Jumat, 15 Februari 2019

Karena OPEC, Harga Minyak Melonjak 20% Sejak Awal Tahun | PT Rifan Financindo

Karena OPEC, Harga Minyak Melonjak 20% Sejak Awal Tahun
PT Rifan Financindo - Harga minyak mentah dunia pada perdagangan Jumat ini (15/2) masih melanjutkan penguatan.

Hingga pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak April naik sebesar 0,63% ke posisi US$ 64,98/barel, setelah kemarin juga menguat 1,51%.

Sementara harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Maret juga menguat sebesar 0,68% ke level US$ 54,78/barel, setelah ditutup naik 0,95% pada perdagangan kemarin.

Selama sepekan ini, harga minyak tercatat naik sekitar 4,28% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun, harga emas hitam masih tercatat naik sekitar 20%.


Harga minyak masih terus didorong oleh pengurangan pasokan minyak dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya yang sudah mulai dilakukan sejak Januari lalu.

Sebelumnya, OPEC bersama Rusia dan sekutunya yang lain juga sepakat untuk mengurangi pasokan minyak sebanyak 1,2 juta barel/hari.

Teranyar, Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa Negeri Padang Pasir tersebut akan mengurangi pasokan minyak lebih banyak dari jumlah yang telah disepakati.

Selain itu, meskipun masih jauh dari target, Rusia juga telah mengurangi produksi minyak sekitar 80.000-90.000 barel/hari.

Namun demikian, stok minyak mentah Amerika Serikat yang meningkat pada minggu lalu ke level tertingginya sejak November 2017 membuat pelaku pasar masih khawatir keseimbangan fundamental di pasar minyak dunia tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/tas)


Kamis, 14 Februari 2019

Perjanjian Dagang AS-China Dinantikan, Ini Bocoran Isinya

Perjanjian Dagang AS-China Dinantikan, Ini Bocoran Isinya
Foto: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menghadiri jamuan makan malam setelah pertemuan pemimpin G20 di Buenos Aires, Argentina 1 Desember 2018. REUTERS / Kevin Lamarque
Rifanfinancindo - Tim perunding Amerika Serikat (AS) berupaya untuk memperkuat posisinya bila China melanggar janji-janji perdagangannya sebagaimana yang terjadi di masa lalu, The New York Times melaporkan.

Prioritas tertinggi bagi Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Perwakilan Dagang Robert Lighthizer adalah menetapkan mekanisme pengenaan kenaikan bea impor otomatis terhadap produk China bila ekspornya ke AS terus meningkat, tulis surat kabar tersebut, Selasa (13/2/2019), dengan mengutip tiga orang yang mengetahui hal tersebut.

Kedua pejabat tinggi AS itu sedang berada di China untuk melakukan perundingan dagang dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He Kamis dan Jumat ini.


China memiliki sejarah panjang pelanggaran kesepakatan dagang.

Perjanjian Dagang AS-China Dinantikan, Ini Bocoran Isinya
Foto: Presiden AS Donald Trump, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, penasehat keamanan nasional Presiden AS Donald Trump John Bolton, menghadiri jamuan makan malam dengan Presiden China Xi Jinping setelah KTT para pemimpin G20 di Buenos Aires, Argentina 1 Desember 2018. REUTERS / Kevin Lamarque

Ketika China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di 2001, negara tersebut berjanji akan mengizinkan investor asing mengakses pasar perbankan dan telekomunikasinya. Faktanya, Negeri Tirai Bambu masih menutup pintu terhadap perusahaan asing masuk ke sektor itu hingga hari ini, dilansir dari CNBC International.

Delegasi AS ingin memastikan China akan mendapat hukuman bila mengulangi hal tersebut di masa depan.

Mekanisme seperti ini sebetulnya bukan hal yang baru. Cara serupa pernah diterapkan di 2001 ketika China bergabung dengan WTO dan mantan Presiden AS Barack Obama melakukannya di 2009 untuk mengenakan bea impor terhadap impor ban dari China ketika pasar AS terganggu.

Namun, China membalasnya dengan mengenakan bea masuk terhadap mobil dan produk unggas AS. Aturan itu kadaluwarsa di 2013.

Delegasi AS sekarang berupaya membuat China taat akan janjinya dan membuat kesepakatan terkait beberapa isu, seperti perlindungan kekayaan intelektual dan membatasi subsidi pemerintah.(prm)



Selasa, 12 Februari 2019

Bahas Damai Dagang, AS-China Sama-sama Semai Harapan - Rifan Financindo

Bahas Damai Dagang, AS-China Sama-sama Semai Harapan
Rifan Financindo - Amerika Serikat (AS) dan China sama-sama mengungkapkan harapannya bahwa perundingan dagang lanjutan antara kedua negara dapat meredakan ketegangan perang dagang.

Delegasi kedua negara kembali bertemu di Beijing dalam pertemuan tingkat wakil menteri, Senin (11/2/2019). Kedua negara diperkirakan membahas mengenai isu-isu terkait perlindungan hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi paksa yang disebut dilakukan China terhadap perusahaan AS yang berbisnis di negaranya.

AS dan China memiliki waktu hingga 1 Maret untuk mencapai kesepakatan sesuai dengan gencatan senjata 90 hari yang disepakati di Argentina awal Desember lalu. Bila masih buntu, AS akan menaikkan bea impor terhadap berbagai produk China menjadi 25% dari 10% saat ini.

Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett mengatakan pemerintahan Presiden Donald Trump senang pembicaraan dagang berlanjut namun juga memperingatkan bahwa 1 Maret adalah benar-benar tenggat waktu terakhir untuk mencapai kesepakatan.

Bahas Damai Dagang, AS-China Sama-sama Semai Harapan
Foto: Presiden AS Donald Trump bertemu Wakil Perdana Menteri China Liu He (AP Photo/Susan Walsh)
Pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing itu akan dilanjutkan dengan pertemuan tingkat tinggi setelah perundingan pekan lalu di Washington belum menelurkan perjanjian yang dinantikan itu.

"Pejabat junior sedang mengupayakan sesuatu saat ini yang akan mereka presentasikan kepada pejabat senior pekan ini," kata Hassett kepada Fox Business Network, dilansir dari Reuters.

"Dan, tentu saja, kami membahas semuanya, termasuk pencurian kekayaan intelektual dan transfer teknologi paksa dan seterusnya," tambahnya.

Ia juga mengatakan Gedung Putih sangat menantikan hasil apa yang disampaikan pejabat senior pekan ini.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying juga menyampaikan pernyataan bernada harapan.

"Kami, tentu saja, berharap untuk mendapatkan hasil yang baik, begitu juga masyarakat seluruh dunia," ujarnya dalam konferensi pers rutin, Senin.


Senin, 11 Februari 2019

Harga Emas Dunia Lanjut di Jalur Pendakian - PT Rifan Financindo

Harga Emas Dunia Lanjut di Jalur Pendakian
PT Rifan Financindo - Harga emas dunia melanjutkan tren kenaikan di perdagangan hari ini. Sejak awal tahun, harga sang logam mulia sudah melonjak lumayan tajam.

Pada Senin (11/2/2019) pukul 08:26 WIB, harga emas dunia naik 0,03%. Dalam sepekan terakhir, harga komoditas ini sudah naik 0,27%.

Sedangkan sejak awal tahun, harga emas melesat dengan penguatan 2,47%. Namun dibandingkan posisi setahun lalu, harga masih terkoreksi 0,57%.

Berikut perkembangan harga emas dunia:  

(aji/aji)


Kamis, 07 Februari 2019

Aduh, Rupiah Kini Terlemah di Asia... | Rifanfinancindo

Aduh, Rupiah Kini Terlemah di Asia... 
Rifanfinancindo - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot hari ini semakin menjadi. Minimnya sentimen positif membuat mata uang Tanah Air tidak bisa berbuat banyak. 

Pada Kamis (7/2/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 13.975. Rupiah sudah melemah 0,42% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Padahal kala pembukaan pasar, depresiasi rupiah tipis saja di 0,06%. Seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah seolah tanpa rem. 

Sesaat setelah pembukaan pasar, rupiah berada di urutan kedua terbawah klasemen mata uang Asia. Namun dengan pelemahan 0,42%, mau tidak mau posisi rupiah melorot menjadi juru kunci. 

Memang yuan China mencatatkan depresiasi lebih dalam. Namun pasar keuangan Negeri Tirai Bambu masih tutup memperingati Tahun Baru Imlek, sehingga kurs yuan masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:04 WIB:

Mata UangKursPerubahan (%)
 USD/HKD 7.85-0.01
 USD/IDR 13,975.000.42
 USD/INR 71.620.11
 USD/JPY 109.78-0.16
 USD/KRW 1,122.770.20
 USD/MYR 4.09-0.07
 USD/PHP 52.330.08
 USD/SGD 1.360.01
 USD/THB 31.290.13
 USD/TWD 30.790.03
 USD/CNY 6.740.70



 
Dari dalam negeri, sentimen negatif buat rupiah adalah penantian investor terhadap data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang rencananya dirilis esok hari. Bank Indonesia (BI) memperkirakan NPI kuartal IV-2018 bisa surplus, tetapi defisit di transaksi berjalan (current account) masih cukup lebar di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  

Artinya, pasokan devisa yang berjangka panjang dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa masih seret. Padahal ini adalah fundamental penting yang menyokong rupiah, dibandingkan arus modal portofolio alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Dengan kondisi fundamental yang agak rentan, rupiah pun ikut rawan terdepresiasi. Investor tentu menjadi berpikir ulang untuk mengoleksi rupiah, karena nilainya berisiko turun pada kemudian hari. 

Selain itu, harus diakui bahwa penguatan rupiah beberapa waktu terakhir sedikit 'keterlaluan'. Rupiah menguat hingga 3% terhadap dolar AS sejak awal tahun. Di hadapan mata uang lain di dunia, rupiah juga menguat signifikan.

Ini membuat rupiah sangat mungkin terserang koreksi teknikal. Sebab investor yang sudah menang banyak tentu akan tergoda untuk mencairkan keuntungan. Rupiah pun rawan terkena ambil untung (profit taking).

Sementara dari faktor eksternal, dolar AS sendiri memang sedang menguat secara global. Pada pukul 09:13 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini melesat 0,88%.

Menurut survei Reuters, ternyata dolar AS belum kehilangan pesonanya. Dalam jajak pendapat yang hasilnya dirilis 2 Februari lalu, investor justru menambah posisi jangka panjang mereka di mata uang Negeri Paman Sam. Artinya, pelaku pasar masih percaya terhadap dolar AS.

Pada pekan terakhir 2018, posisi jangka panjang di dolar AS mencapai US$ 32,48 miliar. Naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu US$ 29,72 miliar.

Sepertinya investor masih ragu terhadap prospek perekonomian di Asia, Eropa, dan wilayah lainnya. Potensi perlambatan ekonomi di China dan Zona Euro membuat pemilik modal masih berhasrat untuk memegang dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)