Jumat, 25 Oktober 2019

PT Rifan Finacindo - AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar

AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo - Bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona merah pada perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019). Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,36%, indeks Hang Seng terkoreksi 0,37%, dan indeks Kospi berkurang 0,08%.

Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning.

Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa batal diteken. 

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.

Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.

Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.

Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian dunia.

Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang begitu mengecewakan di Jepang ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin (24/10/2019), pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Negeri Sakura periode Oktober 2019 diumumkan di level 48,5, di bawah konsensus yang sebesar 48,8, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Oktober menandai kontraksi keenam secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar