|
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki |
PT Rifan - Nilai tukar rupiah menguat 0,28% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 13.980/US$ pada perdagangan Kamis kemarin.
Dolar AS yang sedang lesu dan Bank Indonesia yang mempertahankan suku
bunga acuan menjadi pemicu penguatan Mata Uang Garuda dan berpeluang
berlanjut pada hari ini, Jumat (22/1/2021).
Indeks dolar AS pada perdagangan Kamis kemarin merosot 0,42% ke
90,093, setelah pelantikan Joseph 'Joe' Biden sebagai Presiden AS ke-46.
Itu artinya indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut melemah
dalam 3 hari beruntun.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh
Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave
atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR)
yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada
rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.
Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam
mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$
1,9 triliun.
Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang bereda di perekonomian AS akan bertambah, dan dolar AS berisiko remuk redam.
Sementara itu, BI pada kemarin mempertahankan suku bunga acuan 3,75%,
sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Dengan dipertahankannya suku bunga, penguatan rupiah menjadi terakselerasi. Sebab jika suku bunga kembali diturunkan, maka yield obligasi di Indonesia juga akan menurun, hal ini dapat membuat capital inflow menjadi seret, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi outflow yang bisa menekan rupiah.
Sebab selisih yield dengan negara-negara maju, misalnya
dengan AS akan menyempit, hal itu membuat Indonesia sebagai negara
berkembang menjadi kurang menarik.
Negara berkembang memiliki risiko investasi yang lebih tinggi
ketimbang negara maju, sehingga untuk menarik aliran investasi
diperlukan yield yang lebih tinggi.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR membentuk pola Black
Maubozu pada hari Rabu lalu, dan berdampak pada penguatan Kamis
kemarin.
Rupiah kemarin membuka perdagangan di level Rp 14.050/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.020/US$, atau menguat 0,21%.
Level terlemah rupiah sama dengan level pembukaan, sementara level
terkuat sama dengan level penutupan, sehingga secara teknikal masih
mengukir pola Black Marubozu.
Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan
menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah
melawan rupiah.
Rupiah juga bergerak di bawah rerata pergerakan (moving average/MA)
50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga ruang penguatan terbuka cukup
besar.
Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias
perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200).
Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan
200.
Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv
|
Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.
Sementara itu, indikator stochastic bergerak mendatar dan cukup jauh dari wilayah jenuh jual (oversold) atau pun jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Support terdekat berada di kisaran Rp 13.970/US$, jika berhasil
ditembus rupiah berpeluang menguat ke level Rp 13.940 hingga Rp
13.900/US$.
Peluang penguatan lebih jauh akan terbuka cukup lebar jika rupiah mampu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 13.900/US$.
Sementara jika kembali ke atas Rp 14.000 rupiah berisiko melemah ke Rp 14.030/US$, sebelum menuju Rp 14.100/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :
Info Lowongan Kerja
Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan