Jumat, 14 Februari 2020

Walau Wall Street Terpeleset, Bursa Saham Asia Tetap Hijau

Walau Wall Street Terpeleset, Bursa Saham Asia Tetap Hijau
Foto : CNBC Indonesia
PT Rifan Financindo - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona hijau pada perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (14/2/2020).

Hingga berita ini diturunkan, indeks Shanghai naik 0,16%, indeks Hang Seng menguat 0,41%, indeks Straits Times terapresiasi 0,05%, dan indeks Kospi terangkat 0,37%.

Bursa saham Benua Kuning berhasil menguat walaupun Wall Street terpeleset pada perdagagan kemarin, Kamis (13/2/2020). Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones turun 0,43%, indeks S&P melemah 0,16%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 0,14%.

Bursa saham AS terpeleset pasca sudah ditutup di level tertinggi sepanjang sejarah pada penutupan perdagangan hari Rabu (12/2/2020).

Kinerja Wall Street dalam beberapa waktu terakhir memang bisa dibilang menggembirakan, sebelum akhirnya terpeleset pada perdagangan kemarin. Indeks S&P 500 misalnya, tercatat menguat selama tiga hari beruntun yakni pada periode 10-12 Februari.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS di sepanjang pekan ini. Menjelang akhir pekan kemarin, penciptaan lapangan kerja periode Januari 2020 (di luar sektor pertanian) versi resmi pemerintah AS diumumkan sebanyak 225.000, jauh di atas ekspektasi yang sebanyak 163.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data ekonomi yang menggembirakan tersebut memberikan harapan bahwa laju perekonomian AS akan membaik di tahun 2020.

Belum lama ini, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Bursa saham Benua Kuning juga berhasil menguat di tengah-tengah terus meluasnya infeksi virus Corona.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir Bloomberg, hingga kemarin sebanyak 1.483 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona.

Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.

"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.

Seiring dengan perkembangan dari kinerja bursa saham AS dan infeksi virus Corona yang bisa dibilang tak menggembirakan, ada kemungkinan bursa saham utama kawasan Asia justru akan ditutup di zona merah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)

Kamis, 13 Februari 2020

Korban Corona Tembus 1.300 Jiwa, Indeks Shanghai Naik Tipis

Korban Corona Tembus 1.300 Jiwa, Indeks Shanghai Naik Tipis
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
Rifan Financindo - Bursa saham China dan Hong Kong kompak mengawali perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (13/2/2020), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, indeks Shanghai naik 0,01% ke level 2.927,14, sementara indeks Hang Seng menguat 0,47% ke level 27.953,65.

Bursa saham China dan Hong Kong sukses mengekor jejak Wall Street yang ditutup menguat pada perdagangan kemarin, Rabu (12/2/2020). Pada perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 0,94%, indeks S&P 500 menguat 0,65%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,9%.

Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.

Di sisi lain, terus meluasnya infeksi virus Corona menjadi sentimen negatif yang membayangi perdagangan di bursa saham China dan Hong Kong.

Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir CNBC International, hingga kemarin sebanyak 1.310 orang di provinsi Hubei telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 48.000.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ank/ank)

Rabu, 12 Februari 2020

Corona Memang dari China, Tapi Bisa Hantam Ekonomi Dunia!

Foto: Hong Kong Terkena Corona. (AP Photo/Kin Cheung)
PT Rifan - Virus Corona semakin mengkhawatirkan. Jika penyebaran berlangsung semakin lama, maka perekonomian China dan dunia bakal merasakan dampaknya.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (12/2/2020) pukul 08:53 WIB, jumlah kasus virus Corona di seluruh dunia mencapai 45.119 di mana 44.643 melanda Negeri Tirai Bambu. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 1.115 orang, dua di antaranya berada di luar China.

Virus Corona bermula dari Kota Wuhan di Provinisi Hubei (China). Penyebarannya menjadi meluas karena bertepatan dengan momen perayaan Tahun Baru Imlek yang menjadi puncak mobilitas masyarakat China. Virus menyebar ke penjuru China dan berbagai negara di Asia, Eropa, hingga Amerika.

Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menegaskan bahwa virus Corona adalah ancaman yang bisa jadi melebih terorisme. "Dunia harus sadar dan melihat (Corona) sebagai musuh publik nomor satu," katanya, seperti diberitakan Reuters.

Gara-gara Corona, aktivitas ekonomi di China belum pulih betul meski masa libur Imlek sudah berakhir. Masih ada perusahaan yang meliburkan karyawannya atau memperbolehkan bekerja dari rumah.

Serba salah juga, karena kalau semakin banyak orang yang beraktivitas di luar rumah maka penyebaran virus bakal kian meluas. "Banyaknya orang yang kembali bekerja menambah kesulitan untuk meredam penyebaran virus," ujar Zhang Gewho, seorang pejabat pemerintah pusat China, seperti diberitakan Reuters. 

Tak Cuma China, Seluruh Dunia Bakal Kena Getahnya
Oleh karena itu, virus Corona hampir pasti membuat ekonomi China melambat. Sebab aktivitas ekonomi, baik oleh rumah tangga maupun dunia usaha, menjadi terbatas.

Sejumlah institusi pun merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020. Citi menurunkan dari 5,8% menjadi 5,5%, Economist Intelligence Unit memangkas dari 5,9% menjadi 4,9-5,4%, Macquarie memotong dari 5,9% ke 5,6%, Mizuho menurunkan dari 5,9% menjadi 5,6%, Natixis memangkas dari 5,7% menjadi 5,5%, dan UBS merevisi dari 6% menjadi 5,5%.

"Kami meyakini bahwa upaya China untuk meredam penyebaran virus, termasuk dengan melakukan karantina, akan cukup efektif. Namun tetap saja akan ada tekanan di perekonomian dalam jangka pendek karena gangguan permintaan dan pasokan," kata Mark Haefele, Global Chief Investment Officer UBS, seperti dikutip dari CNBC International.
"Virus Corona jelas akan berdampak signifikan terhadap perekonomian China pada Januari dan Februari. Pasar terlalu meremehkan ini," sebut riset Nomura, seperti diberitakan Reuters. 

Peran China dalam percaturan ekonomi global semakin besar. Bahkan China diharapkan menjadi lokomotif perekonomian global karena kondisi di negara-negara maju yang belum bisa diharapkan.



Oleh karena itu, perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap dunia. Kala China melambat, kemungkinan besar negara-negara lain akan merasakan hal serupa.

Berdasarkan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat China menyumbang 19,24% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Hampir seperlima. Kala seperlima dari perekonomian dunia bermasalah, tentu dampaknya akan sangat terasa.

 
 
Jadi kalau outbreak virus corona semakin luas dan mengkhawatirkan, bukan cuma ekonomi China yang terpukul. Seluruh dunia akan merasakan akibatnya, cepat atau lambat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Sumber : CNBC
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 11 Februari 2020

Dolar Perkasa & Corona Makin Ganas, Emas Malah Tak Berdaya

Dolar Perkasa & Corona Makin Ganas, Emas Malah Tak Berdaya
Foto: Emas Batangan di toko Degussa di Singapur, 16 Juni 2017 (REUTERS/Edgar Su)
PT Rifan Financindo Berjangka - Harga emas di pasar spot melemah pada perdagangan kedua pekan ini. Walau virus corona masih belum dapat dijinakkan harga emas tak bisa banyak bergerak karena dolar AS yang juga perkasa.

Data Refinitiv menunjukkan harga emas global di pasar spot mengalami koreksi sebesar 0,25% ke level US$ 1.597.98/troy ons pada Selasa (11/2/2020). Harga si logam mulia turun setelah kemarin ditutup menguat di posisi US$ 1.57,9/troy ons.

Harga emas memang berada di rentang level tertingginya sejak awal tahun setelah mengalami apresiasi dobel digit sepanjang tahun 2019. Pada 2019, harga emas di pasar spot naik 18%. Penyebabnya adalah perang dagang yang berkecamuk antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Namun, harga emas kembali melesat pada awal tahun karena ketidakpastian masih ada. Terutama soal hubungan AS-China. Walau sudah teken kesepakatan dagang fase satu, tarif yang menghambat perdagangan keduanya masih ada.

Harga emas makin melejit kala virus penyebab pneumonia misterius ditemukan di Wuhan China. Patogen tersebut berasal dari golongan virus corona, masih satu kelompok dengan penyebab SARS 2002-2003.

Sebulan lebih berlalu, virus corona terus memakan korban. Menurut data John Hopkins CSSE, sudah ada 43.099 kasus terkonfirmasi positif terjangkit corona.

Walau kasus paling banyak ditemukan di China, tetapi orang yang terinfeksi virus mematikan ini telah dilaporkan di 27 negara dan kasus juga dijumpai di kapal pesiar Diamond Princess yang kini menepi di pelabuhan Yokohama Jepang untuk dikarantina.

Sampai saat ini sudah ada 1.016 orang yang meninggal dunia akibat infeksi patogen berbahaya tersebut. Sebanyak 1.014 orang berasal dari China, sementara dua kasus kematian lainnya berasal dari Hong Kong dan Filipina. Masing-masing satu kasus.

Merebaknya virus corona ini membuat berbagai aktivitas di China terganggu. Libur yang sudah panjang diperpanjang dan memukul aktivitas perekonomian China.

Reuters melaporkan banyak perusahaan China yang memulai mencari pinjaman bank untuk meringankan dampak akibat wabah virus corona ini. Ada lebih dari 300 perusahaan China yang meminjam total US$ 8,2 miliar ke bank-bank di China.

Tak bisa dipungkiri, epidemi virus corona mulai menampakkan tanda-tanda memukul perekonomian China. Saat ini Negeri Panda yang menyandang status perekonomian terbesar kedua di dunia sedang "sakit".


Bisa dibayangkan ketika perekonomian terbesar kedua di dunia mengalami guncangan maka dampaknya juga akan terasa pada perekonomian global, mengingat perekonomian global saat ini serba terhubung satu sama lain.

Kala perekonomian sedang tidak sehat, pelaku pasar mulai melirik aset-aset minim risiko alias safe haven salah satunya adalah emas. Inilah yang mengangkat harga emas saat pertama kali virus corona merebak.

Namun harga emas tak dapat terangkat banyak mengingat aset minim risiko lain yaitu mata uang dolar greenback juga dilirik oleh pelaku pasar. Alhasil dolar menjadi menguat. Keperkasaan dolar tercermin dari indeks dolar yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang lain.

Indeks dolar saat ini berada di posisi 98.853, tertinggi sejak 10 Oktober 2019. Penguatan dolar juga dipicu oleh rilis data ekonomi AS yang boleh dibilang bagus akhir-akhir ini. Aktivitas manufaktur yang mulai ekspansif hingga data tenaga kerja yang kuat.
Hal ini menyebabkan emas tak bisa naik banyak. Emas yang dibanderol dalam dolar AS menjadi lebih mahal kala dolar AS menguat. Inilah yang terjadi saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/hps)

Senin, 10 Februari 2020

Sudah Anjlok 17%, Harga Minyak Mentah Masih Tertekan

Sudah Anjlok 17%, Harga Minyak Mentah Masih Tertekan
Foto: Reuters
PT Rifan Financindo - Mengawali perdagangan pada pekan ini, harga minyak mentah masih dalam tekanan. Kabar dari Rusia sebagai salah satu anggota aliansi OPEC+ membuat harga minyak mentah belum mampu keluar dari zona tekanan.

Harga minyak mentah kontrak masih dibayangi oleh keberadaan virus corona yang makin meluas. Berdasarkan data John Hopkins CSSE, jumlah orang yang positif terinfeksi virus mencapai 40.444 pada Senin pagi (10/2/2020).

Jumlah orang yang terinfeksi virus ini sudah ditemukan di lebih dari 27 negara, dan jumlahnya pun bertambah. Sementara jumlah korban meninggal mencapai 910 orang. Kasus kematian yang dilaporkan di luar China berjumlah dua, satu di Hong Kong dan satu di Filipina.

Hal ini membuat belasan kota di China diisolasi dan berbagai maskapai membatalkan penerbangan menuju China. Jika hal ini terus terjadi, maka dampaknya dapat menurunkan permintaan terhadap bahan bakar pesawat. Hal ini bukanlah kabar baik untuk harga minyak mentah.

Sudah anjlok lebih dari 17%, harga minyak masih berada dalam tekanan. Data Refinitiv menunjukkan harga minyak mentah berada di level US$ 54,63/barel untuk Brent (+0,29%) dan US$ 50,4/barel untuk WTI (0,16%).

Sebelum naik, harga minyak mentah kontrak sempat terkoreksi pada perdagangan pagi ini. Harga minyak mentah kontrak Brent sempat menyentuh level US$ 54,09/barel sementara minyak WTI juga sempat turun ke level US$ 49,56/barel.

Mengingat harga minyak terus-terusan terkoreksi, Join Technical Committee (JTC) yang memberi saran kepada OPEC+ minggu lalu melakukan pertemuan untuk membahas langkah merespons anjloknya harga minyak ini.

JTC merekomendasikan kepada OPEC dan aliansinya yang tergabung dalam OPEC+ untuk memangkas produksi minyak lebih dalam sebanyak 600.000 barel per hari. Namun Rusia masih mempertimbangkan saran ini.

Reuters melaporkan, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan Moskow membutuhkan lebih banyak waktu untuk menilai situasi saat ini, mengingat pertumbuhan produksi minyak AS melambat dan permintaan minyak masih solid.

"Proposal untuk kembali memangkas produksi minyak tersebut gagal meringankan tekanan pada minyak, mengingat belum dibahas secara resmi oleh para menteri OPEC dan karena Rusia yang kurang sepakat dengan gagasan tersebut" kata Stephen Innes, Chief Market Strategist AxiCorp, melansir Reuters.

"Jika kartel (OPEC+) gagal mencapai kesepakatan, maka akan ada tekanan yang lebih kuat pada minyak" tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/tas)
Sumber : CNBC
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan