Rabu, 19 Desember 2018

Pasokan Global Bengkak, Harga Minyak Terjerembab | PT Rifan Financindo

Pasokan Global Bengkak, Harga Minyak Terjerembab
PT Rifan Financindo -- Harga minyak dunia merosot pada perdagangan Selasa (18/12), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi menyusul membengkaknya stok minyak AS dan Rusia di tengah permintaan global yang justru melemah.

Dilansir dari Reuters, Rabu (19/12), harga minyak mentah Brent merosot US$2,54 atau 4,2 persen menjadi US$57,07 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, Brent sempat tertekan hingga ke level US$56,86 per barel.

Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$2,78 atau 5,5 persen menjadi US$47,10 per barel. Harga WTI sempat terjerembab hingga ke level US$46,97 per barel, terendah sejak September 2017.

Kedua harga minyak acuan telah anjlok lebih dari 30 persen sejak awal Oktober, akibat membengkaknya persediaan minyak global. Volume perdagangan juga relatif rendah pada Selasa (18/12) kemarin, mengingat pasar akan memasuki musim liburan. Selain itu, masa berlaku kontrak minyak mentah AS juga akan berakhir.

Survei Bank of America Merrill Lynch pada Desember mencatat kepercayaan diri investor semakin merosot karena perkiraan manajer investasi terkait pelemahan pertumbuhan ekonomi global selama 12 bulan ke depan. Proyeksi tersebut merupakan yang terburuk selama satu dekade terakhir.

Direktur Perdagangan Berjangka Mizuho Bob Yawger mengungkapkan pasokan minyak yang membanjir dibarengi dengan sinyal merosotnya permintaan dari pasar modal. Pemberitaan tersebut menekan harga minyak hingga ke level di bawah US$50 per barel.

"Hal itu memberi sinyal jual yang kuat," ujar Yawger di New York.

Pasokan yang bertambah diperkirakan berasal dari lapangan minyak terbesar di Inggris yang berpotensi kembali beroperasi. Pemerintah AS mengatakan produksi minyak tahun ini akan menyentuh 8 juta barel per hari (bph), seiring indikasi stok minyak AS bakal terkerek pekan ini.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, telah sepakat atas kebijakan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta bph. Jumlah tersebut setara dengan 1 persen permintaan global. Hal itu dilakukan demi menguras stok dan mendongkrak harga.

Kendati demikian, kesepakatan tersebut baru akan berlaku bulan depan. Sementara itu, tingkat produksi telah atau hampir memdekati rekor di AS, Rusia, dan Arab Saudi.

Sumber Reuters menyebutkan, produksi minyak Rusia akan mencetak rekor 11,42 juta bph bulan ini.

Di AS, Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan produksi di tujuh cekungan penghasil minyak shale utama AS bakal melampaui 8 juta bph untuk pertama kalinya di akhir tahun.

Mengutip data Genscape, para pedagang menyatakan Persediaan minyak AS di hub pengiriman minyak AS Cushing, Oklahoma, juga naik lebih dari 1 juta barel pada 11-14 Desember 2018.

AS telah menyalip Rusia dan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dengan total produksi yang mencapai 11,47 juta bph.

Di Inggris, operator Nexen pada awal pekan ini menyatakan lapangan minyak terbesar Buzzard kembali beroperasi usai rampungnya perbaikan pipanya. Buzzard menghasilkan lebih dari 150 ribu bph dan berkontribusi terbesar ke jaringan pipa Forties. (sfr/lav)

Sumber : CNN Indonesia
PT Rifan Financindo

Selasa, 18 Desember 2018

Efek Defisit Dagang Reda, Rupiah Kokoh Rp14.580 per Dolar AS | Rifanfinancindo

Efek Defisit Dagang Reda, Rupiah Kokoh Rp14.580 per Dolar AS
Rifanfinancindo -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.558 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Selasa pagi (18/12). Posisi ini menguat 22 poin atau 0,15 persen dari Senin sore (17/12) di level Rp14.580 per dolar AS, karena sentimen defisit neraca perdagangan mereda.

Di kawasan Asia, rupiah berada di zona hijau bersama mayoritas mata uang lain, seperti peso Filipina yang menguat 0,2 persen, baht Thailand 0,15 persen, won Korea Selatan 0,14 persen, yen Jepang 0,04 persen, dan dolar Singapura 0,03 persen.

Hanya dolar Hong Kong yang melemah 0,03 persen dari dolar AS, sementara ringgit Malaysia stagnan dari mata uang Negeri Paman Sam. 

Sedangkan mata uang utama negara maju justru bergerak lebih variatif. Dolar Kanada melemah 0,06 persen dan poundsterling Inggris minus 0,05 persen. Namun, dolar Australia, rubel Rusia, dan euro Eropa bersandar di zona hijau dengan menguat masing-masing 0,17 persen, 0,16 persen, dan 0,01 persen. Hanya frans Swiss yang stagnan dari dolar AS.

Analis CSA Research Institute Reza Priyambada memperkirakan rupiah akan menguat lebih tinggi pada hari ini, karena sentimen positif dari eksternal yang melemahkan dolar AS diperkirakan masih akan berlanjut.

Sentimen tersebut, yaitu antisipasi pasar terhadap pengumuman hasil rapat dewan gubernur bank sentral AS, Federal Reserve pada Kamis mendatang (20/12). Selain itu, masih ada kekhawatiran dari pasar bahwa ekononi global akan melambat tahun depan. 

Sementara itu, sentimen negatif dari dalam negeri berupa buruknya rilis neraca perdagangan diperkirakan bakal mereda hari ini.

"Diharapkan kondisi ini membuat rupiah dapat mengambil kesempatan untuk kembali menguat," ujarnya, Selasa (18/12).

Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin melaporkan kinerja neraca perdagangan Indonesia kembali dirundung defisit sebesar US$2,05 miliar secara bulanan pada November 2018. Sementara secara tahun berjalan, defisit sudah mencapai US$7,52 miliar sejak Januari-November 2018.(uli/lav)

Sumber : CNN Indonesia
Rifanfinancindo

Senin, 17 Desember 2018

Laju Permintaan Melambat Bikin Harga Minyak Lesu Pekan Lalu | Rifan Financindo

Laju Permintaan Melambat Bikin Harga Minyak Lesu Pekan Lalu
Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia merosot sepanjang pekan lalu, dipicu oleh sentimen pelemahan permintaan seiring proyeksi perekonomian yang melambat.

Dilansir dari Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent pada Jumat (14/12) merosot hampir 2,3 persen secara mingguan menjadi US$60,28 per barel. Penurunan juga terjadi secara harian sebesar US$1,17 per barel atau 1,9 persen akibat terseret oleh merosotnya kinerja pasar modal Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) secara mingguan turun hampir 2,7 persen menjadi US$51,2 per barel. Secara harian, penurunan yang terjadi sebesar US$1,38 atau 2,62 persen.

"Sektor perminyakan tetap rentan terhadap aksi jual di pasar modal, khususnya saat dikombinasikan dengan penguatan dolar AS seperti yang terjadi saat ini," ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.

Pada Jumat lalu, pasar modal AS secara umum merosot seiring dirilisnya data pertumbuhan ritel China yang mencatatkan laju pertumbuhan terlemah sejak 2003 dan kenaikan output industri yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Laporan tersebut menambah kegelisahan akibat hubungan dagang antara AS-China.

Hasil kilang perminyakan China pada November merosot dibandingkan Oktober tahun ini. Hal itu mengindikasikan melonggarnya permintaan minyak, meski secara umum produksi kilang meningkat 2,9 persen dibandingkan tahun lalu.

"Komoditas minyak mendapat tekanan dari buruknya data ekonomi China yang mengurangi pertumbuhan pada permintaan minyak yang baik pada 2019 di tengah pasar yang kelebihan pasokan saat ini," ujar Presiden Lipow Oi Associates Andrew Lipow di Houston.

Pada Jumat (7/12), Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) atau lebih dari 1 persen permintaan global. Kesepakatan tersebut dipicu oleh kekhawatiran terhadap membanjirnya pasokan.

Pada Kamis (13/12) lalu, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan defisit pasar minyak bakal terjadi pada kuartal II 2019. Hal itu tak lepas dari kesepakatan yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya.

Sebagai bagian dari kesepakatan pemimpin de facto OPEC Arab Saudi berencana memangkas produksinya menjadi 10,2 juta bph pada Januari 2019.

IEA memperkirakan pertumbuhan permintan minyak tahun depan sebesar 1,4 juta bph, tidak berubah dari proyeksi bulan lalu. Sementara itu, proyeksi permintaan sepanjang tahun ini diperkirakan sebesar 1,3 juta bph.

Di AS, laporan perusahaan pelayanan energi Baker Hughes mencatat jumlah rig minyak turun empat hingga 14 Desember 2018. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator produks di masa mendatang.

Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC) menyatakan, hingga pekan yang berakhir 11 Desember 2018, manajer keuangan memangkas taruhan pada posisi harga minyak bakal naik (bullish) ke level terendah dalam dua tahun terakhir.

Pada Jumat (14/12) lalu, Barclays memperkirakan harga minyak bakal pulih pada paruh pertama 2019 seiring menurunnya persediaan, pemangkasan produksi Arab Saudi dan berakhirnya masa pengecualian pemberlakuan sanksi Iran. (sfr/lav)

Sumber : CNN Indonesia 

Jumat, 14 Desember 2018

Harga Minyak Terdongkrak Penurunan Persediaan di AS | PT Rifan Financindo

Harga Minyak Terdongkrak Penurunan Persediaan di AS
PT Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Kamis (13/12), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi setelah rilis data persediaan minyak mentah menunjukkan pasokan komoditas tersebut di AS merosot. Selain itu, penguatan juga terjadi seiring ekspektasi investor terhadap potensi terjadinya defisit yang lebih cepat dari perkiraan di pasar minyak global.

Dilansir dari Reuters, Jumat (14/12), harga minyak mentah berjangka Brent menanjak US$0,57 atau satu persen menjadi US$60,72 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,79 atau 1,5 persen menjadi US$51,94 per barel.

Dalam laporan bulanan Badan Energi Internasional (IEA), kesepakatan pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya, termasuk Rusia dan Kanada, dapat menciptakan defisit pasokan di pasar minyak pada kuartal kedua tahun depan. Dengan catatan, para produsen utama minyak konsisten menjalankan kebijakan tersebut.


Di AS, mengutip data Genscape, para trader menyebutkan persedian minyak di hub pengiriman minyak Cushing, Oklahoma, merosot hampir 822 ribu barel pada pekan yang berakhir hingga 11 Desember 2018.

"Selama pekan lalu, pasar telah berusaha untuk stabil dan saya masih berpikir itu yang terjadi hari ini," ujar Manajer Riset Tradition Energy Gene McGillian di Stamford, Connecticut.

Menurut McGillian, pelemahan yang lebih jauh di pasar akan terjadi jika muncul sinyal kuat pertumbuhan permintaan akan merosot dan pasokan terus menanjak. Pasokan minyak global telah melampaui permintaan selama enam bulan belakangan.

Kondisi itu membengkakkan persediaan dan mendorong harga minyak mentah November 2018 ke level terendahnya selama lebih dari setahun. Namun, pada pekan lalu, OPEC dan sekutunya sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph). Namun, OPEC menilai permintaan minyak masih melambat.

Pada Rabu lau, OPEC menyatakan permintaan minyak mentah pada 2019 bakal merosot menjadi 31,44 juta barel per hari (bph). Proyeksi itu merosot 100 ribu bph dibandingkan proyeksi bulan lalu dan 1,53 juta bph di bawah level produksi saat ini.

Kantor Berita Iran IRNA melaporkan Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh menyatakan negaranya tidak memiliki rencana untuk mengurangi produksi minyak meski akan tetap menjadi anggota OPEC.

Analis Jefferies Jason Gammel menilai faktor seperti pemangkasan produksi dan berkurangya produksi di sejumlah negara seharusnya menjaga pasar tetap ketat pada paruh pertama tahun depan. Namun, ia menambahkan produksi minyak AS bakal mengalami akselerasi pertumbuhan pada paruh kedua tahun depan. Hal itu terjadi seiring meningkatkan kapasitas jaringan pipa yang terpasang di Cekungan Permian.

"Artinya, pada awal 2020, pasar dapat kembali ke kondisi kelebihan pasokan," ujar Gammel.

Mengakhiri 2018, AS memang akan mengukuhkan posisinya sebagai produsen minyak terbesar dunia, di atas Rusia dan Arab Saudi. Sejumlah analis dari RBC Capital Market menilai Pasokan dan permintaan global seharusnya mencapai kondisi keseimbangan tahun depan.

Kondisi ini membaik setelah sebelumnya pasar berada di kondisi kelebihan atau kekurangan pasokan yang lama sejak awal dekade terakhir. "Apakah hal itu cukup untuk membuat investor yang gelisah kembali ke pasar tetap menjadi topik hari ini," demikian dikutip Reuters dari catatan RBC Capital Markets.(sfr/agt)

Sumber : CNN Indonesia
PT Rifan Financindo

Kamis, 13 Desember 2018

Rupiah Menguat ke Rp14.545 per Dolar AS Meski Minim Sentimen | Rifanfinancindo

Rupiah Menguat ke Rp14.545 per Dolar AS Meski Minim Sentimen
Rifanfinancindo -- Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.545 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Kamis (13/12) pagi. Posisi ini menguat 52 poin atau 0,36 persen dibanding Rabu (12/12) yang di Rp14.598 per dolar AS.

Di kawasan Asia, beberapa mata uang masih berada di zona hijau bersama rupiah, seperti won Korea Selatan yang menguat 0,29 persen, peso Filipina 0,14 persen, baht Thailand 0 11 persen, dan dolar Singapura 0,01 persen.

Namun, ringgit Malaysia stagnan. Sedangkan dolar Hong Kong melemah 0,01 persen dan yen Jepang minus 0,09 persen.


Sementara beberapa mata uang utama negara maju yang kemarin menguat dari dolar AS, kini justru terperosok ke zona merah. Poundsterling Inggris melemah 0,09 persen, dolar Kanada minus 0,05 persen, dolar Australia minus 0,04 persen, dan euro Eropa minus 0,01 persen.


Meski begitu, franc Swiss dan rubel Rusia masih mampu bertahan di zona hijau, dengan menguat masing-masing 0,02 persen dan 0,03 persen. Meski menguat, Analis CSA Research Institute Reza Priyambada memperkirakan pergerakan rupiah masih akan dibayangi pelemahan.

Pasalnya, rupiah saat ini masih mendapatkan sentimen negatif, salah satunya dari sikap Presiden AS Donald Trump yang akan menuntut China atas tuduhan peretasan dan spionase ekonomi AS.

"Selain itu, pasar juga akan mengantisipasi rapat bank sentral AS, The Federal Reserve pekan depan," katanya, Kamis (13/12).

Dari dalam negeri rupiah juga tidak mendapatkan dukungan. Hal ini membuat penguatan rupiah terbatas dan masih renta terpengaruh sentimen negatif dari global.(uli/agt)

Sumber : CNN Indonesia
Rifanfinancindo