepakatan itu maka saya tidak tertarik," lanjutnya.

Dari pihak China, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.

"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.

Jika tak ada resolusi dalam waktu dekat, maka perang dagang antar kedua negara yang sudah berlangsung begitu lama bisa tereskalasi. Akibatnya, laju perekonomian AS dan China akan diterpa tekanan yang lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)


Selasa, 11 Juni 2019

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS - Rifan Financindo

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS
Rifan Financindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengklaim damai dagang antara AS dengan China bakal terwujud. Demikian disampaikan Trump dalam sebuah wawancara ekslusif via telepon dengan Joe Kernen pada program "Squawk Box", Senin (10/6/2019) waktu setempat.

"Kesepakatan (dengan) China akan berhasil. Anda tahu mengapa? Karena tarif. Saat ini China semakin "dihancurkan" oleh perusahaan yang meninggalkan China, hijrah ke negara lain, termasuk ke negara kita (AS), karena mereka (perusahaan-perusahaan) tidak ingin membayar tarif," kata Trump.

Kendati demikian, belum jelas sampai sejauh mana China dirugikan oleh kebijakan tarif AS. Sebab, pada Senin (10/6/2019) pagi waktu setempat, data yang dirilis pemerintah Negeri Tirai Bambu malah menunjukkan surplus dagang China dengan AS pada Mei 2019 semakin melebar.

Dalam kesempatan itu, Trump juga merespons secara langsung Wakil Presiden sekaligus Kepala Hubungan Internasional Kamar Dagang AS Myron Brilliant. Dalam program yang sama, Brilliant menilai kebijakan tarif a la Trump malah membawa dampak negatif.

"Tarif telah meningkatkan ancaman terhadap perekonomian kita, petani kita, produsen kita, konsumen kita, akan merugikan negara kita. Ini juga menciptakan ketidakpastian dengan mitra dagang kami," ujar Brilliant.

Menurut Trump, "Dia (Brilliant) tidak melindungi negara kita. Dia melindungi perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang AS."

Sekadar gambaran, rezim pemerintahan Trump menggunakan tarif atas barang impor asal China demi mengatasi berbagai isu, termasuk defisit perdagangan. Trump juga menggunakan tarif sebagai cara untuk membawa China ke meja perundingan.

Sejauh ini, AS telah mengenakan tarif atas barang impor asal China senilai US$ 250 miliar. Sebagai balasan, China telah menerapkan tarif atas barang impor asal AS senilai US$ 100 miliar. Trump telah mengancam akan mengenakan tambahan tarif senilai lebih dari US$ 300 miliar.

Suami dari Melania Trump itu dijadwalkan akan berjumpa dengan Presiden China Xi Jinping di ajang KTT G-20, akhir bulan ini, demi membahas kesepakatan dagang kedua negara.(miq/miq)

Sumber : CNBC
 
 

Senin, 10 Juni 2019

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya - PT Rifan Financindo

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya
Foto: Infografis/10 Kkks Utama Produksi Minyak/Edward Ricardo
PT Rifan Financindo Palembang - Harga minyak mentah dunia lanjut menguat untuk hari ke-3. Kekhawatiran akan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Meksiko yang telah surut membuat proyeksi permintaan minyak kembali meningkat.

Rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) melanjutkan pengurangan produksi hingga akhir tahun 2019 juga memberi sentimen pada pergerakan harga.

Pada perdagangan hari Senin (10/6/2019) pukul 08:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus menguat 0,58% ke level US$ 63,66/barel. Sementara jenis light sweet (WTI) naik 0,69% menjadi US$ 54,36/barel.


Dalam sepekan kemarin, harga Brent dan WTI mampu membukukan penguatan masing-masing sebesar 0,92% dan 2,1% secara point-to-point.



Pasar minyak kembali mendapat energi positif setelah AS dan Meksiko dikabarkan telah mencapai kesepakatan yang bisa meruntuhkan potensi perang dagang antara keduanya.
Mengutip Reuters, kedua negara dikabarkan telah mencapai kesepakatan pada hari Jumat (7/6/2019) setelah perundingan berjalan selama 3 hari di Washington.

Keputusan tersebut disampaikan bersama oleh delegasi kedua negara dan mengatakan Meksiko telah setuju untuk menerima lebih banyak migran yang mencari suaka ke AS ketika menunggu putusan atas kasus mereka.

Meksiko juga setuju untuk meningkatkan penegakan hukum untuk menahan arus imigrasi ilegal, termasuk menempatkan Garda Nasional di perbatasan bagian Selatannya.

Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump telah mengancam akan mengenakan bea impor sebesar 5% terhadap produk Meksiko mulai 10 Juni apabila tidak ada kesepakatan mengenai permasalahan imigran gelap. Tidak hanya itu, dirinya juga berencana menaikkan bea impor hingga sebesar 25% kecuali Meksiko mengambil langkah serius mengenai masalah tersebut.

Dengan begini, potensi perang dagang baru AS dengan Meksiko setidaknya dapat dihindari. Untuk sementara waktu. Pasokan minyak dari Meksiko dapat kembali mengalir ke kilang-kilang AS tanpa hambatan.

Selain itu, pada hari Jumat (7/6/2019), Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya harus memperpanjang kebijakan pengurangan pasokan hingga akhir tahun 2019, mengutip Reuters. Lebih lanjut, pihaknya tidak ingin bertarung mendapatkan pangsa pasar dengan Amerika Serikat dan membuat kejatuhan harga minyak terulang.

Presiden Rusia, Vladimir Putin juga menegaskan Negeri Beruang Merah akan secara bersama-sama mengambil kebijakan pengurangan pasokan dalam beberapa minggu ke depan, seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (6/6/2019).

Komentar tersebut sedikit menenangkan pelaku pasar karena sebelumnya Rusia terlihat sangat ingin untuk kembali menggenjot produksi minyak karena harga yang sudah normal.

Selama ini memang terjadi perbedaan persepsi atas harga minyak yang 'normal' menurut Rusia dan Arab Saudi.

Menurut catatan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), kerajaan dinasti Saud membutuhkan harga minyak pada kisaran US$ 80-85 untuk menyeimbangkan anggaran negara tahun ini. Namun Putin mengatakan harga minyak US$ 60-65 sudah cukup untuk Moskow.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)