Rabu, 20 Januari 2021

Gokil, Orang-orang Makin Enteng 'Buang' Dolar AS!

valas
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

 

PT Rifan Financindo - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Mata uang Tanah Air pun terapresiasi di perdagangan pasar spot.

Pada Rabu (20/1/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.065. Rupiah menguat 0,15% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Mata uang Ibu Pertiwi pun perkasa di 'arena' pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.030 di mana rupiah menguat 0,14%.

Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan saja di Rp 14.050/US$. Tidak sampai lima menit, rupiah sudah masuk jalur hijau.

Seperti rupiah, seluruh mata uang utama Asia juga berjaya di hadapan dolar AS. Apresiasi 0,14% membuat rupiah menduduki peringkat kedua, hanya kalah dari won Korea Selatan dan dolar Singapura.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:03 WIB:

 
Dolar AS Sedang Prihatin
 

Dolar AS masih menjalani periode prihatin. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga teraniaya di level dunia.

Pada pukul 09:15 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,12%. Dalam setahun terakhir, indeks ini anjlok lebih dari 7%.

Hari ini, tekanan terhadap dolar AS datang dari pernyataan Janet Yellen, calon kuat Menteri Keuangan di pemerintahan Presiden Terpilih Joseph 'Joe' Biden. Dalam paparan secara virtual di hadapan Kongres, eks Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) itu mengungkapkan Negeri Adidaya masih membutuhkan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Sebelumnya, Biden berjanji bakal menggelontorkan paket stimulus bernilai US$ 1,9 triliun (Rp 26.763,4 triliun). Menurut Yellen, Biden dan dirinya menyadari bahwa paket stimulus itu akan membuat beban utang pemerintah semakin berat, mengingat penerimaan pajak belum bisa diandalkan sehingga stimulus harus mengandalkan pembiayaan dari utang.

"Baik saya maupun Bapak Presiden terpilih selalu memperhatikan beban utang negara saat mengusulkan proposal stimulus tersebut. Namun untuk saat ini, dengan suku bunga menyentuh titik terendah sepanjang sejarah, hal yang paling cerdas adalah melakukan terobosan besar. Walau jumlah nominal utang secara relatif terhadap perekonomian terus meningkat, tetapi tidak demikian dengan suku bunga," jelas Yellen, sebagaimana diwartakan Reuters.

Fiskal dan Moneter Ekspansif, Pasokan Dolar Melimpah

Gelontoran stimulus fiskal bernilai raksasa akan membuat pasokan dolar AS membludak. Seperti barang, pasokan yang melimpah akan membuat harga turun. Demikian pula dengan mata uang, semakin banyak yang beredar di perekonomian maka nilainya akan kian 'murah'.

Apalagi saat ini Kongres pun sudah dikuasai oleh Partai Demokrat pendukung Biden. Sepertinya stimulus fiskal tidak akan memperoleh hambatan yang berarti kala harus mendapat restu dari Capitol Hill.

"Ada ekspektasi bahwa stimulus fiskal akan bergulir dengan lancar. Dukungan dari Kongres sangat besar, sehingga stimulus fiskal dengan nilai besar sekalipun bisa disahkan tanpa hambatan signifikan," kata Simon Harvey, Senior FX Analyst di Monex Europe yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.

Ditambah lagi otoritas moneter pun kemungkinan besar masih menerapkan kebijakan ultra-longgar. Suku bunga acuan sepertinya masih akan mendekati 0% dalam hitungan tahun. Berdasarkan dotplot terbaru The Fed, kenaikan Federal Funds Rate baru terjadi pada 2023.

fed 
Sumber: FOMC

Likuiditas dolar AS yang berlimpah-ruah akibat kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif membuat mata uang ini tidak lagi disayang-sayang. Investor sepertinya enteng saja 'membuang' dolar AS, karena toh pasokannya banyak.

Berdasarkan perhitungan Reuters dan US Commodity Futures Trading Commission, posisi jual (short) terhadap dolar AS pada pekan yang berakhir 12 Januari 2020 mencapai US$ 34,04 miliar. Naik 11,35% dibandingkan pekan sebelumnya sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Mei 2011.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan
 

Selasa, 19 Januari 2021

Dolar AS Mulai Injak Rem, Saatnya Rupiah Tembus Rp 14.000/US$

Businessmen change money at a currency exchange office in response to the call of Turkish President Tayyip Erdogan on Turks to sell their dollar and euro savings to support the lira, in Ankara, Turkey August 14, 2018. REUTERS/Umit Bektas
Foto: REUTERS/Umit Bektas

 

Rifan FinancindoNilai tukar rupiah melemah 0,36% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.060/US$ pada perdagangan Senin kemarin (18/1). Sentimen positif datang dari China yang melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 tumbuh 6,5% year-on-year (YoY), lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 6,1% YoY, dan melesat dari kuartal sebelumnya 4,9% YoY.

Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva V-Shape.

Penyebabnya dolar AS sedang kuat-kuatnya. Pada Jumat pekan lalu, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS kemarin menyentuh level tertinggi sejak 21 Desember lalu.

Kenaikan yield obligasi (Treasury) menjadi pemicu penguatan dolar AS. Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, dua pekan lalu melesat 19,5 bps, sementara pekan lalu sempat naik 8 bps ke 1,187%, yang merupakan level tertinggi sejak Maret tahun lalu, atau persis saat penyakit akibat virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Artinya, yield Treasury AS kini nyaris mencapai level sebelum pandemi.

Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan yield SBN semakin menipis, sehingga menekan pasar obligasi. Selain itu ada risiko terjadinya capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang memberikan tekanan bagi rupiah.

Meski demikian, pada perdagangan Selasa (19/1/2021) rupiah berpeluang menguat sebab dolar AS akhirnya "ngerem". Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS kemarin sempat menguat, tetapi pada akhirnya stagnan di kisaran 90,768. Yield Treasury AS juga mengalami penurunan, tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan berada di kisaran 1,097%, turun 3,2 bps.

Secara teknikal, rupiah meski kemarin melemah tetapi masih di bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga ruang penguatan terbuka cukup besar.

Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

idr 
Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Artinya jika hari ini rupiah kembali ke bawah MA 50, pola death cross akan berlanjut yang bisa membawa Mata Uang Garuda kembali perkasa.

Sementara itu, indikator stochastic bergerak mendatar dan cukup jauh dari wilayah jenuh jual (oversold) atau pun jenuh beli (overbought)

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Support terdekat berada di level psikologis Rp 14.000/US$, yang kemarin menahan penguatan rupiah. Potensi penguatan hari ini masih di level tersebut, dan jika berhasil ditembus rupiah berpeluang menguat ke level Rp 13.940 hingga Rp 13.900/US$ di pekan ini.

Peluang penguatan lebih jauh akan terbuka cukup lebar jika rupiah mampu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 13.900/US$.

Sementara jika kembali ke atas Rp 14.100 rupiah berisiko melemah ke Rp 14.135/US$ hingga Rp 14.170/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 18 Januari 2021

PDB China Tumbuh 2,3% di 2020, Paling Lambat dalam 4 Dekade

Ilustrasi bendera China. AP/
Foto: Ilustrasi bendera China. AP/

 

PT Rifan - Ekonomi China tumbuh di laju terlambat dalam 4 tahun meskipun rebound setelah wabah corona (Covid-19) menyerang Negeri Panda. Mengutip Biro Statistik China, ekonomi tercatat 2,3% di 2020 (yoy) alias terendah semenjak ekonomi Tiongkok memulai reformasi di 1970-han.

"Lingkungan yang suram dan kompleks baik di dalam maupun luar negeri dengan pandemi yang memiliki dampak besar," ujar badan tersebut sebagaimana ditulis AFP, Senin (18/1/2020).

Sebelumnya di 2019, China mencatat pertumbuhan sebesar 6,1%. Itu juga angka terendah dalam beberapa dekade, akibat melemahnya permintaan domestik dan ketegangan perdagangan dengan AS.

Meski begitu, angka ini lebih baik dari analis 13 lembaga keuangan. Menurut AFP, sebelumnya para ekonomi meramal ekonomi hanya akan mencapai 2%.

Sementara itu, jika dilihat dari kuartalan (qtq), ekonomi China di kuartal IV 2020 mencatat pertumbuhan 6,5%. Ekonomi makin positif, setelah sebelumnya mencatat pertumbuhan 4,9% di kuartal III 2020.

"China sepertinya menjadi satu-satunya negara yang bisa menghindari kontraksi di saat banyak negara berjuang mengatasi pandemi," tulis Trading Economics.(sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Kamis, 14 Januari 2021

Awas Babak Baru Perang Dagang AS-China Gegara Tomat & Kapas

FILE PHOTO: Chinese and U.S. flags are set up for a meeting during a visit by U.S. Secretary of Transportation Elaine Chao at China's Ministry of Transport in Beijing, China April 27, 2018. REUTERS/Jason Lee/File Photo
Foto: REUTERS/Jason Lee/File Photo

 

PT Rifan Financindo Berjangka - Hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sepertinya bakal kembali memanas. Badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS menyita semua impor tomat dan produk kapas dari wilayah Xinjiang, China, karena tudingan kerja paksa.

"CBP mengeluarkan perintah pelepasan pajak atas impor tersebut berdasarkan informasi yang secara wajar menunjukkan penggunaan tahanan atau tenaga kerja penjara dan situasi kerja paksa," katanya otoritas tersebut dalam sebuah pernyataan Rabu (13/1/2021), dikutip dari AFP.

Ini merupakan langkah terbaru AS dari serangkaian perintah penangguhan pembebasan yang dikeluarkan pada produk-produk yang berasal dari wilayah barat jauh China.

Menurut kelompok hak asasi manusia, Pemerintah China telah memaksa lebih dari satu juta etnis Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang ke sebuah kamp konsentrasi yang mereka sebut "penjara". Kamp dipakai juga untuk menanamkan paksa nilai-nilai Parati Komunis ke warga termasuk membuat mereka bekerja paksa untuk beberapa pabrik di wilayah tersebut.

"(AS) tidak akan mentolerir kerja paksa dalam bentuk apa pun dalam rantai pasokan AS," kata  Wakil Sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, Ken Cuccinelli, yang mengawasi CBP.

"Kami akan terus melindungi rakyat Amerika dan menyelidiki tuduhan kerja paksa yang kredibel, kami akan mencegah barang-barang yang dibuat oleh kerja paksa memasuki negara kami, dan kami menuntut China untuk menutup kamp mereka dan menghentikan pelanggaran hak asasi manusia mereka."

Masalah perdagangan AS dan China kerap bercampur dengan politik. Sebelumnya AS juga menerapkan sanksi bagi perusahaan yang terkait UU Keamanan Hong Kong dan militer China di Laut China Selatan (LCS). 

Kedua negara juga terlibat perang tarif sejak 2018. Perdamaian tahap pertama sudah dilakukan sejak awal 2020, namun semenjak mewabahnya corona AS menyalahkan China dan perjanjian damai tahap dua masih menggantung. (sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 13 Januari 2021

Bitcoin "Mother of All Bubbles", Duit Investor Akan Jadi Nol?

Harga Bitcoin anjlok
Foto: Reuters

 

PT Rifan FinancindoBitcoin kembali menunjukkan karakternnya pada perdagangan Senin kemarin, nilainya anjlok lebih dari 20%, nyaris menghapus semua penguatan di tahun ini. Bitcoin memang terkenal sebagai aset dengan volatilitas tinggi, bahkan bisa dikatakan ekstrim. Ketika naik, harganya akan meroket, sebaliknya ketika turun akan ambrol tak kira-kira.

Melansir data Refinitiv, harga bitcoin kemarin sempat ambrol hingga 21,86% ke US$ 30.156,35/BTC, sebelum pulih dan mengakhiri perdagangan di level US$ 33.951,50/BTC, melemah 12,03%.

Sebelum ambrol Senin kemarin, bitcoin menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa US$ 41.998,75/BTC pada Jumat (8/1/2021). Ambrolnya bitcoin tentunya mengingatkan kembali pada tahun 2017, saat itu mata uang kripto ini mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 19.458,19/BTC, tetapi setahun berselang nilainya langsung ambrol hingga 80%.

Oleh sebab itu, bitcoin diberi cap sebagai aset spekulasi semata. Status tersebut saat ini perlahan-perlahan mulai "coba dihilangkan", apalagi setelah investor institusional mulai berinvestasi di bitcoin.

Banyak komentar-komentar positif bermunculnya mengenai bitcoin, mulai dari mata uang alternatif, emas digital, aset safe haven, hingga aset lindung nilai terhadap inflasi.

Masa depan bitcoin juga dipandang akan lebih bersinar ketimbang aset-aset lainnya, sebab menjadi pilihan investasi kaum millennial.

Hasil survei deVere Group, perusahaan financial advisory independen dan fintech, terhadap 700 lebih millennial di berbagai negara, sebanyak 67% menyatakan mereka memilih bitcoin sebagai aset safe haven ketimbang emas.

Millennial akan menjadi kunci penting bagi masa depan bitcoin, sebab berdasarkan hasil survei DeVere, akan ada transfer kekayaan antar generasi yang besar. Berdasarkan estimasi, transfer kekayaan tersebut mencapai US$ 60 triliun dari generasi baby boomers ke millennial.

Yang masih menjadi masalah adalah volatilitas ekstrim bitcoin, yang membuat cap sebagai aset spekulasi masih sulit dihilangkan. Bahkan, kenaikan tajam di tahun 2020 lalu, dan berlanjut di tahun ini membuat bitcoin diberi cap "mother of all bubbles" olah Bank of America.

"Reli bitcoin belakangan ini bisa jadi merupakan kasus spekulasi mania lainnya. Bitcoin terlihat seperti 'mother of all bubbles'," kata Michael Hartnett, kepala strategi investasi Bank of America, sebagaimana dilansir CNN Business, Jumat (8/1/2020).

idr 
Foto: CNBC International

Hartnett melihat bitcoin yang melesat sekitar 1.000% sejak awal 2019 jauh lebih besar dari kenaikan aset-aset yang pernah mengalami bubble dalam beberapa dekade terakhir. Harga emas yang melonjak 400% di akhir 1970an misalnya, kemudian bursa saham Jepang di akhir 1980an, hingga dot-com bubble di akhir 1990an.

Aset-aset tersebut melesat 3 digit persentase, sebelum akhirnya crash dan nyungsep senyungsep-nyungsepnya.

Meski demikan, Hartnett tidak memberikan prediksi harga bitcoin akan nyungsep, ia hanya menunjukkan jika bitcoin menjadi contoh meningkatnya aksi spekulasi.

Sementara itu, otoritas pengawas keuangan Inggris (Financial Conduct Authority/FCA) memperingatkan investasi di bitcoin atau mata uang kripto memiliki risiko hilangnya semua modal.

"FCA menyadari beberapa perusahaan menawarkan investasi dalam bentuk aset kripto, atau pinjaman atau investasi terkait kripto yang menjanjikan return tinggi. Jika konsimen berinvestasi dalam produk-produk tersebut, mereka harus siap kehilangan seluruh uang yang digunakan," kata FCA sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (11/1/2021).

"Atas seluruh instrumen berisiko yang tinggi dan investasi yang bersifat spekulatif, masyarakat harus memastikan mereka benar-benar tahu kemana uang mereka diinvetasikan, risiko yang melekat, dan perlindungan dari regulator," kata FCA.

Laith Khalaf, analis keuangan di AJ Bell, menyatakan apa yang dilakukan FCA merupakan bentuk kekhawatiran terhadap tingginya risiko mata uang kripto, yang diperparah dengan penipuan.

"Regulator (FCA) jelas sangat prihatin atas risiko tinggi yang melekat pada mata uang kripto, dan diperparah dengan aktivitas penipuan, serta perusahaan-perusahaan yang tanpa regulasi menawarkan return yang tinggi, tetapi tidak memberi tahu potensi kerugian dari berinvestasi di aset kripto," kata Khalaf dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/roy)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan