Jumat, 28 Juni 2019

Rifanfinancindo - Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah

Pertemuan G20 Dimulai, Bursa Jepang Dibuka Melemah
Foto: Bursa Jepang (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Rifanfinancindo Palembang - Bursa Jepang dibuka di zona merah, Jumat (28/6/2019), ketika pertemuan negara-negara Kelompok 20 atau G20 dimulai. Pembicaraan perdagangan yang dinanti-nantikan antara Amerika Serikat (AS) dan China juga akan berlangsung di sela-sela pertemuan ini.

Indeks acuan Nikkei 225 melemah 0,2% sementara indeks Topix terkoreksi 0,12% di awal perdagangan.

Isu perdagangan akan menjadi salah satu topik panas yang akan dibahas dalam pertemuan G20 di Osaka, Jumat dan Sabtu ini. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping juga akan bertemu Sabtu siang waktu setempat untuk membicarakan perang dagang kedua negara.

Meski sebagian besar para pelaku pasar global telah memperkirakan tidak ada kesepakatan dagang yang akan dicapai esok, mereka masih berharap kedua negara akan mau melanjutkan perundingan dagang yang menemui jalan buntu Mei lalu.

Selain itu, rancangan komunike G20 disebut-sebut akan mencantumkan pernyataan mengenai praktik perdagangan proteksionis. Tekanan dari Trump membuat G20 harus menghapuskan satu frasa yang menyerukan perlunya melawan proteksionisme dari komunike pertemuan tahun lalu di Buenos Aires, Argentina.

Komunike yang diteken para menteri keuangan dan pemimpin bank sentral G20 awal bulan ini juga tidak menyebutkan perlawanan terhadap proteksionisme. Namun, beberapa negara Eropa meminta komunike pekan ini memasukkan kalimat yang menentang menyebarnya kebijakan perdagangan protektif, tulis surat kabar Jepang Asahi.

Jepang, yang memimpin pertemuan G20 tahun ini, mencoba mencari jalan tengah dan rancangan komunike saat ini berisi frasa yang mendukung perdagangan bebas, menurut surat kabar tersebut. (prm)


Kamis, 27 Juni 2019

Rifan Financindo - Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal

Risiko yang Timbul bagi RI Jika Trump-Xi Jinping Batal Deal
Rifan Financindo Palembang - Perjanjian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China punya harapan untuk menjadi kenyataan. Keyakinan itu muncul setelah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kedua negara masih memiliki harapan untuk merampungkan seluruh kesepakatan penting itu.

Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea impor sejak setahun lalu terhadap berbagai produk senilai ratusan miliar dolar. Kebijakan itu telah mengguncang perekonomian dan pasar keuangan dunia serta mengganggu rantai pasokan global.

Bicara soal optimisme, ekonomi pun akan semakin membaik. Lalu bagaimana jika AS dan China batal bersepakat?

"Bila negosiasi dagang tersebut semakin sulit mencapai titik temu maka dampaknya kepada ekonomi global semakin nyata dan berkepanjangan (prolong)," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (27/6/2019).

Risiko yang Timbul untuk RI Jika Trump dan Jinping Batal Deal
Foto: Nanang Hendarsah (dok. Bank Indonesia)
Bila hal ini terjadi, sambung Nanang, maka bank sentral AS Federal Reserve pun akan semakin agresif menurunkan suku bunga karena ekonomi AS pun akan semakin terpukul. Pasar OIS (overnight index swap) dan futures bahkan memprediksi akhir tahun ini Fed Funds Rate akan ke 1,6%, terpaut jauh dari dot plot FOMC terakhir di 2,375%.

"Dengan menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga global dan domestik ke depan, wajar bila investor sigap masuk ke SBN [Surat Berharga Negara] saat ini untuk mengunci (lock up) yield SBN yang tinggi saat ini karena mereka tahu yield akan berlanjut turun. Secara year-to-date (per 25 Juni 2019), arus modal ke pasar SBN saja mencapai Rp 90,9 triliun," papar Nanang.

Ia menjelaskan lebih jauh, bila yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1.9% berlanjut turun ke 1,6% di akhir 2019 akan membuat spread dengan yield SBN yang saat ini di 7.4% maka spreadnya akan melebar di atas 550 bps. 

"Bila dikurangi dengan instrumen lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang saat ini 100 bps, maka Covered Yield Parity nya 450 bps. Seharusnya CDS Indonesia lebih rendah dari 100 bps karena pasar belum memperhitungkan secara penuh (fully priced in) upgrade credit rating oleh S&P pada akhir Mei lalu," tutur Nanang.

Kondisi ini berbeda dengan tahun 2018 lalu di mana the Fed justru sedang menaikkan suku bunga sehingga mendorong yield obligasi AS naik di atas 3.0%. Sehingga di tahun 2018 lalu, sambung Nanang, RI menghadapi dua tantangan pada neraca pembayaran yaitu tekanan di current account dan financial account. 

"Di tahun ini tekanan di financial account-nya seharusnya mereda, bahkan bisa surplus besar untuk menutup defisit di current account. Hanya saja kita masih mewaspadai berlangsungnya eskalasi sengketa dagang AS China yang masih bisa memengaruhi pergerakan lalu lintas modal asing," tutup Nanang.(prm)

Sumber : CNBC
 
 

Rabu, 26 Juni 2019

PT Rifan Financindo - The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran

The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
PT Rifan Financindo Palembang - Para pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memupuskan harapan para pelaku pasar dan menepis tekanan presiden agar memangkas suku bunga acuan hingga 50 basis poin di pertemuannya bulan depan.

Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan independensi bank sentral dari pengaruh Presiden Donald Trump dan pasar keuangan yang saat ini tengah mendesak adanya pemangkasan suku bunga yang agresif. Ia menyampaikan hal itu dalam pidatonya di Dewan Hubungan Internasional di New York, Selasa (25/6/2019).

"The Fed bebas dari tekanan-tekanan politik jangka pendek," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami tidak ada urusan mencoba bekerja berdasarkan pergerakan sesaat di sektor finansial. Kami harus melihat lebih jauh dari itu," ujarnya ketika ditanya mengenai kemungkinan The Fed mengecewakan pasar karena tidak mewujudkan harapan penurunan bunga acuan secara agresif itu.

Namun, ia mengatakan dirinya dan koleganya tengah mencari tahu apakah ketidakpastian terkait bea impor AS, konflik Washington dengan para rekan dagangnya, dan lesunya inflasi memerlukan penurunan suku bunga.


The Fed Hapus Harapan Penurunan Suku Bunga Besar-besaran
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (REUTERS/Leah Millis)

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard memupuskan harapan penurunan suku bunga hingga 50 basis poin.

"Duduk di sini hari ini, saya rasa 50 basis poin akan berlebihan," ujarnya kepada Bloomberg TV dan dikutip Reuters

"Saya tidak merasa situasi saat ini benar-benar meminta hal tersebut namun saya bersedia menurunkan 25 basis poin... Saya tidak suka mendahului pertemuan (The Fed) karena banyak hal bisa berubah hingga saat itu tiba. Namun, jika saya harus memutuskan hari ini, itulah yang akan saya lakukan," lanjutnya.

The Fed pada pertemuan penentuan kebijakanya pekan lalu memutuskan menahan bunga acuan namun memberi sinyal akan melonggarkan kebijakan di Juli.

Bullard ketika itu memberikan suara agar The Fed menurunkan suku bunganya karena lemahnya inflasi dan ketidakpastian proyeksi pertumbuhan ekonomi memerlukan langkah tersebut.

Mengutip CME Fedwatch, pada Senin (24/6/2019), probabilitas FFR diturunkan 50 basis poin pada bulan Juli mencapai 42,6%. Sedangkan saat ini, setelah Powell dan Bullard berbicara, probabilitas itu turun menjadi tinggal 29,2%, dikutip dari Newsletter CNBC Indonesia.

Meski demikian, pelaku pasar masih yakin 100% bahwa suku bunga akan turun bulan Juli, setidaknya 25 basis poin. (prm)


Selasa, 25 Juni 2019

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah - Rifanfinancindo

The Fed Diproyeksi Pangkas Bunga, Dolar Terus Melemah
Rifanfinancindo Palembang - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah pada perdagangan Senin (24/6/19), setelah mengalami penurunan tajam dalam tiga hari berturut-turut pada pekan lalu.

Sikap dovish Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih menjadi penekan utama Mata Uang Paman Sam.

Pada pukul 20:50 WIB, indeks dolar berada di level 96,13 atau melemah sekitar 0,9%, mengutip data dari Refinitiv. Sementara dalam tiga hari terakhir indeks yang digunakan untuk mengukur kekuatan dolar ini anjlok 1,47%.

Saat mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (20/6/19) lalu, The Fed membuka peluang pemangkasan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Pasca-pengumuman kebijakan tersebut, pelaku pasar semakin yakin Jerome Powell, sang pimpinan, akan memangkas suku bunga di tahun ini. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group yang menunjukkan hingga akhir tahun probabilitas suku bunga 2,25% - 2,50% ditahan sebesar 0% alias tidak ada.

The Fed diprediksi akan memangkas FFR sebanyak 25 basis poin menjadi 2,00% - 2,25% pada bulan Juli. Probabilitas terjadinya pemangkasan suku bunga tersebut sebesar 63,6%, berdasarkan perangkat FedWatch.

Di sisa tahun 2019, The Fed diramal akan memangkas FFR lagi di bulan September dan Desember.

Meski mayoritas bank sentral utama dunia juga akan melonggarkan kebijakan moneter, namun The Fed diprediksi menjadi yang paling agresif. Hal ini tentunya berkebalikan dengan tahun 2018 lalu, saat bank sentral paling powerful di dunia ini menaikkan suku bunga sebanyak empat kali.

Kebijakan The Fed mengalami u-turn jika pada akhirnya benar-benar memangkas suku bunga.

Bank sentral lainnya yang juga berancang-ancang akan melonggarkan moneter adalah European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ). Namun, kedua bank sentral itu sepertinya akan menggunakan instrumen selain suku bunga untuk pelonggaran moneter, misalnya dengan program pembelian aset seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

Hanya Bank of England (BOE) yang belum bersikap dovish, malah bank sentral Inggris ini membuka peluang kenaikan suku bunga jika Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan atau soft Brexit. (pap/pap)

Senin, 24 Juni 2019

Rifan Financindo - Peringatan PM Malaysia: Cekcok AS-Iran Bisa Jadi Perang Dunia

Peringatan PM Malaysia: Cekcok AS-Iran Bisa Jadi Perang Dunia
Foto: (CNBC Indonesia TV)
Rifan Financindo Palembang - Tindakan Amerika Serikat (AS) yang memprovokasi Iran dan tumbuhnya risiko salah perhitungan dalam konflik tersebut dapat menyebabkan terjadinya "perang dunia", menurut Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

"Saya rasa sepanjang yang saya lihat, Amerika-lah yang membuat memprovokasi semua ini," kata Mahathir kepada CNBC, Sabtu (22/6/2019), ketika ditanya pihak mana yang bertanggung jawab atas kesalahan perhitungan strategi ini.

"Pertama, mereka menarik diri dari kesepakatan (nuklir), dan sekarang mereka mengirim kapal perang ke Teluk, dan melakukan hal-hal yang akan memprovokasi Iran," ujarnya di Bangkok, Thailand, di sela-sela pertemuan tingkat tinggi ASEAN, dilansir dari CNBC International.

Ketegangan antara AS dan Iran meninggi Kamis pekan lalu ketika Teheran menembak jatuh pesawat tak berawak atau drone pengintai militer milik Washington.

Insiden itu membuat Presiden AS Donald Trump menyetujui serangan militer terhadap beberapa target Iran meski kemudian tiba-tiba membatalkannya di 10 menit terakhir, Kamis malam. Sang presiden mengatakan ia membatalkan serangan itu karena akan ada sekitar 150 orang yang tewas dan hal itu tidak sepadan dengan serangan Iran.

"Saya tidak terburu-buru," tulis Trump di akun Twitter resminya. "Militer kami telah dibangun kembali, baru, dan siap."

Mahathir pada Minggu memperingatkan bahwa bila kedua negara berperang, perang itu bukanlah antara Iran melawan AS.

"Itu akan menjadi perang dunia," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa negara-negara lain yang tidak ingin senjata nuklir digunakan akan ikut campur dan berupaya menghentikannya.

AS di bawah pemerintahan Trump telah menarik diri dari kesepakatan nuklir internasional dengan Iran pada Mei tahun lalu. Awalnya, perjanjian yang dibuat di masa kepemimpinan Barack Obama itu menarik sanksi ekonomi dari Iran dengan imbalan penghentian program pengayaan uranium oleh Teheran.

Dengan penarikan diri itu, AS menerapkan lagi sanksi ekonominya terhadap Iran yang membuat Teheran mengaktifkan lagi program pengayaan uraniumnya.

Mahathir memperingatkan bahwa harga energi akan naik karena Iran adalah salah satu pemasok besar energi.

"Sebenarnya sanksi itu dikenakan kepada Malaysia juga karena kami tidak dapat berdagang dengan Iran yang merupakan rekan dagang yang baik," jelasnya.

Ia tidak setuju dengan penerapan sanksi AS terhadap Iran.

"Permainan pengenaan sanksi ini dan memaksa negara-negara untuk patuh terhadap keputusan sebuah kekuatan besar adalah sesuatu yang benar-benar tidak demokratis.. Ini adalah tindakan bully," tegasnya.

Pemimpin berusia 93 tahun itu menyebut Trump betul-betul tidak dapat diprediksi.

"Pria ini, dengan satu masa jabatan lagi, dapat membuat banyak kerusakan di seluruh dunia," ujarnya. (prm/prm)

Sumber : CNBC