Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) |
PT Rifan - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Mata Uang Negeri
Paman Sam sedang 'sakit keras' akibat kebijakan baru bank sentral AS
(The Federal Reserve/The Fed).
Pada Senin (31/8/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.500 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,79% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan, penguatan rupiah menipis. Pada pukul 09:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.540 di mana rupiah menguat 0,51%.
Rupiah tengah berada dalam tren penguatan. Pekan lalu, rupiah menguat tajam 1,05% di hadapan greenback. Sepekan sebelumnya, meski rupiah hanya diperdagangkan dua hari di pasar spot, tetapi masih bisa menguat.
Rupiah mampu memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 07:55 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index terkoreksi 1,11% dan dalam sebulan ke belakang pelemahannya mencapai 1,16%. Lebih parah dari, indeks ini ambles 5,69% dalam tiga bulan terakhir.
Pada Senin (31/8/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.500 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,79% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan, penguatan rupiah menipis. Pada pukul 09:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.540 di mana rupiah menguat 0,51%.
Rupiah tengah berada dalam tren penguatan. Pekan lalu, rupiah menguat tajam 1,05% di hadapan greenback. Sepekan sebelumnya, meski rupiah hanya diperdagangkan dua hari di pasar spot, tetapi masih bisa menguat.
Rupiah mampu memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 07:55 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index terkoreksi 1,11% dan dalam sebulan ke belakang pelemahannya mencapai 1,16%. Lebih parah dari, indeks ini ambles 5,69% dalam tiga bulan terakhir.
Suku Bunga Rendah, Dolar AS Tak Seksi Lagi
Dolar AS menderita akibat perubahan kebijakan
The Fed. Pekan lalu, Ketua Jerome 'Jay' Powell mengumumkan perubahan
target inflasi dari 2% dalam jangka menengah menjadi rata-rata 2% dalam
jangka menengah. Artinya, The Fed akan memberi toleransi inflasi rendah
sepanjang secara rerata bisa menyentuh 2%.
Perubahan ini dilakukan untuk merespons dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang sepertinya bakal terus terasa selama beberapa waktu ke depan. Pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat aktivitas ekonomi turun drastis, baik di sisi produksi maupun permintaan.
"Risiko ke bawah terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja meningkat. Perubahan ini mencerminkan niat kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat tanpa perlu khawatir terhadap percepatan laju inflasi," sebut Powell, sebagaimana dikutip oleh Reuters.
Well, sepertinya target inflasi yang dipatok 2% memang sudah kurang relevan. Selama lima tahun terakhir, hanya empat bulan inflasi (yang diukur dari Personal Consumption Expenditure/PCE inti) menyentuh 2%.
Melalui pendekatan ini, pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga akan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan. Plus berbagai kebijakan lain untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi tanpa harus mencemaskan risiko inflasi.
ini menjadi sentimen negatif buat dolar AS. Suku bunga rendah berarti berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi minim imbal hasil.
"Ketika bank sentral lain mulai melakukan pengetatan, The Fed mungkin akan tertinggal. Perbedaan suku bunga tidak berpihak kepada dolar AS. Jadi dalam jangka menengah-panjang, ini akan menjadi sentimen negatif bagi greenback," kata Edward Moya, Senior Market Analyst OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Tanpa pemanis berupa cuan, investor agak menghindar dari aset-aset berbasis dolar AS. Permintaan akan mata uang ini pun berkurang sehingga nilainya melemah. Saat dolar AS lesu, rupiah dan mata uang lainnya bisa melaju.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
Perubahan ini dilakukan untuk merespons dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang sepertinya bakal terus terasa selama beberapa waktu ke depan. Pandemi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat aktivitas ekonomi turun drastis, baik di sisi produksi maupun permintaan.
"Risiko ke bawah terhadap inflasi dan pasar tenaga kerja meningkat. Perubahan ini mencerminkan niat kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat tanpa perlu khawatir terhadap percepatan laju inflasi," sebut Powell, sebagaimana dikutip oleh Reuters.
Well, sepertinya target inflasi yang dipatok 2% memang sudah kurang relevan. Selama lima tahun terakhir, hanya empat bulan inflasi (yang diukur dari Personal Consumption Expenditure/PCE inti) menyentuh 2%.
Melalui pendekatan ini, pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga akan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan. Plus berbagai kebijakan lain untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi tanpa harus mencemaskan risiko inflasi.
ini menjadi sentimen negatif buat dolar AS. Suku bunga rendah berarti berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi minim imbal hasil.
"Ketika bank sentral lain mulai melakukan pengetatan, The Fed mungkin akan tertinggal. Perbedaan suku bunga tidak berpihak kepada dolar AS. Jadi dalam jangka menengah-panjang, ini akan menjadi sentimen negatif bagi greenback," kata Edward Moya, Senior Market Analyst OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Tanpa pemanis berupa cuan, investor agak menghindar dari aset-aset berbasis dolar AS. Permintaan akan mata uang ini pun berkurang sehingga nilainya melemah. Saat dolar AS lesu, rupiah dan mata uang lainnya bisa melaju.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :
Info Lowongan Kerja
Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan