Selasa, 09 Maret 2021

Begini Prediksi Pelaku Pasar Soal IHSG Hari Ini

Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

 

PT Rifan Financindo Berjangka - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini diperkirakan akan mencoba untuk menguat setelah Senin (8/3/2021) kemarin ditutup melemah.

Reliance Sekuritas menyebutkan masih ada risiko dari kenaikan imbal hasil surat utang Pemerintah Amerika Serikat ke angka 1,6% untuk tenor 10 tahun. Hal ini membayangi di tengah kekhawatiran bahwa program bantuan pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan imbal hasil ini menunjukkan kemungkinan kenaikan suku bunga masih memiliki ruang untuk dilakukan.


Selain itu, investor juga berekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi global karena distribusi vaksin meningkat dan Amerika akan meloloskan stimulus US$ 1,9 triliun.

Dari dalam negeri, Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan pelaku usaha mencermati dampak stimulus dari pemerintah terhadap dunia usaha yang pada kuartal I-2021. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang masih melemah menjadi dasar ekspansi bisnis pada awal tahun ini belum sesuai harapan.

Sekuritas ini menilai untuk mendorong ekonomi masih dibutuhkan stimulus ekonomi melalui Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Sebab dinilai cukup efektif mendorong kembali belanja masyarakat level bawah.

Artha Sekuritas menyebut IHSG diprediksi menguat. Secara teknikal indikator stochastic mulai menyempit mendekati area oversold mengindikasikan trend pelemahan mulai terbatas.

Pergerakan masih dibayangi optimisme dari kesepakatan stimulus Amerika Serikat. Dari dalam negeri masih minim akan sentiment dan data ekonomi.

Dari segi teknikal, MNC Sekuritas mengatakan IHSG sedang berada pada awal dari wave C dari wave (4), yang berarti IHSG akan memulai fase koreksinya dengan koreksi terdekat berada pada area 6.130-6.200 terlebih dahulu.

Namun, apabila IHSG mampu menguat di atas 6.400 atau bahkan di atas 6.505, maka pergerakan IHSG saat ini sedang berada pada bagian dari wave 3 dari wave (5).

Hari ini indeks diperkirakan akan bergerak di support 6.184 dan 6.090 serta resisten di 6.400. (hps/hps)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 08 Maret 2021

'Angin Surga' CPO RI, Ada Kabar Bahagia Sawit dari Swiss

Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

 

PT Rifan Financindo - Masyarakat Swiss akhirnya mendukung kesepakatan perdagangan bebas dengan Indonesia, Minggu (7/3/2021). Ini membuka pasar potensial yang luas untuk ekonomi RI, termasuk minyak sawit dengan crude palm oil (CPO) salah satunya.

Jejak pendapat menunjukkan 51,7% suara setuju dengan perjanjian tersebut. Ini dar total jumlah pemilih 51%.

Secara general, berdasarkan kesepakatan tersebut, tarif akan dihapus secara bertahap dari hampir semua ekspor terbesar Swiss ke Indonesia. Sementara Swiss akan menghapus bea atas produk industri Indonesia.

Untuk minyak sawit, bea cukai tidak akan dihapus tetapi malah dikurangi antara 20 dan 40% dan volume yang dibatasi hingga 12.500 ton per tahun. Kemudian, siapa pun yang mengimpor minyak sawit harus membuktikan bahwa minyak tersebut memenuhi standar lingkungan dan sosial tertentu.

Sebelumnya perjanjian Indonesia dengan negara European Free Trade Association (EFTA), termasuk Swiss di dalamnya, sudah diteken sejak Desember 2018 dan disetujui parlemen Swiss Desember 2019. Kemitraan tertuang dalam perjanjian Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

Namun para penentang sangat mengkritik karena ada persoalan sawit di dalamnya. Sehingga butuh suara publik atas kesepakatan tersebut.

Saat ini, RI adalah mitra ekonomi terbesar ke-44 Swiss dan pasar ekspor terbesar ke-16 di Asia. Pada tahun 2020, ekspor Swiss ke Indonesia berjumlah 498 juta franc Swiss atau sekitar Rp 7,6 triliun (asumsi Rp 15.346/franc Swiss).

Dalam jejak pendapat Februari lalu, sebenarnya 52% mendukung perjanjian bebas sementara sisanya menolak. Swiss adalah negara EFTA bersama Norwegia, Liechtenstein dan Islandia. (sef/sef)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 05 Maret 2021

Di Kurs Tengah BI, Rupiah Sudah Rp 14.371/US$!

valas
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

 

Rifan Financindo - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun lemas di perdagangan pasar spot.

Pada Jumat (5/3/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada d Rp 14.371. Rupiah melemah 0,5% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, sebenarnya rupiah dibuka stagnan, tidak melemah tetapi juga tidak menguat. Namun beberapa menit kemudian rupiah masuk jalur merah dan pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.300 di mana rupiah melemah 0,28%.

Rupiah tidak sendiri, hampir seluruh mata uang Asia pun kerepotan menghadapi dolar AS. Sejauh ini hanya yen Jepang, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan yang mampu menguat.

Dolar AS Kelewat Kuat

Ternyata tidak cuma di Asia, dolar AS juga digdaya di tataran global. Pada pukul 09:12 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,05%.

Boleh dikata 2021 sampai saat ini adalah tahunnya dolar AS. Sejak awal tahun, Dollar Index sudah melesat hampir 2%.

Penguatan dolar AS masih ditopang oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 09:19 WIB, yield surat utang pemerintahan Joseph 'Joe' Biden tenor 10 tahun naik 2,3 basis poin menjadi 1,5757%.

Untuk mengendalikan laju kenaikan yield, investor berharap Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal lebih agresif dalam memborong US Treasury Bonds. Sebab ketika permintaan meningkat, harga obligasi akan naik sehingga yield bergerak turun.

Namun dalam sebuah forum yang digelar Wall Street Journal, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell menegaskan kebijakan yang saat ini ditempuh masih layak (appropriate). Artinya, The Fed belum akan menambah nilai pembelian aset berharga (quantitative easing) yang saat ini adalah US$ 120 miliar per bulan.

"Kenaikan yield memang terlihat dan membuat saya menaruh perhatian. Namun kami belum menilainya sebagai pergerakan yang kebablasan. Posisi (stance) kebijakan kami yang sekarang masih layak," tegas Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Tanpa tambahan gelontoran duit dari The Fed, yield obligasi pemerintah AS lebih leluasa untuk naik. Kenaikan yield ini membuat investor terpana dan mengalihkan pandangan ke sana. Tidak ada waktu untuk mengurus aset lainnya.

"Pasar mengartikan pernyataan Powell bahwa The Fed tidak mencoba menghambat kenaikan yield sehingga investor melihat ada sinyal yield bisa terus naik. Ternyata kejadian," ujar Scott Brown, Kepala Ekonom Raymond James yang berbasis di Florida (AS), seperti diwartakan Reuters.

Perkembangan ini membuat aset- aset lain seperti saham ditinggalkan. Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham New York ditutup anjlok. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambruk 1,11%, S&P 500 ambes 1,34%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,11%.

Rontoknya Wall Street menular ke Asia, arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Benua Kuning seret. Akibatnya, mata uang utama Asia ramai-ramai melemah, termasuk rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan 
 

Kamis, 04 Maret 2021

New York Jatuh, Ulangi New York Jatuh! Selanjutnya Rupiah?

A Balinese man makes a Hindu offering outside a shop which offers currency exchange services in Kuta, on the resort island of Bali, Indonesia  April 30, 2018. REUTERS/Johannes P. Christo
Ilustrasi Money CHanger (REUTERS/Johannes P. Christo)

 

PT Rifan - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Minat pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko memang sedang rendah sehingga arus modal yang mengalir masuk ke negara berkembang menjadi seret, termasuk Indonesia.

Pada Kamis (4/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.230 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Namun beberapa menit kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.245 di mana rupiah melemah 0,04%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,42% di hadapan dolar AS. Ini menjadi apresiasi pertama bagi mata uang Tanah Air setelah empat hari beruntun gagal menguat, paling banter stagnan. Selama empat hari tersebut, rupiah terdepresiasi 1,56%.

Namun ternyata penguatan kemarin hanya riak belaka, karena ternyata hari ini rupiah kembali melanjutkan tren pelemahan. Sekarang giliran sentimen eksternal yang membuat rupiah sulit bertahan di jalur hijau.

Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham New York 'karam'. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 0,39%, S&P 500 anjlok 1,31%, dan Nasdaq Composite ambruk 2,7%. Nasdaq mengalami koreksi harian terdalam sejak awal Januari 2021.

"Hari ini menggambarkan tema besar yang mendominasi dalam beberapa bulan terakhir. Vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) berjalan lancar, ekonomi semakin membaik, yang kemudian mendorong ekspektas inflasi," kata Ross Mayfield, Investment Strategist di Baird yang berbasis di Kentucky (AS), sebagaimana dikutip dari Reuters.

Ekonomi Membaik, Inflasi Naik

Ya, AS adalah negara dengan laju vaksinasi anti-virus corona tercepat di dunia. Per 2 Maret 2021, total vaksin yang disuntikkan ke lengan rakyat Negeri Paman Sam mencapai 78.631.601 dosis. Rata-rata tujuh harian berada di 1.942.788 dosis per hari.

Perlahan tetapi pasti, sepertinya vaksin mulai membentuk kekebalan tubuh warga AS dalam melawan virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Mengutip catatan Organisasi Kesehatan Dunia, rata-rata penambahan pasien positif baru pada 14 hari terakhir (18 Februari-3 Maret 2021) adalah 65.133 orang per hari. Jauh berkurang ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yakni 98.443 orang setiap harinya.

Pandemi yang mulai terkendali membuat warga AS lebih percaya diri terhadap prospek ekonomi Negeri Adidaya. Geliat ekonomi pun semakin terasa, tidak lagi 'mati suri'.

Pada pekan yang berakhir 26 Februari 2021, pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) naik 0,5% dibandingkan pekan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan pertama setelah tiga pekan beruntun mengalami kontraksi (tumbuh negatif).

Kemudian aktivitas sektor jasa semakin membaik, tercermin dari angka Purchasing Managers' Index (PMI). Pada Februari 2021, PMI sektor jasa AS versi IHS Markit berada di 59,8. Ini adalah yang tertinggi sejak Juli 2014.

Kebangkitan ekonomi berarti permintaan akan naik. Saat permintaan naik, maka inflasi akan terakselerasi.

Peningkatan ekspektasi inflasi mendorong imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS ke atas. Pada pukul 08:07 WIB, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun berada di 1,4808%, naik 1,1 basis poin (bps).

"Jika yield kembali menyentuh kisaran 1,5%, maka investor pasti akan mengalihkan pandangan ke sana. Tidak akan ada ruang bagi pasar saham dan instrumen berisiko lainnya," tegas Michael Strich, Chief Investment Officer di BMO Wealth Management, seperti diberitakan Reuters.

Selepas New York 'jatuh', kini sepertinya giliran pasar keuangan Asia. Fokus investor yang mengarah ke pasar obligasi pemerintah AS tidak menyisakan banyak ruang untuk Benua Kuning. Minimnya aliran modal membuat mata uag Asia ramao-ramai melemah, termasuk rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 03 Maret 2021

Arab 'Ribut' Lagi sama Rusia, Meeting OPEC+ Bagaimana?

Saudi Arabia's Crown Prince Mohammed bin Salman speaks with Russia's President Vladimir Putin during the opening of the G20 leaders summit in Buenos Aires, Argentina November 30, 2018. REUTERS/Sergio Moraes     TPX IMAGES OF THE DAY
Foto: Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin selama pembukaan KTT para pemimpin G20 di Buenos Aires, Argentina 30 November 2018. REUTERS / Sergio Moraes

 

PT Rifan Financindo Berjangka - Kelompok negara-negara produsen minyak terbesar di dunia akan menggelar pertemuan paling penting pada Kamis mendatang untuk membahas persoalan langkah pemotongan produksi yang sempat dilakukan tahun lalu guna menstabilkan harga minyak dunia di pasar internasional.

Organisasi negara produsen minyak yakni OPEC dan mitra non-OPEC, atau aliansi energi yang biasa disebut sebagai OPEC+, akan bersidang melalui konferensi video guna mencapai konsensus tentang cara mengelola pasokan minyak di tengah mulai pulihnya aktivitas ekonomi dunia.

Tahun lalu OPEC+ setuju untuk membatasi jumlah produksi minyak guna menopang harga karena langkah pencegahan pandemi termasuk lockdown di sejumlah negara terjadi bersamaan dengan permintaan bahan bakar yang ambles terendah sepanjang sejarah.

Keputusan menjaga pasokan minyak pada minggu ini datang pada saat harga minyak dunia telah pulih ke level sebelum virus corona mendera. Sebelumnya produksi minyak di AS juga terpukul akibat badai yang membekukan stok dan pandemi virus corona juga terus mengaburkan prospek permintaan.

Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC secara terbuka mendorong mitra sekutunya untuk tetap "sangat berhati-hati" pada kebijakan produksi, memperingatkan OPEC agar tidak berpuas diri saat berusaha menavigasi krisis Covid-19 yang sedang berlangsung. Artinya ada kemungkinan Arab meminta pemotongan produksi lagi.

Di sisi lain, pemimpin non-OPEC Rusia, justru mengindikasikan keinginannya untuk terus maju dengan meningkatkan pasokan minyaknya.

Analis pun mengharapkan OPEC + bisa menaikkan produksi atau output dari level saat ini, tetapi pertanyaan tetap mengenai seberapa banyak produksi dan negara mana yang akan terpengaruh belum mendapatkan jawabannya.

Pada acara industri bulan lalu, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman dilaporkan mengatakan kepada para pihak yang mencoba meramalkan langkah aliansi energi selanjutnya. "Jangan mencoba memprediksi hal yang tidak terduga," katanya, dikutip CNBC International.

Baik Saudi maupun Rusia "akan mendapatkan apa yang mereka inginkan", kata Tamas Varga, analis di PVM Oil Associates, mengatakan kepada CNBC International melalui telepon bahwa dia yakin OPEC dan mitra non-OPEC telah melakukan "pekerjaan luar biasa" dalam menyeimbangkan kembali pasar minyak dunia.

Namun, di tengah mulai pulihnya permintaan minyak global, dia memperingatkan bahwa pemulihan pasar minyak dunia masih "sangat, sangat rapuh".

"Yang penting di sini adalah Rusia dan Arab Saudi. Harga impas [breakeven] bagi anggaran Rusia jauh lebih rendah daripada Arab Saudi, jadi Anda akan melihat semacam celah dalam pandangan antara kedua negara ini," kata Varga.

OPEC + awalnya setuju untuk memangkas produksi minyak dengan rekor 9,7 juta barel per hari tahun lalu, sebelum mengurangi pemotongan menjadi 7,7 juta dan akhirnya 7,2 juta dari Januari.

Negara pemimpin OPEC, Arab Saudi, juga melakukan pemotongan produksi secara sukarela sebesar 1 juta dari awal Februari hingga Maret.

Namun Alexander Novak, Wakil Perdana Menteri Rusia, tampaknya mengisyaratkan niat Moskow untuk meningkatkan pasokan pada bulan lalu. Alasannya, Rusia mengklaim bahwa pasar energi mulai seimbang.

"Rusia ingin kembali ke produksi normal secepat mungkin sementara Arab Saudi ingin menikmati harga tinggi sedikit lebih lama dan lebih memilih menjaga pasar pada sisi yang ketat daripada sisi yang longgar. Kami pikir keduanya akan mendapatkan apa yang mereka inginkan," kata Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas di SEB Group, dalam risetnya.

Dia menambahkan, Rusia kemungkinan akan meningkatkan produksi lebih lanjut, sementara Arab Saudi tetap melakukan pemotongan secara sepihak, "sebagian atau mungkin semua" dari 1 juta barel per hari.

Analis juga memperkirakan OPEC+ akan membahas adanya kemungkinan minyak 1,3 juta barel per hari bisa masuk lagi ke pasar, pada pertemuan Kamis mendatang.

"Rusia akan membangun momentum dalam pandangan pasar mereka, tetapi kami tidak melihat peralihan sepenuhnya. Pernyataan dari Arab Saudi menunjukkan bahwa mereka berada di sisi yang berhati-hati," kata Schieldrop.

"Alih-alih mempertahankannya [pemangkasan produksi] sedikit terlalu lama ketimbang mengalami kelebihan pasokan, sebelum vaksin Covid-19 benar-benar membuat keajaiban pada aktivitas ekonomi global dan permintaan minyak," katanya

"Pertemuan OPEC+ mendatang dengan demikian tidak mungkin merusak 'aliansi minyak' sehubungan dengan pasokan pada April mendatang karena hasil total kemungkinan akan membuat pasar sedikit lebih pendek daripada surplus."

Mengacu data CNBC, harga minyak untuk patokan internasional yakni Brent diperdagangkan pada level US$ 63,01 per barel pada Selasa pagi (2/3), hampir 1,1% lebih rendah, sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS di level US$ 60,02/barel, turun lebih dari 1%.

"Harapan kami, mereka akan naik sejalan dengan kesepakatan kebijakan sebelumnya yang diumumkan pada Desember 2020. Dan itu tidak meningkatkan produksi lebih dari 500.000 barel per hari. Kami berharap kebijakan itu tetap berlaku," Louise Dickson, analis di Rystad Energy. (tas/tas)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan