Rabu, 18 Juni 2025

Harga Minyak Naik Saat Konflik Iran-Israel Memasuki Hari Keenam

 


Harga minyak mentah dunia kembali menguat dalam perdagangan Asia pada Rabu pagi, melanjutkan kenaikan hampir 4% dari sesi sebelumnya. Lonjakan ini didorong oleh kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan akibat konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang terus memburuk dan kini memasuki hari keenam.

Harga minyak mentah Brent tercatat naik sebesar 26 sen atau 0,3% menjadi \$76,71 per barel pada pukul 04:40 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat menguat 35 sen atau 0,5% ke level \$75,19 per barel. Kenaikan ini mencerminkan ketegangan yang meningkat di kawasan Timur Tengah, yang menjadi pusat perhatian pasar global.

Presiden AS Donald Trump pada Selasa menyerukan agar Iran menyerah tanpa syarat di tengah eskalasi konflik udara yang semakin intensif. AS pun memperkuat kehadiran militernya di wilayah tersebut dengan mengerahkan lebih banyak pesawat tempur, sebagaimana dikonfirmasi oleh tiga pejabat militer kepada Reuters. Langkah ini semakin memperkuat kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan distribusi energi global, khususnya melalui Selat Hormuz.

Selat Hormuz adalah jalur vital pengiriman minyak dunia, mengangkut sekitar 20% dari total pasokan minyak mentah global yang dikirim lewat laut. Iran, sebagai produsen terbesar ketiga dalam OPEC, memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bph). Meskipun OPEC+ memiliki kapasitas cadangan sekitar 5,7 juta bph untuk menutupi kekurangan, gangguan signifikan terhadap infrastruktur ekspor atau produksi Iran tetap menjadi ancaman nyata bagi stabilitas harga minyak.

Menurut analis dari Fitch Ratings, gangguan material terhadap produksi atau ekspor Iran akan memberikan tekanan naik yang signifikan terhadap harga. Namun demikian, dalam skenario ekstrem sekalipun, di mana ekspor Iran sepenuhnya terhenti, kapasitas cadangan dari negara-negara OPEC+ diperkirakan cukup untuk menyeimbangkan pasar.

Selama dua pekan terakhir, harga minyak Brent telah melonjak sekitar \$10 per barel, mencerminkan peningkatan premi risiko geopolitik. Analis Fitch memperkirakan bahwa premi risiko tersebut kemungkinan akan tetap berada dalam kisaran \$5 hingga \$10 selama konflik terus berlangsung tanpa eskalasi besar yang melampaui ekspektasi pasar.

Tanda-tanda kekhawatiran juga terlihat dari selisih harga (spread) antara minyak Brent dan benchmark Dubai yang melonjak di atas \$3 per barel pada hari Rabu—tingkat tertinggi sejak akhir September 2023, menurut data dari LSEG. Hal ini menunjukkan permintaan yang lebih kuat terhadap minyak dari pasar non-Timur Tengah, yang dianggap lebih aman secara logistik.

Selain konflik geopolitik, perhatian pasar juga terfokus pada pertemuan hari kedua Federal Reserve AS yang sedang berlangsung. Bank sentral AS diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%-4,50%. Namun, ancaman perlambatan pertumbuhan global akibat gejolak Timur Tengah dapat mendorong The Fed untuk memangkas suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan pasar, mungkin sudah pada bulan Juli ketimbang September.

Analis pasar dari IG, Tony Sycamore, menyatakan bahwa ketegangan di Timur Tengah bisa menjadi pemicu bagi The Fed untuk mengadopsi sikap lebih dovish, sebagaimana terjadi setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Penurunan suku bunga secara historis biasanya mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak, sehingga menjadi sentimen positif tambahan bagi harga energi.

Namun demikian, situasi ini juga menciptakan dilema baru bagi The Fed. Di satu sisi, konflik yang berkepanjangan berisiko memperlambat pertumbuhan global; di sisi lain, lonjakan harga minyak dapat memicu tekanan inflasi baru, yang justru bertentangan dengan tujuan penurunan suku bunga.

Dengan latar belakang yang kompleks ini, pasar energi saat ini menghadapi ketidakpastian tinggi. Kenaikan harga minyak mencerminkan kombinasi antara ketegangan geopolitik, potensi gangguan pasokan, dan arah kebijakan moneter AS yang belum pasti. Dalam jangka pendek, sentimen pasar cenderung tetap sensitif terhadap perkembangan di Timur Tengah, sementara pelaku pasar menantikan sinyal yang lebih jelas dari The Fed terkait arah kebijakan suku bunga berikutnya.

Senin, 16 Juni 2025

Saham Jepang Menguat Meski Ketegangan Global Meningkat, Apa Faktor Pendorongnya?

 


Indeks Nikkei 225 mencatat kenaikan signifikan sebesar 1,26% dan ditutup pada level 38.311 pada hari Senin, sementara indeks Topix yang lebih luas juga mengalami kenaikan 0,75% ke posisi 2.777. Kenaikan ini mencerminkan pemulihan yang kuat dari kerugian sesi sebelumnya, bahkan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global, khususnya di Timur Tengah.

Pasar Abaikan Ketegangan Timur Tengah, Fokus pada Fundamental Domestik

Meski bentrokan antara Israel dan Iran terus berlanjut—dengan kedua belah pihak saling menyerang infrastruktur energi dan mendorong kenaikan harga minyak dunia—pasar saham Jepang menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Investor tampaknya memilih untuk memfokuskan perhatian pada fundamental domestik dan peluang jangka pendek, dibandingkan terbawa arus kekhawatiran global.

Peningkatan harga minyak memang bisa menimbulkan tekanan inflasi global, namun sentimen risiko di pasar Jepang tetap positif. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar Jepang dalam menghadapi gejolak global.

Yen Melemah, Industri Ekspor Diuntungkan

Salah satu faktor kunci di balik penguatan bursa Jepang adalah pelemahan yen, yang secara historis berdampak positif pada prospek keuntungan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor. Yen yang lebih murah membuat produk Jepang lebih kompetitif di pasar global, sehingga meningkatkan pendapatan dari luar negeri saat dikonversi kembali ke mata uang lokal.

Sektor teknologi dan industri berat menjadi yang paling merespons positif kondisi ini. Saham seperti Advantest melonjak 9,6%, Metaplanet melejit hingga 25,6%, sementara Disco naik 4,3%. Perusahaan besar seperti Mitsubishi Heavy Industries dan IHI Corp juga masing-masing mencatatkan kenaikan sebesar 2% dan 3,5%.

Bank of Japan Jadi Fokus Investor Selanjutnya

Perhatian investor kini tertuju pada pertemuan kebijakan Bank of Japan (BoJ) yang akan datang. Pasar secara luas memperkirakan bahwa BoJ akan mempertahankan suku bunga pada level saat ini, sambil mengevaluasi potensi dampak inflasi dari kenaikan harga minyak serta menunggu kepastian lebih lanjut terkait arah kebijakan perdagangan dan tarif dari Amerika Serikat.

Sikap hati-hati BoJ dinilai sejalan dengan pendekatan yang dibutuhkan saat ini—mengingat ekonomi Jepang sedang berada pada fase pemulihan yang hati-hati pasca kenaikan suku bunga pertama dalam lebih dari satu dekade pada awal tahun ini. Jika bank sentral menegaskan kembali komitmennya terhadap dukungan kebijakan moneter akomodatif, maka hal tersebut bisa menjadi katalis tambahan bagi penguatan pasar saham.

Saham Jepang Tetap Resilien di Tengah Ketidakpastian Global

Ketahanan pasar saham Jepang di tengah eskalasi ketegangan geopolitik mencerminkan kekuatan internal dan respons positif terhadap kondisi makroekonomi yang mendukung. Dukungan dari pelemahan yen, prospek ekspor yang cerah, serta ekspektasi kebijakan moneter yang stabil dari Bank of Japan menjadi faktor utama di balik performa positif ini. Dengan perhatian pasar kini beralih ke arah kebijakan BoJ dan dinamika global, investor disarankan tetap waspada namun optimistis terhadap prospek jangka pendek saham Jepang.

Kamis, 12 Juni 2025

Ekonomi Inggris Menyusut 0,3% di Bulan April Akibat Dampak Tarif dan Kenaikan Pajak

 


Perekonomian Inggris mencatat kontraksi bulanan terbesar dalam 18 bulan terakhir, menyusul dampak kombinasi kenaikan pajak tajam dan tarif dagang yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump. Data terbaru ini memberikan tekanan terhadap pemerintahan Partai Buruh pimpinan Perdana Menteri Keir Starmer, yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi untuk membiayai program belanja publiknya yang ambisius.

Produk domestik bruto (PDB) Inggris turun sebesar 0,3% pada bulan April, menurut laporan Kantor Statistik Nasional (ONS) pada Kamis. Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar yang memprediksi penurunan hanya sebesar 0,1%. Sektor jasa dan manufaktur mengalami penurunan, sementara konstruksi menunjukkan sedikit pertumbuhan.

Kontraksi ini menjadi pukulan keras bagi Starmer, yang sebelumnya mengklaim bahwa Inggris mulai bangkit setelah mencatatkan pertumbuhan solid pada kuartal pertama 2025 dan melampaui kinerja ekonomi negara-negara anggota G7 lainnya. Sayangnya, data terbaru ini menandai potensi melambatnya pertumbuhan pada kuartal kedua, seiring meningkatnya pemutusan hubungan kerja, beban pajak, serta tekanan dari perang dagang global yang dilancarkan oleh Trump.

Dampak Kenaikan Pajak dan Tarif Trump Semakin Terasa

Pada bulan April, ekspor barang Inggris ke AS tercatat mengalami penurunan terbesar sejak pencatatan dimulai pada Januari 1997, akibat gelombang ekspor besar-besaran di kuartal pertama untuk menghindari tarif baru. Dampak ini, ditambah dengan tekanan dari pajak penghasilan dan upah minimum yang dinaikkan oleh Menteri Keuangan Rachel Reeves dalam anggaran pertamanya, menekan konsumsi dan permintaan domestik.

Suren Thiru, Direktur Ekonomi di Institute of Chartered Accountants di Inggris dan Wales, menyebut bahwa lemahnya pertumbuhan menjadi "sakit kepala besar" bagi Menteri Reeves. Menurutnya, melemahnya ekonomi membuat upaya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan yang cukup demi mendukung belanja publiknya menjadi lebih sulit, dan membuka kemungkinan kenaikan pajak lanjutan dalam Anggaran Musim Gugur mendatang.

Reeves sendiri menyebut data PDB ini “jelas mengecewakan,” meski dalam wawancara dengan BBC kemudian hari, ia menekankan bahwa angka bulanan cenderung fluktuatif dan menyoroti bahwa kesepakatan dagang Inggris dengan India, AS, dan Uni Eropa akan mendukung pertumbuhan ke depan, terutama setelah reformasi sistem perencanaan kota yang diusung Partai Buruh.

Suku Bunga dan Risiko Fiskal Semakin Mengemuka

Kontraksi ini menjadi yang pertama sejak enam bulan terakhir dan yang terbesar sejak kemenangan telak Partai Buruh pada pemilu musim panas lalu. Para ekonom kini memperkirakan pertumbuhan hanya akan mencapai 0,1% pada kuartal kedua tahun ini. Kondisi ini memicu ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga lanjutan oleh Bank of England, dengan pasar sepenuhnya memperhitungkan dua pemangkasan suku bunga tambahan masing-masing sebesar 0,25 poin persentase.

Pemerintah Starmer berharap momentum dari pertumbuhan kuartal pertama bisa membantu membiayai pemulihan layanan publik, termasuk rencana Reeves untuk meningkatkan investasi di sektor transportasi, pertahanan, energi, dan sistem kesehatan nasional (NHS). Namun, data terbaru ini menunjukkan bahwa euforia pertumbuhan mungkin terlalu prematur.

Reeves sebelumnya membatalkan rencana pemangkasan subsidi musim dingin untuk pensiunan setelah pertumbuhan kuartal pertama terlihat positif. Namun strategi ini bisa berbalik arah, terutama jika ekonomi gagal mempertahankan momentumnya dan target penerimaan negara meleset.

Permintaan Lemah, Pengangguran Naik, dan Daya Beli Terkikis

Ekonomi Inggris juga kehilangan lebih dari seperempat juta lapangan kerja sejak Reeves menaikkan pajak gaji dan upah minimum nasional. Konsumen yang sebelumnya berbelanja besar di kuartal pertama mulai menahan pengeluaran mereka, tercermin dari turunnya penjualan ritel dan output sektor jasa.

ONS melaporkan bahwa output sektor jasa, yang merupakan kontributor terbesar bagi PDB Inggris, turun 0,4%. Aktivitas pengacara dan agen properti menurun tajam, mencerminkan anjloknya transaksi rumah akibat percepatan pembelian sebelum kenaikan pajak properti diberlakukan. Sementara itu, sektor manufaktur mengalami penurunan produksi sebesar 0,9%.

Analisis: Apakah Ini Awal dari Resesi?

Thomas Pugh, Kepala Ekonom di RSM UK, menyatakan bahwa kontraksi bulan April tampaknya lebih mencerminkan "distorsi sementara" akibat penyesuaian dari kebijakan tarif dan pajak yang diberlakukan sebelumnya. Ia menilai bahwa prediksi resesi tampak terlalu pesimistis untuk saat ini.

Meski begitu, proyeksi pertumbuhan kuartalan Inggris hanya berada di kisaran 0,3% hingga akhir 2026. Hal ini menunjukkan tekanan fiskal masih sangat nyata, dan membuka jalan bagi kemungkinan pemerintah menaikkan pajak lagi untuk menjaga defisit anggaran dalam batas yang aman.

Kesimpulan: Ekonomi Inggris Hadapi Kenyataan Baru

Data terbaru ini menjadi peringatan penting bagi pemerintahan Partai Buruh bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah sesuatu yang bisa dianggap pasti. Kombinasi tekanan global seperti perang dagang, penurunan daya beli konsumen, dan kebijakan fiskal domestik yang agresif menciptakan tantangan kompleks bagi kebijakan ekonomi pemerintah.

Pemerintah Inggris perlu lebih cermat menyeimbangkan ambisi belanja publik dengan kondisi ekonomi riil, terutama jika ingin menjaga stabilitas fiskal dan menghindari ketergantungan pada utang atau pajak tambahan dalam jangka menengah.

Selasa, 10 Juni 2025

Indeks Dolar AS Menguat di Tengah Harapan Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok

 


Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur nilai Dolar AS (USD) terhadap enam mata uang utama dunia, bangkit kembali ke sekitar 99,25 selama sesi awal Eropa pada Selasa (10/06). Penguatan ini didorong oleh membaiknya sentimen risiko di pasar global, dengan para investor secara cermat memantau hasil perundingan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dijadwalkan akan dilanjutkan di London pada hari yang sama.

Perundingan dagang yang krusial antara kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini telah dimulai di London pada hari Senin dan memasuki hari kedua pada Selasa. Pemerintahan Trump telah mengisyaratkan kesediaannya untuk mencabut beberapa pembatasan ekspor teknologi. Sebagai imbalannya, Amerika Serikat mengharapkan jaminan dari Tiongkok mengenai pelonggaran pembatasan pengiriman rare earth (logam tanah jarang), komoditas yang sangat penting untuk berbagai produk energi, pertahanan, dan teknologi mutakhir. Perkembangan ini merupakan indikasi positif yang dapat membuka jalan bagi resolusi konflik dagang yang telah berlangsung lama.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menggambarkan diskusi pada hari Senin sebagai "pertemuan yang baik," sebuah pernyataan yang menambah optimisme di pasar. Optimisme mengenai meredanya ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok berhasil meredam kekhawatiran akan perlambatan ekonomi di kedua negara adidaya tersebut, yang pada gilirannya memberikan dukungan signifikan bagi greenback (Dolar AS). Fokus pasar selanjutnya akan tertuju pada data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk bulan Mei, yang akan dirilis pada hari Rabu. Laporan ini sangat dinantikan karena dapat memberikan petunjuk penting mengenai dampak tarif yang telah diberlakukan dan prospek suku bunga di masa mendatang. Konsensus pasar memproyeksikan IHK utama diperkirakan akan naik sebesar 2,5% secara tahunan (YoY) pada Mei, sementara IHK inti diperkirakan naik sebesar 2,9% secara tahunan pada periode yang sama. Apabila laporan menunjukkan pembacaan inflasi yang lebih rendah dari perkiraan, hal tersebut berpotensi menyeret Dolar AS lebih rendah secara keseluruhan, mengingat implikasinya terhadap kebijakan moneter Federal Reserve.

Selasa, 27 Mei 2025

Harga Minyak Melemah karena Ekspektasi Kenaikan Produksi OPEC+ Membebani Sentimen Pasar

 


Harga minyak turun pada hari Selasa karena pasar mulai mengantisipasi kemungkinan keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi minyak mentah pada pertemuan yang dijadwalkan minggu ini. Prospek peningkatan pasokan ini memicu kekhawatiran akan tekanan pada keseimbangan pasar global dan membebani sentimen investor yang sebelumnya terdorong oleh ketatnya pasokan.

Pasar Mengantisipasi Keputusan OPEC+

Kontrak berjangka Brent turun 12 sen atau sekitar 0,19% menjadi \$64,62 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 15 sen atau 0,24% ke posisi \$61,38 per barel. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa OPEC+ — kelompok yang terdiri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya — akan menyepakati peningkatan produksi, yang berpotensi menambah pasokan global dan menekan harga lebih lanjut.

Menurut sumber internal OPEC+ yang dikutip oleh Reuters, delapan negara anggota yang sebelumnya sepakat untuk melakukan pemangkasan produksi secara sukarela akan mengadakan pertemuan pada 31 Mei, sehari lebih awal dari jadwal semula. Pertemuan tersebut diperkirakan akan menetapkan level produksi untuk Juli, dengan proyeksi peningkatan sebesar 411.000 barel per hari.

Dampak Kebijakan dan Ketegangan Geopolitik

Meskipun tekanan jual mendominasi pasar, penurunan harga minyak masih terbatas setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan perpanjangan negosiasi dagang dengan Uni Eropa hingga 9 Juli. Langkah ini meredakan kekhawatiran jangka pendek tentang potensi tarif tambahan yang dapat menghambat permintaan bahan bakar, khususnya di sektor transportasi dan industri berat.

Selain itu, pasar juga memantau perkembangan dari Iran. Perusahaan Minyak Nasional Iran (NIOC) menetapkan harga jual resmi minyak ringan untuk pembeli Asia pada bulan Juni sebesar \$1,80 per barel di atas rata-rata harga Oman/Dubai, naik dari premium \$1,65 pada bulan Mei. Strategi harga ini menegaskan tekad Iran untuk mempertahankan pangsa pasar di Asia di tengah ketidakpastian geopolitik yang sedang berlangsung.

Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyatakan bahwa negaranya mampu bertahan jika perundingan nuklir dengan AS gagal mencapai kesepakatan. Pernyataan ini menambah kompleksitas dinamika pasar minyak global. Jika negosiasi nuklir menemui jalan buntu, sanksi ekonomi terhadap Iran bisa diperketat, sehingga membatasi ekspor minyak negara tersebut dan berpotensi menopang harga minyak di pasar global.

Harga Minyak Rentan terhadap Tekanan Pasokan dan Sentimen Global

Harga minyak dunia saat ini berada dalam posisi rentan, diapit oleh ekspektasi kenaikan produksi OPEC+ dan ketidakpastian geopolitik yang terus bergulir. Sementara kebijakan dagang AS dan dinamika perundingan nuklir Iran menjadi faktor pendukung harga, tekanan pasokan dari potensi peningkatan produksi tetap menjadi fokus utama pelaku pasar.

Keseimbangan antara faktor fundamental pasokan dan permintaan global akan sangat menentukan arah harga minyak dalam waktu dekat. Jika OPEC+ benar-benar memutuskan untuk meningkatkan produksi tanpa diimbangi oleh kenaikan permintaan global, tekanan pada harga minyak kemungkinan akan terus berlanjut.