Jumat, 14 Juni 2019

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar - Rifan Financindo

Ada 'Hantu' Baru di Pasar Global, Harga Batu Bara Gemetar
Rifan Financindo Palembang - Tekanan pada harga komoditas batu bara global semakin berat seiring dikeluarkannya izin proyek tambang Charmicael, Australia. Kala sudah beroperasi secara penuh, proyek tersebut diperkirakan akan membuat ekspor batu bara thermal Australia meningkat hingga dua kali lipat.

Pada akhir perdagangan hari Kamis (13/6/2019), harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Juli di bursa Intercontinental Exchange (ICE) berada di level US$ 72,25/metrik ton, atau melemah 0,55% dibanding hari sebelumnya. Pada posisi tersebut, harga batu bara merupakan yang paling rendah sejak 15 Mei 2017.

Kemarin, pemerintah Australia telah mengeluarkan izin proyek pembangunan tambang batu bara raksasa Charmicael kepada Adani Australia, yang merupakan anak perusahaan batu bara raksasa asal India, Adani Group.

"Mulai hari ini hingga dua tahun ke depan, orang-orang akan berkekspektasi kami untuk melakukan ekspor pertama batu bara," ujar Lucas Dow, CEO Adani Mining, mengutip Reuters, Kamis (13/6/2019).

Berdasarkan pemberitaan dari Yahoo Finance, seperti yang dikutip dari Reuters, tambang baru tersebut berpotensi menghasilkan 60 juta ton batu bara thermal setiap tahun. Namun pada fase awal, perusahaan rencananya akan memproduksi 10 ton.

"Ekspor batu bara thermal Queensland bisa tumbuh lebih pesat dibanding yang telah diprediksi sebelumnya, seiring dengan izin pemerintah setempat yang memungkinkan untuk memulai pembangunan [proyek]," ujar Viktor Tanevski, analis konsultan Wood Mackenzie dalam sebuah catatan.

"Fase awal 10 juta ton dari proyek tersebut ditujukan untuk ekspor ke India, yang dapat memberikan tekanan ke bawah pada harga batu bar thermal, dan juga bersaing dengan batu bara abu tinggi lain dari Australia dan Afrika Selatan yang mengalir ke India."

India merupakan destinasi batu bara Impor terbesar kedua di dunia, dengan pangsa pasar mencapai 19%. Sementara China masih menjadi yang terbesar dengan porsi mencapai 22%.

Sementara di China, sentimen untuk batu bara impor juga masih tidak bagus.

Pemerintah China masih belum mencabut kebijakan pembatasan impor yang telah diberlakukan sejak tahun 2018. Kebijakan tersebut membatasi kuota impor batu bara pada level yang sama dengan tahun 2017.

Alhasil sepanjang 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton naik tipis dari 271,1 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding impor pada tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.

Apalagi kali ini produksi batu bara di China juga ada kemungkinan meningkat. Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) mengatakan ada kapasitas produksi batu bara tambahan sebesar 194 juta ton yang siap digarap pada tahun 2019. Asosiasi Perusahaan Tambang Batu Bara China juga telah memasang target peningkatan produksi sebesar 100 juta ton di tahun 2019.

Dikombinasikan dengan sentimen perlambatan ekonomi global yang tengah melanda, tentu saja peningkatan pasokan bukan kabar baik. Keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi sangat timpang dan menekan harga.

Sebagai catatan, harga batu bara Newcastle mengacu pada batu bara kalori 6.000 kcal. (taa/taa)

Sumber : CNBC
 

Kamis, 13 Juni 2019

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas - PT Rifan Financindo

Dolar AS Tak Lagi Seksi, Investor Lebih Suka Emas
Foto: Dok Freepik
PT Rifan Financindo Palembang - Harga emas global masih melanjutkan penguatan yang dimulai sejak kemarin seiring dengan tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) yang rendah. Rendahnya inflasi membuat peluang bank sentral (The Federal Reserves/The Fed) untuk menurunkan suku bunga semakin besar.

Pada perdagangan Rabu (13/5/2019) pukul 10:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) naik 0,13% ke posisi US$ 1.338,5/troy ounce. Adapun harga emas di pasar spot naik 0,23% menjadi US$ 1.336,26/troy ounce pada waktu yang sama.

Kemarin harga emas COMEX dan spot juga menguat masing-masing sebesar 0,42% dan 0,49%.

Tingkat inflasi AS pada bulan Mei yang hanya sebesar 0,1% MoM atau 1,8% YoY membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed bisa saja menurunkan suku bunga acuan (Federal Fund Rate/FFR) dalam waktu dekat.

Pasalnya, inflasi Mei tercatat lebih lambat dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 0,3% Mom atau 1,9% YoY. Perlambatan inflasi dapat mencerminkan permintaan konsumen yang lesu, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk menaikkan harga.

Bila benar suku bunga acuan The Fed turun, bahkan dalam waktu dekat, maka kemungkinan besar nilai aset-aset yang berbasis dolar akan terkoreksi. Apalagi, enam hari lagi komite penentu kebijakan The Fed (FOMC) akan kembali menggelar rapat, yang bisa saja mengumumkan penurunan suku bunga saat itu.

Alhasil investor cenderung untuk mengalihkan asetnya ke bentuk safe haven selain dolar AS, yang mana emas merupakan salah satunya.

Selain itu pada hari ini, nilai Dollar Index (yang menyatakan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia masih tercatat melemah 0,09%. Harga emas pun jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Investor pun makin tergoda untuk banyak-banyak mengoleksi emas.


TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
 

Rabu, 12 Juni 2019

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai – Rifanfinancindo

AS-China Lanjut Perang Urat Saraf, Indeks Shanghai Terkulai
Foto: REUTERS/Jason Lee
Rifanfinancindo Palembang - Indeks Shanghai dibuka melemah 0,29% ke level 2.917,22, sementara indeks Hang Seng jatuh 0,67% ke level 27.603,12.

Perang urat saraf AS-China di bidang perdagangan yang terus terjadi membuat aksi jual menerpa bursa saham China dan Hong Kong. Menjelang gelaran KTT G-20 pada akhir bulan ini di Jepang yang berpeluang mempertemukan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping, nada keras dilontarkan oleh kedua belah negara.

Trump menegaskan bahwa dirinya tidak ingin sebuah kesepakatan dagang yang merugikan Negeri Adidaya. 

"China adalah kompetitor utama dan mereka ingin sebuah kesepakatan yang merugikan (bagi AS). Memang saya yang menunda terjadinya kesepakatan, karena saya ingin ada kesepakatan yang luar biasa atau tidak sama sekali," papar Trump, dilansir dari Reuters.

"Sebenarnya kami sudah sepakat dengan China, tetapi mereka malah bergerak mundur. Mereka bilang tidak ingin ada empat hal, lima hal. Namun kami sudah sepakat dengan China, dan kecuali mereka mau kembali ke kesepakatan itu maka saya tidak tertarik," lanjutnya.

Dari pihak China, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.

"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.

Jika tak ada resolusi dalam waktu dekat, maka perang dagang antar kedua negara yang sudah berlangsung begitu lama bisa tereskalasi. Akibatnya, laju perekonomian AS dan China akan diterpa tekanan yang lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)


Selasa, 11 Juni 2019

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS - Rifan Financindo

Trump Klaim China Bakal Teken Kesepakatan Dagang dengan AS
Rifan Financindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengklaim damai dagang antara AS dengan China bakal terwujud. Demikian disampaikan Trump dalam sebuah wawancara ekslusif via telepon dengan Joe Kernen pada program "Squawk Box", Senin (10/6/2019) waktu setempat.

"Kesepakatan (dengan) China akan berhasil. Anda tahu mengapa? Karena tarif. Saat ini China semakin "dihancurkan" oleh perusahaan yang meninggalkan China, hijrah ke negara lain, termasuk ke negara kita (AS), karena mereka (perusahaan-perusahaan) tidak ingin membayar tarif," kata Trump.

Kendati demikian, belum jelas sampai sejauh mana China dirugikan oleh kebijakan tarif AS. Sebab, pada Senin (10/6/2019) pagi waktu setempat, data yang dirilis pemerintah Negeri Tirai Bambu malah menunjukkan surplus dagang China dengan AS pada Mei 2019 semakin melebar.

Dalam kesempatan itu, Trump juga merespons secara langsung Wakil Presiden sekaligus Kepala Hubungan Internasional Kamar Dagang AS Myron Brilliant. Dalam program yang sama, Brilliant menilai kebijakan tarif a la Trump malah membawa dampak negatif.

"Tarif telah meningkatkan ancaman terhadap perekonomian kita, petani kita, produsen kita, konsumen kita, akan merugikan negara kita. Ini juga menciptakan ketidakpastian dengan mitra dagang kami," ujar Brilliant.

Menurut Trump, "Dia (Brilliant) tidak melindungi negara kita. Dia melindungi perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang AS."

Sekadar gambaran, rezim pemerintahan Trump menggunakan tarif atas barang impor asal China demi mengatasi berbagai isu, termasuk defisit perdagangan. Trump juga menggunakan tarif sebagai cara untuk membawa China ke meja perundingan.

Sejauh ini, AS telah mengenakan tarif atas barang impor asal China senilai US$ 250 miliar. Sebagai balasan, China telah menerapkan tarif atas barang impor asal AS senilai US$ 100 miliar. Trump telah mengancam akan mengenakan tambahan tarif senilai lebih dari US$ 300 miliar.

Suami dari Melania Trump itu dijadwalkan akan berjumpa dengan Presiden China Xi Jinping di ajang KTT G-20, akhir bulan ini, demi membahas kesepakatan dagang kedua negara.(miq/miq)

Sumber : CNBC
 
 

Senin, 10 Juni 2019

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya - PT Rifan Financindo

Harga Minyak Mulai Merangkak Naik, Ini 2 Faktor Penyebabnya
Foto: Infografis/10 Kkks Utama Produksi Minyak/Edward Ricardo
PT Rifan Financindo Palembang - Harga minyak mentah dunia lanjut menguat untuk hari ke-3. Kekhawatiran akan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Meksiko yang telah surut membuat proyeksi permintaan minyak kembali meningkat.

Rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) melanjutkan pengurangan produksi hingga akhir tahun 2019 juga memberi sentimen pada pergerakan harga.

Pada perdagangan hari Senin (10/6/2019) pukul 08:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus menguat 0,58% ke level US$ 63,66/barel. Sementara jenis light sweet (WTI) naik 0,69% menjadi US$ 54,36/barel.


Dalam sepekan kemarin, harga Brent dan WTI mampu membukukan penguatan masing-masing sebesar 0,92% dan 2,1% secara point-to-point.



Pasar minyak kembali mendapat energi positif setelah AS dan Meksiko dikabarkan telah mencapai kesepakatan yang bisa meruntuhkan potensi perang dagang antara keduanya.
Mengutip Reuters, kedua negara dikabarkan telah mencapai kesepakatan pada hari Jumat (7/6/2019) setelah perundingan berjalan selama 3 hari di Washington.

Keputusan tersebut disampaikan bersama oleh delegasi kedua negara dan mengatakan Meksiko telah setuju untuk menerima lebih banyak migran yang mencari suaka ke AS ketika menunggu putusan atas kasus mereka.

Meksiko juga setuju untuk meningkatkan penegakan hukum untuk menahan arus imigrasi ilegal, termasuk menempatkan Garda Nasional di perbatasan bagian Selatannya.

Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump telah mengancam akan mengenakan bea impor sebesar 5% terhadap produk Meksiko mulai 10 Juni apabila tidak ada kesepakatan mengenai permasalahan imigran gelap. Tidak hanya itu, dirinya juga berencana menaikkan bea impor hingga sebesar 25% kecuali Meksiko mengambil langkah serius mengenai masalah tersebut.

Dengan begini, potensi perang dagang baru AS dengan Meksiko setidaknya dapat dihindari. Untuk sementara waktu. Pasokan minyak dari Meksiko dapat kembali mengalir ke kilang-kilang AS tanpa hambatan.

Selain itu, pada hari Jumat (7/6/2019), Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya harus memperpanjang kebijakan pengurangan pasokan hingga akhir tahun 2019, mengutip Reuters. Lebih lanjut, pihaknya tidak ingin bertarung mendapatkan pangsa pasar dengan Amerika Serikat dan membuat kejatuhan harga minyak terulang.

Presiden Rusia, Vladimir Putin juga menegaskan Negeri Beruang Merah akan secara bersama-sama mengambil kebijakan pengurangan pasokan dalam beberapa minggu ke depan, seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (6/6/2019).

Komentar tersebut sedikit menenangkan pelaku pasar karena sebelumnya Rusia terlihat sangat ingin untuk kembali menggenjot produksi minyak karena harga yang sudah normal.

Selama ini memang terjadi perbedaan persepsi atas harga minyak yang 'normal' menurut Rusia dan Arab Saudi.

Menurut catatan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), kerajaan dinasti Saud membutuhkan harga minyak pada kisaran US$ 80-85 untuk menyeimbangkan anggaran negara tahun ini. Namun Putin mengatakan harga minyak US$ 60-65 sudah cukup untuk Moskow.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)