Rifanfinancindo -- Harga minyak mentah dunia masih tertekan pada perdagangan Senin (12/11), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh komentar Presiden AS Donald Trump yang berharap tidak ada pemangkasan produksi minyak.
Dilansir dari Reuters, Selasa (13/11), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) merosot US$0,26 menjadi US$59,93 per barel. Penurunan tersebut telah terjadi selama 11 hari berturut-turut.
Berdasarkan data CME Group, penurunan tersebut merupakan yang terlama sejak kontrak pertama kali diperdagangkan. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent yang turun US$0,06 menjadi US$70,12 per barel.
Kedua harga minyak acuan global merosot pada perdagangan pascapenutupan (post-settlement), di mana WTI turun US$1,48 menjadi US$58,71 per barel dan Brent merosot US$1,13 menjadi US$69,05 per barel.
"Semoga, Arab Saudi dan OPEC tidak akan memangkas produksi minyak. Harga minyak seharusnya jauh lebih rendah berdasarkan pasokan," ujar Trump dalam cuitan melalui akun Twitter resminya kemarin.
Dilansir dari Reuters, Selasa (13/11), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) merosot US$0,26 menjadi US$59,93 per barel. Penurunan tersebut telah terjadi selama 11 hari berturut-turut.
Berdasarkan data CME Group, penurunan tersebut merupakan yang terlama sejak kontrak pertama kali diperdagangkan. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent yang turun US$0,06 menjadi US$70,12 per barel.
Kedua harga minyak acuan global merosot pada perdagangan pascapenutupan (post-settlement), di mana WTI turun US$1,48 menjadi US$58,71 per barel dan Brent merosot US$1,13 menjadi US$69,05 per barel.
"Semoga, Arab Saudi dan OPEC tidak akan memangkas produksi minyak. Harga minyak seharusnya jauh lebih rendah berdasarkan pasokan," ujar Trump dalam cuitan melalui akun Twitter resminya kemarin.
Hopefully, Saudi Arabia and OPEC will not be cutting oil production. Oil prices should be much lower based on supply!— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) November 12, 2018
Komentar Trumpmenyusul pernyataan Menteri Energi Arab Saudi
Khalid al-Falih yang menyatakan OPEC tengah mempertimbangkan untuk
memangkas pasokan sebesar 1 juta barel per hari (bph) tahun depan
mengingat adanya perlambatan permintaan. Hal itu berdasarkan analisis
teknis yang dilakukan.
Pada Minggu (10/11) lalu, Arab Saudi yang merupakan eksportir terbesar di dunia, menyatakan bakal memangkas pengiriman kapal sebesar 500 ribu bph pada Desember akibat perlambatan permintaan musiman.
Arab Saudi sebelumnya telah menyampaikan kekhawatiran terkait pengenaan sanksi AS terhadap Iran yang tidak mengurangi pasokan di pasar sebesar perkiraan sebelumnya. Komentar al-Falih membuat harga minyak menguat di awal sesi perdagangan.
Namun, usai Trump melemparkan komentarnya, harga minyak dunia langsung merosot. "Kita seperti kembali ke titik awal. Ini pasti sangat terasa seperti November 2016 bagi mereka (OPEC)," ujar Partner Again Capital Managemet John Kilduff di New York.
Pernyataan Kilduff merujuk pada periode saat OPEC dan sekutunya sepakat untuk memulai kebijakan pemangkasan produksi.
"Arab Saudi dan Rusia, khususnya, terburu-buru mengerek produksi di pasar untuk mengimbangi berkurangnya pasokan yang tidak terjadi," ujarnya.
Sebelumnya, pasar telah mengantisipasi berkurangnya ekspor dari anggota OPEC Iran setelah sanksi AS berlaku efektif bulan ini. Kendati demikian, pemerintah AS memberikan pengecualian terhadap importir minyak utama Iran. Akibatnya, jumlah pasokan yang berkurang di pasar tidak sebesar perkiraan awal.
Harga minyak telah merosot lebih dari 20 persen pada bulan lalu karena terpukul oleh kenaikan pasokan global. Selain itu, tekanan juga berasal dari ancaman perlambatan permintaan, terutama dari negara yang mata uangnya melemah terhadap dolar AS dan daya belinya tergerus.
Sementara, berdasarkan data resmi di masing-masing pemerintahan, produksi produsen minyak utama dunia Rusia, AS, dan Arab Saudi telah terkerek sebesar 1,05 juta bph pada tiga bulan terakhir.
Hal itu membuat OPEC berupaya untuk menyesuaikan produksinya sendiri yang saat ini berkisar 33,3 juta bph atau sekitar sepertiga dari pasokan global.
Pada Senin (12/11) kemarin, sumber Reuters dari pemerintah Kuwait menyatakan sejumlah eksportir minyak utama dunia tengah mempertimbangkan untuk memangkas produksi minyak mentah tahun depan. Namun, ia tak merinci rencana tersebut.
Selama ini, salah satu masalah terbesar OPEC adalah melesatnya produksi minyak shale AS.
"Satu hal yang sangat jelas, OPEC tengah menghadapi kejutan dari minyak shale seiring produksi minyak mentah AS yang naik hingga mencapai 11,6 juta bph dan bakal melampaui batas 12 juta bph tahun depan," ujar Kepala Perdagangan untuk Asia Pasifik Oanda Stephen Innes di Singapura. (sfr/agi)
Pada Minggu (10/11) lalu, Arab Saudi yang merupakan eksportir terbesar di dunia, menyatakan bakal memangkas pengiriman kapal sebesar 500 ribu bph pada Desember akibat perlambatan permintaan musiman.
Arab Saudi sebelumnya telah menyampaikan kekhawatiran terkait pengenaan sanksi AS terhadap Iran yang tidak mengurangi pasokan di pasar sebesar perkiraan sebelumnya. Komentar al-Falih membuat harga minyak menguat di awal sesi perdagangan.
Namun, usai Trump melemparkan komentarnya, harga minyak dunia langsung merosot. "Kita seperti kembali ke titik awal. Ini pasti sangat terasa seperti November 2016 bagi mereka (OPEC)," ujar Partner Again Capital Managemet John Kilduff di New York.
Pernyataan Kilduff merujuk pada periode saat OPEC dan sekutunya sepakat untuk memulai kebijakan pemangkasan produksi.
"Arab Saudi dan Rusia, khususnya, terburu-buru mengerek produksi di pasar untuk mengimbangi berkurangnya pasokan yang tidak terjadi," ujarnya.
Sebelumnya, pasar telah mengantisipasi berkurangnya ekspor dari anggota OPEC Iran setelah sanksi AS berlaku efektif bulan ini. Kendati demikian, pemerintah AS memberikan pengecualian terhadap importir minyak utama Iran. Akibatnya, jumlah pasokan yang berkurang di pasar tidak sebesar perkiraan awal.
Harga minyak telah merosot lebih dari 20 persen pada bulan lalu karena terpukul oleh kenaikan pasokan global. Selain itu, tekanan juga berasal dari ancaman perlambatan permintaan, terutama dari negara yang mata uangnya melemah terhadap dolar AS dan daya belinya tergerus.
Sementara, berdasarkan data resmi di masing-masing pemerintahan, produksi produsen minyak utama dunia Rusia, AS, dan Arab Saudi telah terkerek sebesar 1,05 juta bph pada tiga bulan terakhir.
Hal itu membuat OPEC berupaya untuk menyesuaikan produksinya sendiri yang saat ini berkisar 33,3 juta bph atau sekitar sepertiga dari pasokan global.
Pada Senin (12/11) kemarin, sumber Reuters dari pemerintah Kuwait menyatakan sejumlah eksportir minyak utama dunia tengah mempertimbangkan untuk memangkas produksi minyak mentah tahun depan. Namun, ia tak merinci rencana tersebut.
Selama ini, salah satu masalah terbesar OPEC adalah melesatnya produksi minyak shale AS.
"Satu hal yang sangat jelas, OPEC tengah menghadapi kejutan dari minyak shale seiring produksi minyak mentah AS yang naik hingga mencapai 11,6 juta bph dan bakal melampaui batas 12 juta bph tahun depan," ujar Kepala Perdagangan untuk Asia Pasifik Oanda Stephen Innes di Singapura. (sfr/agi)
Sumber : CNN Indonesia
Rifanfinancindo
Rifanfinancindo