Kamis, 31 Oktober 2019

Chile Batal Gelar APEC, Deal Perang Dagang AS-China Piye?

Foto: Infografis/ Kronologi perang dagang AS-China belum temukan titik terang/Aristya Rahadian Krisabella
PT Rifan Financindo - Rencana Presiden Donald Trump menandatangani dokumen pertama dari perjanjian dagang dengan Xi Jinping bulan depan menjadi pertanyaan. Kabarnya Chile membatalkan pertemuan puncak di mana kedua pemimpin telah merencanakan untuk bertemu.

Pembatalan itu, yang diumumkan pada Rabu pagi oleh Chile tampaknya membuat Gedung Putih lengah. Tetapi pemerintah bersikeras bahwa mereka akan terus berusaha untuk menyelesaikan perjanjian "tahap satu" dalam beberapa minggu mendatang.

Belum diketahui apakah pejabat Amerika akan dapat menemukan tempat pengganti untuk pertemuan dengan Xi. Penyelenggara KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mengindikasikan mereka tidak memiliki rencana untuk mengadakan acara di tempat lain.

Lokasi Lainnya
Menurut beberapa sumber yang mengetahui persoalan AS-China, pihak KTT sedang mencari lokasi lain, dikarenakan adanya demonstrasi yang meningkat di Chile.

"Kami menantikan finalisasi Fase Satu dari kesepakatan perdagangan bersejarah dengan China dalam jangka waktu yang sama, dan ketika kami sudah selesai, kami akan memberi tahu anda," kata juru bicara Gedung Putih Hogan Gidley dalam email, sebagaimana dilansir dari Bloomberg, Kamis (31/10/2019).

Kedutaan Besar China di Washington belum dapat menanggapi permintaan berkomentar terkait hal tersebut. Perwakilan perdagangan AS yang memimpin pembicaraan dengan China, Robert Lighthizer mengatakan "tidak ada komentar" ketika ditanya oleh wartawan bagaimana pembatalan akan mengubah rencana.

Prospek pertemuan Trump-Xi di Santiago bulan depan telah mendukung pasar, karena investor mencari tanda-tanda bahwa akhir dari perang perdagangan antara kedua negara sudah di depan mata. Indeks S&P 500 dari saham AS secara singkat jatuh ke sesi terendah setelah berita tentang pembatalan pertemuan beredar.

Tahap Satu
"Saya selalu memandang Chile sebagai lokasi di mana Trump dan Xi berada pada saat yang sama," kata Brendan McKenna, ahli strategi mata uang di Wells Fargo Securities di New York.

"Jika ada kesepakatan di mana kedua belah pihak bersedia untuk menandatangani, saya pikir mereka pasti menemukan cara untuk menyelesaikannya."

Para pejabat AS dan China telah bekerja selama berminggu-minggu untuk mengisi rincian dari kesepakatan "fase satu" yang diumumkan oleh Trump setelah pertemuan Oval Office 11 Oktober dengan negosiator China, Liu He.

Baru-baru ini kedua belah pihak mengatakan bahwa mereka sudah membuat kemajuan yang signifikan pada kesepakatan, yang akan membuat China melanjutkan pembelian produk pertanian AS dan membuat komitmen pada kekayaan intelektual dan mata uang, dengan imbalan komitmen dari Trump untuk tidak mengenakan tarif lebih lanjut pada barang-barang China.

Sementara itu merupakan rintangan baru bagi pemerintahan Trump dan China, penundaan paksa pertemuan antara para pemimpin memberi lebih banyak waktu bagi negosiator. Tetapi tenggat waktu yang bergeser juga dapat mengurangi tekanan di kedua belah pihak untuk memangkas kesepakatan awal dan beralih ke pembicaraan yang lebih komprehensif.

"Jika kedua belah pihak berniat untuk menyelesaikan kesepakatan fase-satu, pembatalan KTT itu hanya soal logistik," kata Jude Blanchette, seorang pakar China di Pusat Strategi dan Pembelajaran Internasional.

"Namun, jika satu atau kedua belah pihak tidak merasa mereka bisa mencapai kesepakatan pada pertengahan November ini, pembatalan KTT adalah alasan yang bagus untuk memiliki lebih banyak waktu."

Ketidakpastian
Risiko untuk bisnis dan pasar keuangan adalah bahwa pembatalan pertemuan APEC hanya akan menambah ketidakpastian yang telah mengurangi investasi dan pertumbuhan di seluruh dunia. Itu mungkin mendorong keinginan Trump untuk menandatangani perjanjian itu sendiri dan membuktikan kepada dunia yang skeptis dan pemilih di AS bahwa tarifnya telah membuahkan hasil jelang kampanye pemilihan ulangnya.

"Ini memungkinkan pembicaraan tingkat rendah akan terus berlanjut tanpa hasil nyata," kata Edward Alden, seorang rekan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri.
Pemerintah AS biasanya akan membantu Chili menyelesaikan krisis politiknya sehingga pertemuan puncak itu dapat dilanjutkan, kata Alden.

"Tapi sebaliknya, Gedung Putih tidak hasir dalam permasalah pemakzulan dan krisis yang dibuatnya sendiri," katanya.

Trump telah berulang kali mengatakan bahwa ia optimistis kesepakatan perdagangan akan diselesaikan di KTT.

"Risiko di sini adalah bahwa jika pertemuan puncak sekarang ditunda, maka paling tidak menunjukkan bahwa ketidakpastian perang perdagangan mungkin akan menggantung kita lebih lama," kata Torsten Slok, kepala ekonom di Deutsche Bank AG, dalam sebuah wawancara di Bloomberg Television, Rabu.

"Ini menimbulkan risiko bahwa kita tidak pernah bisa melihat fase dua atau fase tiga, dan karena itu lah ketidakpastian tidak akan hilang."

Selain APEC, Chile juga batalkan United Nations climate change conference, yang dikenal sebagai COP25, yang dijadwalkan pada Desember di Santiago, kata Presiden Sebastian Pinera.

"Kami sangat memahami pentingnya APEC dan COP untuk Chile dan dunia, tetapi kami mendasarkan keputusan kami pada akal sehat," kata Pinera dari istana kepresidenan. "Seorang presiden harus menempatkan orang-orangnya di atas segalanya."

Keputusan untuk membatalkan pertemuan menyoroti kedalaman masalah yang dihadapi bangsa Amerika Latin yang telah menghadapi hampir dua minggu kerusuhan dan protes. Ini juga memalukan bagi pemerintah yang bersikeras akan melanjutkan konferensi.

Pinera mengatakan dia telah berbicara dengan presiden lain sebagai peringatan tentang pembatalan tersebut. (sef/sef)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 30 Oktober 2019

Resesi Belum Basi, Negara-negara Ini Menuju Jurang Resesi

Foto: Arie Pratama
Rifan Financindo - Saat ekonomi dunia mengalami perlambatan, berbagai bank sentral global banyak yang melakukan pelonggaran kebijakan fiskal. Memangkas suku bunga mendekati nol, bahkan beberapa menetapkan suku bunga negatif.

Langkah itu ditempuh demi menghentikan perlambatan dan mendorong kembali pertumbuhan. Sebab, berbagai ekonomi dunia telah terancam jatuh ke dalam resesi. Mengutip Forbes, berikut adalah negara-negara yang berada di bawah ancaman resesi yang tinggi: 

Hong Kong

Salah satu pusat keuangan dunia ini telah dilanda demo anti-pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Akibatnya, ekonomi kota yang masih menjadi bagian dari China ini menjadi kacau dan secara teknis disebut telah jatuh ke dalam resesi. Sektor pariwisata dan ritel telah mencatatkan kerugian yang tidak sedikit akibat demo yang kerap diselingi aksi kekerasan itu.

Inggris

Ketidakpastian yang menyelimuti negara ini selama beberapa waktu terakhir mengenai rencana keluarnya negara dari blok Uni Eropa alias Brexit, telah membuat ekonomi kacau. Hal ini terlihat dari pertumbuhan Inggris yang melambat untuk pertama kalinya sejak 2012. Bahkan Brexit yang tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) juga terancam menjatuhkan Inggris ke dalam resesi.

Jerman

Ekonomi terbesar di Uni Eropa ini terancam jatuh ke dalam resesi apabila sektor manufaktur serta penjualan mobil negara ini terus melambat.

Italia

Ekonomi terbesar keempat di Uni Eropa ini berada dalam resesi secara teknis pada paruh kedua 2018 den telah menghadapi krisis ekonomi yang berkelanjutan akibat dari produktivitas yang rendah, pengangguran yang tinggi, utang yang besar, dan kekacauan politik.  

China
Ekonomi China terus melambat akibat perang dagangnya dengan Amerika Serikat (AS). Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi terbesar kedua di dunia ini hanya akan tumbuh 5,8% pada 2020. Angka ini turun dari 6,6% pada 2018 dan proyeksi pertumbuhan 6,1% pada 2019.

Selain negara-negara itu, Turki, Argentina, Iran, Meksiko dan Brasil juga terancam jatuh ke dalam resesi akibat berbagai kekacauan.

Amerika Serikat juga diisukan akan jatuh ke dalam resesi karena ekonominya mulai memunculkan tanda-tanda perlambatan. Peluang AS jatuh ke dalam resesi pada tahun 2020 adalah sebesar 27% menurut Bloomberg Economy Index.

Sebagai informasi, IMF memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3% tahun ini. Jika terjadi, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terlambat sejak krisis keuangan global pada tahun 2008. (sef/sef)
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 29 Oktober 2019

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat
Foto: Bursa Jepang (AP/Koji Sasahara)
PT Rifan - Bursa saham Tokyo menguat pada pembukaan perdagangan hari Selasa, hal itu didorong karena adanya unjuk rasa di Wall Street, didukung oleh optimisme tentang pembicaraan perdagangan AS-China dan yen yang lebih murah terhadap dolar.

Seperti dikutip dari AFP, indeks acuan Nikkei 225 naik 0,48% atau 109,60 poin pada 22.976,87 di awal perdagangan, sementara indeks Topix yang lebih luas naik 0,58% atau 9,58 poin pada 1.658,01.

Investor akan terus memantau perkembangan perdagangan AS-China. Kantor Perwakilan Dagang AS mengatakan bahwa Washington akan mempertimbangkan untuk memperpanjang pengecualian tarif tertentu atas impor senilai US$ 34 miliar dari China. Minggu lalu, USTR mengatakan bahwa China dan AS hampir menyelesaikan kesepakatan fase satu.

Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dengan China diperkirakan akan ditandatangani "lebih cepat dari jadwal," tetapi tidak menjelaskan waktu yang pasti, lapor Reuters. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 28 Oktober 2019

Tunggu The Fed, Bisakah Emas Menggila di Atas US$/1.500/Oz?

PT Rifan Financindo Berjangka
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
PT Rifan Financindo Berjangka - Harga emas dunia pekan ini diperkirakan akan menguat jelang pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS)/The Federal Reserve (The Fed) atau the Federal Open Marke Committee (FOMC).

Akhir pekan lalu harga emas dunia di pasar spot sempat melesat 1% ke level US$ 1.517,70/troy ons (Oz), dan hingga akhirnya ditutup pada level US$ 1.507,15/Oz atau naik 0.16%. 

Ini artinya harga emas sudah kembali lagi level harga US$ 1.500/Oz. Penyebabnya, ada kekhawatiran The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuan.

Katalis pemangkasan Fed Funds Rate dan kecemasan terjadinya resesi menjadikan komoditas emas diburu investor dan harganya melonjak.

Data piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 93,5% bank sentral AS akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Probabilitas tersebut terus bertahan di atas 90% setelah rilis data ekonomi AS yang mengecewakan Kamis malam kemarin.

Departemen Perdagangan AS melaporkan, pada pesanan barang tahan lama AS turun 1,1% di bulan September secara month-on-month (MoM). Sementara, pesanan barang tahan lama inti (tak memasukkan sektor transportasi) turun 0,3% MoM. Penurunan tersebut lebih buruk dari prediksi Forex Factory masing-masing pada 0,5% dan 0,2%.

Selain itu, hubungan AS-China yang kembali terlihat merenggang juga membuat pelaku pasar kembali ragu akan ditandatanganinya kesepakatan dagang antara kedua belah pihak. Emas sekali lagi mendapat keuntungan dari hal tersebut.

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan).

Namun demikian, tren penguatan harga emas diprediksi sudah berakhir oleh Capital Economics. Lembaga riset makroekonomi ternama yang berbasis di London ini bahkan memprediksi harga emas akan merosot dua tahun ke depan. 

Melansir kitco.com, chief commodities economist di Capital Economics, Caroline Bain memproyeksikan harga emas dunia berada di kisaran US$ 1.350/troy ons di akhir 2020. "Tren kenaikan harga emas sudah berakhir," ujarnya.

Untuk tahun 2021, harga emas diprediksi masih akan turun lagi ke kisaran US$ 1.250/troy ons. Sementara untuk akhir tahun ini, harga emas diprediksi akan berada di kisatan US$ 1.500/troy ons. "Di tahun ini, harga emas diuntungkan oleh ketidakpastian ekonomi, peningkatan tensi geopolitik, serta pemangkasan suku bunga di AS" kata Bain.

Capital Economics memprediksi di tahun depan pertumbuhan ekonomi global akan membaik, yang membuat selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar meningkat, dampaknya emas tidak akan menarik lagi. Bain mengatakan "investasi terbaik" untuk tahun depan bukan logam mulia. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 25 Oktober 2019

PT Rifan Finacindo - AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar

AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo - Bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona merah pada perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019). Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,36%, indeks Hang Seng terkoreksi 0,37%, dan indeks Kospi berkurang 0,08%.

Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning.

Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa batal diteken. 

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.

Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.

Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.

Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian dunia.

Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang begitu mengecewakan di Jepang ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin (24/10/2019), pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Negeri Sakura periode Oktober 2019 diumumkan di level 48,5, di bawah konsensus yang sebesar 48,8, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Oktober menandai kontraksi keenam secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC

Kamis, 24 Oktober 2019

Rifan Financindo - Harga Emas Tak Bisa Move On, Berat Cari Cuan

Harga Emas Tak Bisa Move On, Berat Cari Cuan
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Rifan Financindo - Harga emas dunia pagi di pasar spot tidak jauh berbeda dibandingkan tadi malam, Rabu (23/10/2019) waktu perdagangan Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data investing.com, pada pukul 06.00 harga emas dunia di pasar spot berada pada level US$ 1.495,25, turun tipis dibandingkan tadi malam.

Perdagangan tadi malam, pukul 20:56 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.495,29/troy ons di pasar spot. Pergerakan harga emas yang cenderung tipis dipicu tarik ulurnya proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.

Perkembangan terakhir Parlemen Inggris menolak keinginan Perdana Menteri (PM) Johnson untuk mempercepat proses legislasi Brexit.
PM Johnson kini dikabarkan akan mendorong diadakan Pemilu sebelum Natal, tetapi tentunya harus mendapat penundaan deadline Brexit terlebih dahulu dari Uni Eropa.

Akibat tarik ulur tersebut sebagian bursa saham Eropa melemah. Bervariasinya bursa saham Eropa disusul bursa saham AS akibat beberapa laporan laba rugi emiten yang mengecewakan.

Pergerakan bursa saham Eropa dan AS hari ini menunjukkan sentimen pelaku pasar tidak terlalu bagus, yang menjadi sentimen positif bagi emas.

Namun, penguatan emas sepertinya masih sulit untuk terus berlanjut.

Emas terindikasi kurang menarik lagi bagi para pelaku pasar setelah menguat tajam pada Juni sampai Agustus lalu. Pada periode itu, logam mulia ini mencatat kenaikan sekitar 16% dan mencapai level tertinggi enam tahun.

Namun setelahnya emas mulai mengendur. Kenaikan 16% dalam tiga bulan mungkin terlihat sedikit berlebihan, sehingga pelaku pasar melihat harga emas sudah cukup mahal. Perlu momentum yang besar akan harga emas bisa melaju naik lagi.

Tanda emas mulai ditinggalkan sebagai aset investasi adalah turunnya posisi bullish, artinya investor yang memegang posisi beli emas sudah mulai berkurang. Berdasarkan laporan CNBC International, hedge fund dan money manager sudah mengurangi posisi bullish dalam kontrak emas dan perak di Comex.

Selain itu data dari Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan posisi net buy emas pada pekan lalu turun menjadi 253.000 kontrak dari sebelumnya 275.600 kontrak di bursa berjangka Chicago dan New York.

Satu tanda lagi, total holding aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas fisik terbesar dunia, juga menunjukkan penurunan. Pada Selasa pekan lalu, Reuters melaporkan holding di SPDR Gold Trust menurun sebesar 0,22% menjadi 919,66 ton.

Penurunan-penurunan tersebut bisa jadi sinyal awal emas akan ditinggalkan oleh pelaku pasar, apalagi jika AS-China akhirnya menandatangani kesepakatan dagang, dan pertumbuhan ekonomi global akhirnya membaik serta menghilangnya ancaman resesi.

Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi global membaik tentunya perlu waktu cukup lama, apalagi sampai saat ini AS-China belum menandatangani kesepakatan dagang. Sehingga penggerak emas dalam beberapa pekan ke depan adalah pengumuman kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di akhir bulan ini.

Berdasarkan data FedWacth milik CME Group, pada pukul 20:25 WIB pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 93,5% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Probabilitas tersebut tinggi, yang menunjukkan pelaung suku bunga dipangkas cukup besar, akibatnya dolar AS melemah. Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar, bahkan menyentuh level terlemah dua bulan pada pekan lalu.

Peluang The Fed memangkas suku bunga dan dolar yang lemah seharusnya bisa menjadi sentimen positif bagi emas. Tapi nyatanya emas masih belum sanggup menyentuh level psikologis US$ 1.500/troy ons hingga hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA (hps/hps)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 23 Oktober 2019

PT Rifan - Drama Brexit Geret Wall Street Melemah di Penutupan

Drama Brexit Geret Wall Street Melemah di Penutupan
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
PT Rifan - Bursa saham Amerika Serikat, Wall Street, berakhir lebih rendah pada perdagangan hari Selasa (22/10/2019). Beragamnya laporan laba perusahaan di AS menjadi penyebab.

Dow Jones turun 39,54 poin atay 0,2% ke 26.788,10. Sedangkan S&P 500 turun 10,73 poin atau 0,4% ke 2.995,99 dan Nasdaq turun 58,69 poin atau 0,7% ke 8.104,30.

Ditulis AFP, optimisme yang ditunjukan Procter & Gamble Co dan United Technologies Corp diimbangi hasil mengecewakan dari McDonald's Corp dan Travelers Cos Inc.

Saham Procter & Gamble naik 2,8% sedangkan United Technologies naik 2,4%. Sementara McDonlad turun 4,6% dan Travelers turun 8,4%.

Selain itu, drama Brexit yang berkepanjangan juga menyebabkan ini terjadi. Kekalahan pemerintah Inggris di parlemen untuk mengeluarkan UU yang meratifikasi kesepakatan untuk keluar dari Uni Eropa, memiliki dampak meskipun terbatas pada pasar AS.

Kekalahan di parlemen membuat Inggris tidak mungkin bisa keluar dari Eropa sesuai target 31 Oktober nanti. Hal ini tentu akan menyebabkan meningkatnya ketidakpastian global.

"Brexit sebenarnya bukan masalah besar bagi investor ekuitas," kata Kepala Strategi Pasar di Bruderman Asset Management di New York, Olover Pursche dikutip dari Reuters. "Tapi ekonomi global tentu menderita,". (sef/sef)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan 

Selasa, 22 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Makin Panas, AS Ancam Serang Turki dengan Kekuatan Militer

Makin Panas, AS Ancam Serang Turki dengan Kekuatan Militer
(Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)
PT Rifan Financindo Berjangka - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan Presiden Donald Trump siap menggunakan kekuatan militer terhadap Turki jika diperlukan. Ancaman itu dilayangkan setelah Turki melakukan serangan terhadap Kurdi di Suriah utara.

"Kami lebih suka perdamaian daripada perang," kata Pompeo kepada Wilfred Frost dari CNBC dalam sebuah wawancara pada hari Senin (21/10/19). "Tetapi jika tindakan kinetik atau aksi militer diperlukan, Anda harus tahu bahwa Presiden Trump sepenuhnya siap untuk melakukan tindakan itu."

Lebih lanjut, Pompeo mengatakan bahwa saat ini tindakan militer belum dilakukan karena belum ada perintah langsung dari Presiden. Oleh karenanya, AS masih hanya memberlakukan sanksi ekonomi pada Turki.

"Anda menyarankan kekuatan ekonomi yang kami gunakan. Kami pasti akan menggunakannya. Kami akan menggunakan kekuatan diplomatik kami juga. Itu adalah pilihan kami," kata Pompeo.

Serangan militer Turki terhadap Suriah terjadi awal bulan ini setelah Trump memutuskan menarik pasukan AS dari wilayah itu. Hal itu membuat kaum Kurdi, yang biasa memimpin perang darat melawan ISIS, dianggap menjadi lebih rentan. Turki memandang orang Kurdi sebagai teroris.

Akibat serbuan itu, lebih dari 120 warga sipil tewas, menurut Observatorium Suriah yang berbasis di Inggris untuk lembaga Hak Asasi Manusia.

Setelah memutuskan menarik pasukan militer dari wilayah itu, Trump sendiri mendapat kritikan pedas dari berbagai koleganya di Gedung Putih.

Pada Senin, Trump menyampaikan pembelaannya.

"(AS) tidak pernah setuju untuk melindungi Kurdi selama sisa hidup mereka." Katanya, mengutip CNBC International. "Kami tidak akan ikut bertarung. Biarkan mereka bertarung sendiri,"

Sebelumnya pada 9 Oktober, Trump telah mengirim surat kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Dalam surat itu Trump meminta Erdogan untuk bertindak bijaksana. Namun, Erdogan mengabaikannya dan melakukan serangan pada hari itu juga.

Akibatnya, setelah serangan, pekan lalu AS langsung memberlakukan sanksi ekonomi pada Turki. Sanksi tersebut berupa kenaikan tarif baja hingga 50% dan mengakhiri negosiasi perdagangan. (sef/sef)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 21 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Emas Susah Tembus US$ 1.500/Oz, Apa Benar Mulai Ditinggalkan?

Emas Susah Tembus US$ 1.500/Oz, Apa Benar Mulai Ditinggalkan?
Foto: Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)
PT Rifan Financindo - Harga emas dunia masih belum berhasil menembus level US$ 1.500/Troy Ounce (Oz) pada perdagangan pekan lalu. Pergerakan emas sedang pada fase konsolidasi dalam beberapa pekan ini, setelah menyentuh level tertinggi pada awal September lalu.

Pada penutupa perdagangan pekan lalu, harga emas diberhenti diperdagangkan pada level US$ 1.493,35/Oz di pasar spot berdasarkan data investing.com. Sebelumnya, logam mulia ini menyentuh level terlemah US$ 1.484,40/troy ons, dengan level tertinggi hari ini di US$ 1.493,93/troy ons.

Sejak menembus ke atas level US$ 1.500/troy ons pada 7 Agustus lalu, emas memang berapa kali turun kembali, tapi tidak lebih dari 2 x 24 jam sudah kembali menyentuh level tersebut.

Pada 4 September 2019, harga emas sempat menyentuh level tertinggi pada perdagangan harian selama 2019, pada harga US$ 1.564,70/Oz. Setelah menyentuh level tertinggi tersebut, harga emas terus merosot.

Kali ini emas cukup lama berada di bawah level US$ 1.490/Oz. Kiilau emas mulai redut dan mulai ditinggalkan investor. Padahal isu resesi di AS kembali muncul yang seharusnya bisa mendongkrak lagi harga emas, tapi ternyata tak cukup kuat.

Buruknya data ekonomi AS sejak hari Rabu lalu menjadi penyebab munculnya kembali isu resesi. Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM).Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%. Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.

Sementara itu pada Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0. Akibatnya, spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di akhir bulan ini semakin menguat.

Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Selain itu, masalah Brexit juga masih belum jelas. Anggota parlemen Inggris meragukan rancangan kesepakatan Brexit yang disepakati Inggris dan Uni Eropa. Keraguan timbul akibat perkiraan apakah parlemen Inggris akan mendukung kesepakatan tersebut.

Democratic Unionist Party (DUP), sekutu utama pemerintahan Johnson, menyatakan akan menentang kesepakatan itu karena "bisa merusak" Good Friday Agreement (GFA), gencatan senjata hukum yang memulihkan perdamaian di perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia.

Gonjang ganjing Brexit seharusnya jadi katalis harga emas, sekali lagi isu ini rupanya tak membuat harga emas bergerak banyak.

Belum lagi data ekonomi China yang keluar pekan lalu juga tidak terlalu baik. GDP China hanya tumbuh 6,0 persen (YoY), lebih rendah dari perkiraan sebesar 6,1 persen.

China diperkirakan akan segera mempercepat stimulus dalam 1-2 kuartal ke depan jika ingin memenuhi target pertumbuhan ekonomi antara 5,5% dan 6% pada tahun selanjutnya. Perang dagang China dan AS telah membebani perekonomiannya.

Emas seharusnya punya momentum untuk naik dari kecemasan akan terjadinya resesi, serta peluang penurunan suku bunga The Fed. Tetapi nyatanya harga emas tak bergeming di bawah US$ 1.500/troy ons.



Foto: Infografis/Pergerakan HARGA EMAS Sepekan (14 - 18 Oktober 2019)a/Arie Pratama
(hps/hps)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 18 Oktober 2019

Rifan Financindo - Kecemasan Resesi di AS Muncul Kembali, Yen Menguat Lagi

Kecemasan Resesi di AS Muncul Kembali, Yen Menguat Lagi
Foto: Mata Uang Yen. (REUTERS/Yuriko Nakao/Files)
Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang menguat dua hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin, dan masih berlanjut pada hari ini, Jumat (18/10/19). Tanda-tanda melambatnya ekonomi AS, serta kesepakatan dagang AS-China yang semakin diragukan membuat daya tarik yen sebagai aset aman (safe haven) kembali muncul.

Pada pukul 7:25 WIB, yen diperdagangkan di kisaran 108,62/US$ menguat 0,03% di pasar spot melansir data Refinitiv. Sementara dalam dua hari sebelumnya, yen menguat 0,08% dan 0,9%.

Tanda-tanda pelambatan ekonomi AS terlihat dari rilis data penjualan ritel Rabu serta aktivitas manufaktur Kamis kemarin.

Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir. Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%.

Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.
Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.
Akibatnya rilis data-data tersebut kecemasan akan resesi di AS kembali muncul dan spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat. Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group pagi ini, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).
Tingginya probabilitas tersebut membuat keperkasaan dolar AS di hadapan yen runtuh, dan perlahan melemah kembali.

Sementara itu keraguan akan kesepakatan dagang AS-China terus meningkat. Kali ini yang disoroti adalah janji China membeli produk pertanian AS. CNBC International mengutip Wall Street Journal melaporkan Pemerintah Tiongkok sampai saat ini tidak memberikan detail kapan dan berapa jumlah produk pertanian yang akan dibeli. 

Presiden AS, Donald Trump pada Jumat pekan lalu mengklaim China akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 40 miliar sampai US$ 50 miliar dalam kurang dari dua tahun. Tetapi masih belum jelas apa yang akan dilakukan AS sebagai barter dari pembelian tersebut.

Selain itu, Kamis kemarin, Menteri Perdagangan China Gao Feng menegaskan semua bea masuk baru yang harus dibatalkan agar kedua negara bisa menandatangani kesepakatan fase satu.

Hal tersebut membuat pelaku pasar mulai meragukan kembali kesepakatan dua raksasa ekonomi yang sudah setahun lebih terlibat perang dagang.

TIM RISET CNBC INDONESIA  (pap/pap)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Kamis, 17 Oktober 2019

PT Rifan - Mengekor Wall Street, Bursa Tokyo Memble Pagi Ini

Mengekor Wall Street, Bursa Tokyo Memble Pagi Ini
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
PT Rifan - Bursa saham Tokyo sedikit melemah pada pembukaan perdagangan Kamis ini (17/10/2019), menyusul penurunan di bursa saham Wall Street AS karena investor masih memantau setiap perkembangan dalam pembicaraan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) di Brussels.
Data perdagangan mencatat, indeks acuan Nikkei 225 turun 0,08% atau 18,91 poin menjadi 22.454,01 pada awal perdagangan, sementara indeks Topix dengan bobot yang lebih luas turun 0,24% atau 3,90 poin pada 1.627,61.

Pelemahan bursa Asia adalah lanjutan efek tergelincirnya bursa saham AS karena data ekonomi yang lemah. Sementara itu perdagangan saham di Eropa juga belum ada pergerakan yang nyata karena investor masih menanti solusi dari negosiasi Brexit.

"Pasar didominasi oleh spekulasi dan berita utama soal Brexit, sementara data ekonomi di AS juga beragam," kata Kishti Sen, analis ANZ Research, dikutip AFP dan CNBC International.

Departemen Perdagangan AS melaporkan terjadi penurunan kontrak penjualan ritel AS pada September dan ini terjadi untuk pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir. Kontraksi di sektor manufaktur ini diperkirakan sudah menyebar ke sektor ekonomi lain yang lebih luas

Penjualan ritel secara tak terduga merosot 0,3% pada bulan September. Data yang lemah menambah kekhawatiran atas potensi resesi.

Di bursa Wall Street, tadi pagi, indeks Dow Jones turun 22,82 poin atau 0.08% menjadi 27.001,98. Sedangkan S&P 500 kehilangan 5,99 poin atau 0,20% ke 2.989,69 dan Nasdaq turun 24,52 poin atau 0,3% ke 8.124,18. (tas)

Rabu, 16 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya

Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
PT Rifan Financindo Berjangka - Beberapa lembaga dana pensiun publik terbesar di Amerika Serikat (AS) mengatakan sedang meninjau keputusan Pemerintah Presiden AS Donald Trump yang memasukkan beberapa perusahaan China ke dalam daftar hitam (blacklist). Alasannya, karena mereka ternyata berinvestasi di perusahaan yang masuk daftar hitam itu.

Dimasukkannya perusahaan-perusahaan China ke dalam daftar entitas berarti mereka akan membutuhkan izin dari pemerintah AS untuk membeli perangkat dari perusahaan AS. Alasan dimasukannya perusahaan-perusahaan itu ke daftar blacklist adalah karena masalah pelanggaran HAM yang dilakukan China terhadap etnis Uighur dan Islam minoritas.

Beberapa perusahaan yang masuk daftar hitam di antaranya adalah Hangzhou Hikvision Digital Technology Co dan tujuh perusahaan lain. Mereka diduga terlibat masalah pelanggaran HAM tersebut.

Salah satu lembaga yang berinvestasi di perusahaan China yang di-blacklist adalah Sistem Pensiun Guru California (CalSTRS). Lembaga ini berinvestasi di Hikvision.

"Kami sedang melacak situasi mengingat perkembangan baru ini dengan pengumuman Departemen Perdagangan," kata seorang juru bicara CalSTRS dalam email.

CalSTRS memiliki 4,35 juta saham di Hikvision per 30 Juni 2018, menurut data terakhir yang tersedia. Dari semua bentuk kepemilikan, CalSTRS berarti memiliki aset senilai US$ 24 juta.

STRS Bagian New York juga memiliki saham Hikvision. Kepemilikannya pada akhir Juni adalah sebanyak 81.802 saham, naik dari 26.402 saham pada akhir 2018, kata lembaga itu.

"Kepemilikan kami terutama dipegang berdasarkan bobotnya dalam portofolio pasif yang cocok dengan indeks MSCI ACWI ex-AS, tolok ukur kebijakan kami. Kami sedang memantau situasi," kata juru bicara lembaga itu. Indeks MSCI All Country World Index (ACWI) ex-AS termasuk saham dari 22 pasar maju dan berkembang.

Lembaga dana investasi besar lainnya yang berinvestasi dalam saham Hikvision adalah Sistem Pensiun Florida (FRS), yang memiliki 1,8 juta saham pada akhir Juni.

Seorang juru bicara untuk dana tersebut mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan manajer uang eksternal terkait dengan masalah ini untuk memenuhi semua persyaratan peraturan dan fidusia.

Menanggapi hal itu, konsultan risiko mengatakan otoritas Amerika harus memperhatikan masalah ini karena terkait banyak warga AS.

"Hikvision telah muncul sebagai anak poster perusahaan untuk memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia China, di mana kamera pengawasnya terpajang di atas dinding kamp penahanan yang memenjarakan sekitar satu juta atau lebih warga Uighur di Xinjiang," kata Roger Robinson, presiden dan CEO lembaga konsultasi risiko yang berbasis di Washington DC, RWR Advisory Group.

Selain Hikvision, satu perusahaan lain di antara delapan yang masuk daftar hitam, yang menjadi tempat investasi lembaga dana pensiun besar AS, adalah iFlytek Co Ltd. Sahamnya dimiliki oleh lembaga dana di Florida, Negara Bagian New York serta CalSTRS dan Sistem Pensiun Pegawai Negeri California (CalPERS) secara tidak langsung melalui iShares MSCI Emerging Markets ETF pada tanggal pengungkapan terakhir mereka. (sef/sef)
 

Selasa, 15 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Benarkah Ekonomi Dunia Menuju Resesi Pertama Sejak 2009?

PT Rifan Financindo - Pertanyaan mengenai apakah ekonomi dunia akan terjerat ke dalam resesi semakin ramai diperbincangkan. Apa lagi saat perlambatan semakin nyata terlihat.

Pada akhir pekan lalu, kabar baik dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China cukup mampu menenangkan pasar. Setelah melakukan pembicaraan dagang di Washington, kedua ekonomi terbesar dunia itu menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kesepakatan dagang.

Selain itu, dari Eropa, Inggris juga diperkirakan akan mencapai kesepakatan sebelum keluar dari Uni Eropa. Brexit sebelumnya dijadwalkan terjadi 31 Oktober ini.

Namun begitu, perdebatan tentang seberapa dekat dunia dengan resesi pertamanya sejak 2009 masih tetap ada.

Hal ini diperkuat oleh hasil perhitungan Bloomberg Economics, yang menunjukkan ekonomi global telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.

Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga telah menyatakan bahwa ia memperkirakan ekonomi akan menghadapi semakin banyak risiko serius ke depannya. Lembaga ini pada Selasa, diperkirakan akan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari 3,2%, yang merupakan level terlemah sejak 2009.


Investor obligasi jelas mengkhawatirkan keadaan ini karena imbal hasil obligasi telah negatif. Namun, investor saham justru sebaliknya, karena MSCI World Index telah mencatatkan kenaikan 14% tahun ini. 

Perang Dagang dan Geopolitik
Menurut Tom Orlik, kepala ekonom di Bloomberg Economics, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan dapat memicu resesi pada 2020, di antaranya adalah:

Perang Dagang

Perang dagang yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini antara AS dengan China telah membuat pertumbuhan global berada di bawah tekanan. Pada Jumat lalu China telah setuju untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan Gedung Putih setuju menunda pengenaan tarif impor lagi.

Namun, itu berarti perang dagang masih berlangsung dan bea masuk masih ada. Presiden AS Donald Trump juga masih bisa mengenakan tarif impor pada negara yang ia tuduh telah melakukan praktik dagang yang tidak adil, termasuk melakukan pencurian kekayaan intelektual itu.

Perlambatan di sektor manufaktur

Tidak diragukan lagi produsen telah menjadi korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang terus mengalami tekanan, menyebabkan negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jerman dan Jepang, menderita. Berbagai bisnis juga banyak melakukan efisiensi dan investasi di sektor non-perumahan AS menyusut pada kuartal kedua, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Saat ini, sektor jasa juga dikhawatirkan akan terdampak.

Geopolitik

Selain perang dagang AS-China, isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga masih menjadi kekhawatiran. Selain itu, AS juga memiliki perselisihan dengan Iran setelah terjadi serangan drone ke ladang minyak Arab Saudi, dan serangan ke kapal tanker minyak Iran pada Jumat. Hal ini berisiko meningkatkan harga minyak.

Lebih lanjut, konflik di Suriah dan demo Hong Kong juga turut memberatkan. Argentina sedang menghadapi krisis fiskal lagi dan tampaknya akan terjadi pergantian pemerintah. Selain itu, Ekuador, Peru dan Venezuela juga memiliki masalah politik. Penyelidikan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump juga perlu diperhitungkan. 

Laba Terhenti ke Negara yang Goyah
Pertumbuhan laba terhenti

Pertumbuhan laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia. Di balik tekanan pendapatan, terjadi kenaikan upah pekerja, pertumbuhan produktivitas loyo, dan kurangnya daya harga secara umum. Bahayanya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat lebih sedikit laba, bisa mengurangi pekerja mereka, mengganggu kepercayaan konsumen dan melakukan penghematan.

Bank Sentral terjepit

Kebijakan moneter mungkin lebih longgar saar ini daripada di awal tahun. Tetapi, bank sentral masih dianggap kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus mungkin terlalu lambat dalam bertindak. Bank sentral AS Federal Reserve telah memangkas suku bunga acuannya sekitar 500 basis poin, pelonggaran pertama sejak awal 1990-an. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan juga sudah menetapkan suku bunga negatif dan sedang mempertimbangkan langkah ke depannya.

Pemerintah yang goyah

Berbagai lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran. Tetapi, tanda-tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan reaktif bukan proaktif. Meskipun Morgan Stanley memperkirakan defisit fiskal primer telah meningkat menjadi 3,5% dari produk domestik bruto (PDB) di negara-negara besar, dari 2,4% tahun lalu, namun lembaga itu melihat peningkatannya hanya menjadi 3,6% tahun depan. Beberapa pemerintah telah membelanjakan lebih banyak, tetapi China dan Jerman, yang sama-sama memiliki ruang untuk menyuntikkan lebih banyak stimulus fiskal, justru menahan diri. Sementara Jepang baru saja menaikkan pajak penjualannya.

Alasan Untuk Tidak Perlu Khawatir
Meski begitu banyak kekhawatiran menghantui, namun masih ada banyak alasan untuk tidak khawatir. Di antaranya adalah:

Amerika Serikat

Sebuah model yang dibuat oleh Bloomberg Economics memperhitungkan risiko resesi AS tahun depan hanya 25%, dan jika ekonomi terbesar dunia itu bisa tetap tumbuh, maka akan bisa menjadi penawar bagi ekonomi negara lain. Beberapa pakar juga memproyeksikan risiko resesi akan lebih rendah daripada sebelumnya untuk AS. Itu berarti ekonomi dapat melampaui 1,5%. Selain itu, ekonomi AS diperkirakan akan tetap kuat meski perdagangan global terpukul.

Konsumsi tetap tinggi

Konsumen Amerika tetap menjadi pilar pertumbuhan. Selain itu, tingkat pengangguran juga masih di level terendah dalam lima dekade. Meski pasar tenaga kerja sedikit kurang, namun belanja rumah tangga masih tinggi. Conference Board minggu ini melaporkan bahwa indeks kepercayaan konsumen globalnya tetap mendekati rekor tertinggi.

Kebijakan Bank Sentral

The Fed telah memangkas suku bunga dua kali tahun ini dan dapat melakukannya lagi bulan ini, sementara ECB telah mendorong suku bunga simpanan lebih jauh di bawah nol dan meluncurkan kembali program pembelian obligasi. Bank of Japan juga mempertimbangkan untuk melakukan lebih banyak stimulus. Bank sentral lain di India, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga berencana melakukan lebih banyak pelonggaran.

China

China mungkin tidak begitu meningkatkan stimulusnya karena khawatir akan meningkatkan tingkat utang. Tetapi, keputusan itu masih bisa berubah jika diperlukan. Negara ini sudah memangkas jumlah kas bank yang harus disimpan dalam cadangan ke level terendah sejak 2007. Pengeluaran infrastruktur oleh pemerintah daerah juga diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dan investasi negara juga demikian.

Ekses terkendali

Perlambatan sebelumnya terjadi karena koreksi ekses seperti kenaikan inflasi pada 1980-an, pecahnya gelembung teknologi di AS pada awal abad ini atau runtuhnya sektor perumahan dalam satu dekade kemudian. Kali ini, inflasi umumnya lemah dan meski harga saham naik, kenaikannya bisa dibilang tidak berada di wilayah yang mengkhawatirkan. Meskipun harga rumah di Kanada dan Selandia Baru tinggi, namun rumah tangga di banyak negara telah mengurangi leverage. (sef/sef)

Senin, 14 Oktober 2019

Rifan Financindo - Morgan Stanley: AS-China Belum Kelar, Waspada & Berisiko

Morgan Stanley: AS-China Belum Kelar, Waspada & Berisiko
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
Rifan Financindo - Kesepakatan parsial, bukan menyeluruh, yang dihasilkan AS dan China dianggap perlu di waspadai. Pasalnya deal yang dihasilkan berisiko karena tidak pasti.

Belum lagi, tidak adanya pernyataan dari kedua negara terhadap penundaan tarif yang tengah berlaku saat ini dan Desember nanti.
Baik AS dan China, hanya setuju menunda kenaikan tarif untuk Oktober 2019 ini.

"Belum ada arahan yang jelas soal pengurangan tarif yang tekah berlaku sekarang dan eskalasinya mengindikasikan ada risiko yang berarti," kata Morgan Stanley dalam sebuah catatan dikutip CNBC International, Minggu (13/10/2019).

Bank investasi itu menilai hal ini masih akan berisiko pada pertumbuhan ekonomi global. Sehingga pihaknya tidak melihat adanya rebound yang berarti terutama untuk banyak entitas bisnis.

"Jika AS mempertahankan perspektif menghentikan ekspansi China, perang dagang tentu akan berlanjut," kata perusahaan itu.

Sebelumnya dalam pernyataan pers, Presiden AS Donald Trump mengatakan pihaknya akan menunda kenaikan tarif 30% dari semula 25% pada US$ 250 miliar barang asal China. Dikatakannya draf tertulis akan diselesaikan dalam tiga minggu ke depan.

Perang Dagang AS-China Belum Selesai & Beresiko
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
Dalam fase pertama ini, kesepakatan perdagangan juga dibuat. Di mana AS akan membeli US$ 40 miliar -US$ 50 miliar produk pertanian China.

Evercore juga menilai perang dagang belum berakhir. "Kami tidak melihat pemotongan tarif bahkan di 2020 nanti, tapi kami siap untuk terkejut," katanya.

Ditegaskan bank investasi itu, selama tarif masih ada, Evercore menilai hubungan AS dan China masih buruk. "Tidak baik," tulis perusahaan itu.

Goldman Sachs melihat ada kemungkinan hingga 60%, bahwa kenaikan tarif 15% pada barang China per 15 Desember nanti akan benar diberlakukan. Meski demikian, lembaga ini mnegharap pemerintah AS akan mengambil langkah penundaan hingga 2020.

Sementara itu, JP Morgan mengatakan perjanjian awal ini merupakan perkembangan positif. Meski kesepakatan menghilangkan risiko penurunan ekonomi di kuartal berikutnya, namun perlambatan ekonomi tetap jadi tren.

Industri perbankan misalnya hanya akan tumbuh 6,2% pada 2019 dan 5,9% pada 2020.(sef/sef)
Sumber : CNBC

Jumat, 11 Oktober 2019

PT Rifan - Damai Dagang di Depan Mata, Bursa Tokyo Ceria

Damai Dagang di Depan Mata, Bursa Tokyo Ceria
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
PT Rifan - Bursa Tokyo dibuka naik pada Jumat pagi ini (11/10/19) karena investor mendapat angin segar dari pertemuan tingkat tinggi bidang perdagangan yang sedang berlangsung antara pejabat Amerika Serikat (AS) dengan China di Washington DC.

Data perdagangan mencatat, indeks acuan Nikkei 225 naik 0,69% atau 149,21 poin menjadi 21.701,19 pada awal perdagangan, sementara indeks Topix dengan bobot yang lebih luas naik 0,54% atau 8,48 poin menjadi 1.589,90.

Pada hari Kamis dan Jumat waktu setempat, para perwakilan dagang dari China dijadwalkan untuk melakukan pembicaraan dagang dengan perwakilan AS. Kedua ekonomi terbesar dunia itu berupaya untuk menghasilkan kesepakatan yang bisa mengakhiri perang tarif mereka.

Kabar baik ini diperkuat oleh pengumuman Presiden AS Donald Trump yang lewat akun Twitter pribadinya @realDonaldTrump mengatakan akan bertemu langsung dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada Jumat demi menghasilkan kesepakatan.

"Hari besar negosiasi dengan China. Mereka ingin membuat kesepakatan, apakah saya juga? Saya akan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri besok di Gedung Putih," katanya, mengutip CNBC International.

Akibat komentar Trump ini, bursa Wall Street AS juga menguat pada penutupan pagi waktu Indonesia.

Indeks Dow Jones naik 0,6% menjadi 26.496,67. Sementara S&P 500 naik 0,6% ke 2.938,13 dan Nasdaq ditutup di 7.950,78. (tas/tas)

Kamis, 10 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Negosiasi Dagang Bikin Grogi, Bursa Saham China Melemah

Negosiasi Dagang Bikin Grogi, Bursa Saham China Melemah
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo Berjangka - Bursa saham China dan Hong Komg mengawali perdagangan hari ini, Kamis (10/10/2019), di zona merah. Pada pembukaan perdagangan, indeks Shanghai melemah 0,04% ke level 2.923,71, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,22% ke level 25.625,57.

Kekhawatiran bahwa negosiasi dagang tingkat tinggi antara AS dan China akan berakhir dengan buruk menjadi faktor utama yang memantik aksi jual di bursa saham China dan Hong Kong. Untuk diketahui, pada hari ini waktu setempat kedua negara akan menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington.

Pemberitaan dari South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa AS dan China tak menghasilkan perkembangan apapun kala perbincangan tingkat deputi digelar pada awal pekan ini.


SCMP kemudian menyebut bahwa delelegasi pimpinan Wakil Perdana Menteri China Liu He hanya akan menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi dengan delegasi AS selama satu hari dan akan kembali ke Beijing pada hari Kamis. Untuk diketahui, sebelumnya delegasi China dijadwalkan kembali ke Beijing pada hari Jumat (11/10/2019).

Masalah transfer teknologi secara paksa yang ditolak untuk dirundingkan oleh pihak China menjadi dasar dari mandeknya perbincangan antar kedua negara, seperti dilaporkan oleh SCMP.

Dikhawatirkan, perang dagang AS-China justru akan tereskalasi pasca kedua negara selesai menggelar negosiasi tingkat tinggi. Jika ini yang terjadi, perekonomian China hampir bisa dipastikan akan mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

TIM RISET CNBC INDONESIA(ank/ank)

Rabu, 09 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Deal Brexit 'Sangat Tidak Mungkin', Poundsterling Mundur Dulu

Deal Brexit 'Sangat Tidak Mungkin', Poundsterling Mundur Dulu
Foto: Pound Sterling (REUTERS/Chris Ratcliffe)
PT Rifan Financindo - Mata uang poundsterling melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (8/10/19) setelah tersiar kabar jika deal Brexit tidak akan tercapai.

Pada pukul 20:10 WIB, poundsterling diperdagangkan di level US$ 1,2205, melemah 0,69% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

CNBC International mengutip beberapa media kini ramai memberitakan jika perundingan Brexit antara Inggris dan Uni Eropa kini menuju kegagalan. Sky News melaporkan Kanselir Jerman, Angela Merkel, sudah menyampaikan kepada Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, bahwa deal Brexit untuk saat ini "sangat tidak mungkin". 

Sementara itu BBC mengutip sumber dari Pemerintah Inggris yang mengatakan pihak Uni Eropa tidak menunjukkan keinginan sedikitpun untuk membahas proposal Brexit sejak diajukan PM Johnson.

Pekan ini dikatakan sebagai waktu akhir Inggris dan Uni Eropa berunding untuk mencapai kesepakatan Brexit. Sementara deadline Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti. Kegagalan perundingan Brexit sebenarnya tidak mengejutkan. Sejak PM johnson mengajukan proposal ke Uni Eropa sudah banyak yang skeptis akan ada deal.

Hal yang paling mungkin terjadi adalah Inggris meminta deadline Brexit dimundurkan. Tetapi sejauh ini belum ada tanda-tanda PM Johnson akan meminta penundaan Brexit.

Sebelum menjabat perdana menteri, dan setelah menjabat, Johnson masih konsisten mengatakan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan sekalipun pada 31 Oktober.

Meski demikian, Parlemen Inggris sudah bergerak terlebih dahulu dengan membuat undang-undang yang mencegah terjadinya no-deal Brexit, dan menyarankan pemerintah untuk meminta deadline dimundurkan.

Kecilnya peluang terjadinya no-deal Brexit membuat Goldman Sachs menyarakan nasabahnya untuk mengambil posisi beli poundsterling. Bank investasi ternama asal AS ini memprediksi poundsterling akan menguat ke US$ 1,30.

Dinamika politik Inggris sebelum 31 Oktober akan menjadi penggerak utama mata uang poundsterling, apakah sikap PM Johnson akan melunak, dan bersedia meminta penundaan, ataukah masih bersikeras Brexit harus dilakukan akhir Oktober nanti. Yang pasti Johnson tidak akan mengundurkan diri sebagai perdana menteri.

Salah satu pejabat pemerintah mengatakan jika Johnson mengundurkan diri, hal itu akan memberikan jalan oposisi, Partai Buruh, untuk berkuasa. Sementara jika Johnson menolak untuk mundur, Ratu Inggris kemungkinan akan membubarkan parlemen dan meminta diadakan pemilu, yang bisa semakin memperkuat posisi Boris Johnson.

Deadline Brexit dalam hitungan hari, dan terlihat masih cukup rumit untuk mencapai kata "sepakat".
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
 
Sumber : CNBC

Selasa, 08 Oktober 2019

RIfan Financindo - Trump Ancam Hancurkan Ekonomi Turki

Trump Ancam Hancurkan Ekonomi Turki
Foto: Infografis/ Drama baru perang dagang trump, 7,5 m barang Eropa akan dikenakan tarif/Aristya Rahadian Krisabella
Rifan Financindo - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan menghancurkan ekonomi Turki. Apalagi, jika negara yang dipimpin Presiden Tayyip Erdogan itu melakukan serangan militer terencana di Suriah.

Pernyataan itu disampaikan pada Senin (8/10/19), sesaat setelah AS memutuskan untuk menarik pasukan militernya dari wilayah Suriah timur laut pada Minggu.

"Inilah saatnya bagi kita untuk keluar dari Perang Tak Berujung yang menggelikan ini, banyak dari mereka adalah suku, dan membawa pulang tentara kami. KAMI AKAN BERPERANG DI MANA SAJA JIKA UNTUK KEPENTINGAN KAMI, DAN HANYA UNTUK MENANG. Turki, Eropa, Suriah, Iran, Irak, Rusia dan Kurdi sekarang harus mencari tahu situasinya," tulis Trump di Twitternya.

"Seperti yang telah saya nyatakan sebelumnya, dan hanya untuk mengulangi, jika Turki melakukan sesuatu yang menurut saya, dengan kearifan saya yang besar dan tak tertandingi, dianggap terlarang, saya akan benar-benar menghancurkan dan melenyapkan Ekonomi Turki (yang pernah saya lakukan sebelumnya!)," tambahnya.

AS mulai menarik pasukannya dari perbatasan timur laut Suriah pada hari Senin. Mengutip laporan Reuters, ditariknya pasukan AS dari wilayah itu akan membuat pasukan pimpinan Kurdi di Suriah, yang telah lama bersekutu dengan Washington, rentan terhadap serangan yang direncanakan oleh militer Turki yang mencap mereka sebagai teroris.

Akibat itu, para pemimpin dari kedua partai dan kedua majelis Kongres, termasuk Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell, sesama anggota Partai Republik Trump, melayangkan kritikan terhadap Trump.

"Penarikan pasukan AS yang cepat dari Suriah hanya akan menguntungkan Rusia, Iran, dan rezim Assad. Dan itu akan meningkatkan risiko ISIS dan kelompok teroris lainnya berkumpul kembali." kata McConnell.

Banyak yang menyebut komentar pedas yang dilayangkan Trump sebagai upaya untuk menyangkal kritik pedas yang ditujukan padanya. Saat di Gedung Putih, Trump mengatakan telah memberi tahu Erdogan mengenai ancaman tersebut.

Di Ankara, Erdogan mengatakan kepada wartawan bahwa ia berencana mengunjungi Washington (AS) untuk bertemu dengan Trump pada paruh pertama November. Dia mengatakan kedua pemimpin akan membahas rencana untuk membentuk "zona aman" di Suriah, serta membahas mengenai jet tempur F-35 selama kunjungannya.

Akibat berita buruk ini, pada Senin, mata uang Turki lira anjlok lebih dari 2% ke level terendah dalam lebih dari sebulan terhadap dolar. Isu ini juga menjadi perhatian investor mengingat hubungan kedua negara memang sudah tegang sejak lama.

Sebelumnya, Turki saat ini memang tengah dilanda krisis ekonomi. Resesi sudah menjangkiti negara tersebut akibat pelemahan ekonomi yang terjadi dua kuartal berturut-turut dalam satu tahun. (sef/sef)

Sumber : CNBC

Senin, 07 Oktober 2019

PT Rifan - Data Tenaga Kerja AS Kinclong, Bursa Saham Asia Menghijau

Data Tenaga Kerja AS Kinclong, Bursa Saham Asia Menghijau
Foto: Pria melihat papan kutipan saham di luar broker di Tokyo, Jepang, 5 Desember 2018. REUTERS / Issei Kato
PT Rifan - Seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Senin (7/10/2019), dari zona hijau: indeks Nikkei naik 0,17%, indeks Straits Times menguat 0,14%, dan indeks Kospi bertambah 0,54%.

Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan perayaan Chung Yeung Festival.

Rilis data tenaga kerja AS yang kinclong sukses memantik aksi beli di bursa saham Asia. Pada hari Jumat (4/10/2019), data penciptaan lapangan kerja (di luar sektor pertanian) periode September 2019 versi resmi pemerintah diumumkan sebanyak 136.000, di bawah ekspektasi yang sebanyak 145.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Namun, tingkat pengangguran untuk periode yang sama tercatat turun ke level 3,5%, dari yang sebelumnya 3,7% pada bulan Agustus. Tingkat pengangguran di level 3,5% tersebut merupakan yang terendah dalam 50 tahun terakhir.

Kuatnya pasar tenaga kerja di AS lantas memudarkan kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi. Sebelumnya, rilis data ekonomi di AS menunjukkan adanya tekanan yang signifikan yang menghinggapi negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.

Pada pekan lalu, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory. Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, juga di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi juga dipicu oleh memanasnya hubungan AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.

Masih dari pekan lalu, Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.

Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif. WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar.

Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.

Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA(ank/ank)

Jumat, 04 Oktober 2019

Rifan Financindo - Campur-Aduk Sentimen, Bursa Saham Asia Linglung

Campur-Aduk Sentimen, Bursa Saham Asia Linglung
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
Rifan Financindo - Bursa saham utama kawasan Asia mengawali perdagangan hari ini, Jumat (4/10/2019), dengan bervariasi: indeks Nikkei turun 0,12%, indeks Kospi melemah 0,17%, indeks Straits Times naik 0,04%, dan indeks Hang Seng menguat 0,23%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China.

Campur-aduk sentimen membuat bursa saham Benua Kuning kesulitan menentukan arah. Berbicara mengenai sentimen negatif, ada perang dagang AS-Uni Eropa. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.

Pada hari Rabu (2/10/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.

Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.

WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar. Melansir CNBC International, hingga kini belum jelas berapa nilai dari produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan bea masuk tambahan oleh AS, apakah itu US$ 7,5 miliar atau kurang dari itu.

Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.

Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.

Beralih ke sentimen positif, kini optimisme bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini membuncah.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 3 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini melonjak menjadi 88,2%, dari 77% sehari sebelumnya. Seminggu yang lalu, probabilitasnya masih berada di level 49,2%.

Optimisme bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini membuncah seiring dengan rilis data ekonomi AS yang mengecewakan. Kemarin (3/10/2019), Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh Institute for Supply Management (ISM) di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
Rifanfinancindo

Kamis, 03 Oktober 2019

Rifanfinancindo - 2 Hari Menguat, Akankah Penguatan Harga Emas Berlanjut?

Foto: Cooling Down! Harga Emas Pekan Ini Turun Pekan Ini
Rifanfinancindo - Harga emas dunia di pasar spot melesat naik memasuki perdagangan sesi Amerika Serikat (AS) Selasa tadi malam (2/10/19). Isu resesi yang kembali menerpa Negeri Paman Sam membuat emas mendapatkan kembali sinarnya.

Mengacu data Refinitiv, pada pukul 20:34 WIB tadi malam, harga emas diperdagangkan di level US$ 1.497,57/troy ons, menguat 1,28%, berdasarkan data Refinitiv. Sementara pada Selasa pekan ini, logam mulia menguat 0,45%, sehingga dalam 2 hari total emas menguat lebih dari 1,7%. 

Penguatan harga tadi malam  berpeluang lebih besar lagi mengingat perdagangan baru akan berakhir Kamis dini hari, apalagi data tenaga kerja AS yang dirilis tadi malam mengecewakan.

Automatic Data Processing Inc (ADP) melaporkan sepanjang bulan September ekonomi AS menyerap 135.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Data tersebut lebih rendah dari bulan Agustus sebanyak 157.000 tenaga kerja.

Data tersebut menunjukkan pasar tenaga kerja AS mengalami perlambatan. Kecemasan akan resesi di AS pun menjadi semakin meningkat setelah Selasa kemarin sektor manufaktur AS mengalami kontraksi yang semakin dalam.

Institute fo Supply Management melaporkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.

Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.

Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir.  Buruknya data ekonomi AS juga merubah peta probabilitas pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Mantap! Emas Besinar Lagi, Dalam 2 Hari Melesat Naik 1,7%
Grafik: Probabilitas Suku Bunga AS 30 Oktober
Sumber: CME Group
Penurunan suku bunga oleh The Fed bisa berdampak pada melemahnya dolar AS, dan emas akan diuntungkan. Emas adalah komoditas yang dihargai dalam dolar AS. Apabila dolar AS melemah, maka harga emas menjadi lebih murah bagi investor yang memegang mata uang lain. Permintaan naik, dan harga ikut terkerek. (tas/tas)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
Rifanfinancindo