Selasa, 15 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Benarkah Ekonomi Dunia Menuju Resesi Pertama Sejak 2009?

PT Rifan Financindo - Pertanyaan mengenai apakah ekonomi dunia akan terjerat ke dalam resesi semakin ramai diperbincangkan. Apa lagi saat perlambatan semakin nyata terlihat.

Pada akhir pekan lalu, kabar baik dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China cukup mampu menenangkan pasar. Setelah melakukan pembicaraan dagang di Washington, kedua ekonomi terbesar dunia itu menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kesepakatan dagang.

Selain itu, dari Eropa, Inggris juga diperkirakan akan mencapai kesepakatan sebelum keluar dari Uni Eropa. Brexit sebelumnya dijadwalkan terjadi 31 Oktober ini.

Namun begitu, perdebatan tentang seberapa dekat dunia dengan resesi pertamanya sejak 2009 masih tetap ada.

Hal ini diperkuat oleh hasil perhitungan Bloomberg Economics, yang menunjukkan ekonomi global telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.

Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga telah menyatakan bahwa ia memperkirakan ekonomi akan menghadapi semakin banyak risiko serius ke depannya. Lembaga ini pada Selasa, diperkirakan akan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari 3,2%, yang merupakan level terlemah sejak 2009.


Investor obligasi jelas mengkhawatirkan keadaan ini karena imbal hasil obligasi telah negatif. Namun, investor saham justru sebaliknya, karena MSCI World Index telah mencatatkan kenaikan 14% tahun ini. 

Perang Dagang dan Geopolitik
Menurut Tom Orlik, kepala ekonom di Bloomberg Economics, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan dapat memicu resesi pada 2020, di antaranya adalah:

Perang Dagang

Perang dagang yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini antara AS dengan China telah membuat pertumbuhan global berada di bawah tekanan. Pada Jumat lalu China telah setuju untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan Gedung Putih setuju menunda pengenaan tarif impor lagi.

Namun, itu berarti perang dagang masih berlangsung dan bea masuk masih ada. Presiden AS Donald Trump juga masih bisa mengenakan tarif impor pada negara yang ia tuduh telah melakukan praktik dagang yang tidak adil, termasuk melakukan pencurian kekayaan intelektual itu.

Perlambatan di sektor manufaktur

Tidak diragukan lagi produsen telah menjadi korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang terus mengalami tekanan, menyebabkan negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jerman dan Jepang, menderita. Berbagai bisnis juga banyak melakukan efisiensi dan investasi di sektor non-perumahan AS menyusut pada kuartal kedua, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Saat ini, sektor jasa juga dikhawatirkan akan terdampak.

Geopolitik

Selain perang dagang AS-China, isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga masih menjadi kekhawatiran. Selain itu, AS juga memiliki perselisihan dengan Iran setelah terjadi serangan drone ke ladang minyak Arab Saudi, dan serangan ke kapal tanker minyak Iran pada Jumat. Hal ini berisiko meningkatkan harga minyak.

Lebih lanjut, konflik di Suriah dan demo Hong Kong juga turut memberatkan. Argentina sedang menghadapi krisis fiskal lagi dan tampaknya akan terjadi pergantian pemerintah. Selain itu, Ekuador, Peru dan Venezuela juga memiliki masalah politik. Penyelidikan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump juga perlu diperhitungkan. 

Laba Terhenti ke Negara yang Goyah
Pertumbuhan laba terhenti

Pertumbuhan laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia. Di balik tekanan pendapatan, terjadi kenaikan upah pekerja, pertumbuhan produktivitas loyo, dan kurangnya daya harga secara umum. Bahayanya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat lebih sedikit laba, bisa mengurangi pekerja mereka, mengganggu kepercayaan konsumen dan melakukan penghematan.

Bank Sentral terjepit

Kebijakan moneter mungkin lebih longgar saar ini daripada di awal tahun. Tetapi, bank sentral masih dianggap kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus mungkin terlalu lambat dalam bertindak. Bank sentral AS Federal Reserve telah memangkas suku bunga acuannya sekitar 500 basis poin, pelonggaran pertama sejak awal 1990-an. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan juga sudah menetapkan suku bunga negatif dan sedang mempertimbangkan langkah ke depannya.

Pemerintah yang goyah

Berbagai lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran. Tetapi, tanda-tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan reaktif bukan proaktif. Meskipun Morgan Stanley memperkirakan defisit fiskal primer telah meningkat menjadi 3,5% dari produk domestik bruto (PDB) di negara-negara besar, dari 2,4% tahun lalu, namun lembaga itu melihat peningkatannya hanya menjadi 3,6% tahun depan. Beberapa pemerintah telah membelanjakan lebih banyak, tetapi China dan Jerman, yang sama-sama memiliki ruang untuk menyuntikkan lebih banyak stimulus fiskal, justru menahan diri. Sementara Jepang baru saja menaikkan pajak penjualannya.

Alasan Untuk Tidak Perlu Khawatir
Meski begitu banyak kekhawatiran menghantui, namun masih ada banyak alasan untuk tidak khawatir. Di antaranya adalah:

Amerika Serikat

Sebuah model yang dibuat oleh Bloomberg Economics memperhitungkan risiko resesi AS tahun depan hanya 25%, dan jika ekonomi terbesar dunia itu bisa tetap tumbuh, maka akan bisa menjadi penawar bagi ekonomi negara lain. Beberapa pakar juga memproyeksikan risiko resesi akan lebih rendah daripada sebelumnya untuk AS. Itu berarti ekonomi dapat melampaui 1,5%. Selain itu, ekonomi AS diperkirakan akan tetap kuat meski perdagangan global terpukul.

Konsumsi tetap tinggi

Konsumen Amerika tetap menjadi pilar pertumbuhan. Selain itu, tingkat pengangguran juga masih di level terendah dalam lima dekade. Meski pasar tenaga kerja sedikit kurang, namun belanja rumah tangga masih tinggi. Conference Board minggu ini melaporkan bahwa indeks kepercayaan konsumen globalnya tetap mendekati rekor tertinggi.

Kebijakan Bank Sentral

The Fed telah memangkas suku bunga dua kali tahun ini dan dapat melakukannya lagi bulan ini, sementara ECB telah mendorong suku bunga simpanan lebih jauh di bawah nol dan meluncurkan kembali program pembelian obligasi. Bank of Japan juga mempertimbangkan untuk melakukan lebih banyak stimulus. Bank sentral lain di India, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga berencana melakukan lebih banyak pelonggaran.

China

China mungkin tidak begitu meningkatkan stimulusnya karena khawatir akan meningkatkan tingkat utang. Tetapi, keputusan itu masih bisa berubah jika diperlukan. Negara ini sudah memangkas jumlah kas bank yang harus disimpan dalam cadangan ke level terendah sejak 2007. Pengeluaran infrastruktur oleh pemerintah daerah juga diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dan investasi negara juga demikian.

Ekses terkendali

Perlambatan sebelumnya terjadi karena koreksi ekses seperti kenaikan inflasi pada 1980-an, pecahnya gelembung teknologi di AS pada awal abad ini atau runtuhnya sektor perumahan dalam satu dekade kemudian. Kali ini, inflasi umumnya lemah dan meski harga saham naik, kenaikannya bisa dibilang tidak berada di wilayah yang mengkhawatirkan. Meskipun harga rumah di Kanada dan Selandia Baru tinggi, namun rumah tangga di banyak negara telah mengurangi leverage. (sef/sef)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar