Senin, 21 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Emas Susah Tembus US$ 1.500/Oz, Apa Benar Mulai Ditinggalkan?

Emas Susah Tembus US$ 1.500/Oz, Apa Benar Mulai Ditinggalkan?
Foto: Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)
PT Rifan Financindo - Harga emas dunia masih belum berhasil menembus level US$ 1.500/Troy Ounce (Oz) pada perdagangan pekan lalu. Pergerakan emas sedang pada fase konsolidasi dalam beberapa pekan ini, setelah menyentuh level tertinggi pada awal September lalu.

Pada penutupa perdagangan pekan lalu, harga emas diberhenti diperdagangkan pada level US$ 1.493,35/Oz di pasar spot berdasarkan data investing.com. Sebelumnya, logam mulia ini menyentuh level terlemah US$ 1.484,40/troy ons, dengan level tertinggi hari ini di US$ 1.493,93/troy ons.

Sejak menembus ke atas level US$ 1.500/troy ons pada 7 Agustus lalu, emas memang berapa kali turun kembali, tapi tidak lebih dari 2 x 24 jam sudah kembali menyentuh level tersebut.

Pada 4 September 2019, harga emas sempat menyentuh level tertinggi pada perdagangan harian selama 2019, pada harga US$ 1.564,70/Oz. Setelah menyentuh level tertinggi tersebut, harga emas terus merosot.

Kali ini emas cukup lama berada di bawah level US$ 1.490/Oz. Kiilau emas mulai redut dan mulai ditinggalkan investor. Padahal isu resesi di AS kembali muncul yang seharusnya bisa mendongkrak lagi harga emas, tapi ternyata tak cukup kuat.

Buruknya data ekonomi AS sejak hari Rabu lalu menjadi penyebab munculnya kembali isu resesi. Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM).Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%. Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.

Sementara itu pada Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0. Akibatnya, spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di akhir bulan ini semakin menguat.

Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Selain itu, masalah Brexit juga masih belum jelas. Anggota parlemen Inggris meragukan rancangan kesepakatan Brexit yang disepakati Inggris dan Uni Eropa. Keraguan timbul akibat perkiraan apakah parlemen Inggris akan mendukung kesepakatan tersebut.

Democratic Unionist Party (DUP), sekutu utama pemerintahan Johnson, menyatakan akan menentang kesepakatan itu karena "bisa merusak" Good Friday Agreement (GFA), gencatan senjata hukum yang memulihkan perdamaian di perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia.

Gonjang ganjing Brexit seharusnya jadi katalis harga emas, sekali lagi isu ini rupanya tak membuat harga emas bergerak banyak.

Belum lagi data ekonomi China yang keluar pekan lalu juga tidak terlalu baik. GDP China hanya tumbuh 6,0 persen (YoY), lebih rendah dari perkiraan sebesar 6,1 persen.

China diperkirakan akan segera mempercepat stimulus dalam 1-2 kuartal ke depan jika ingin memenuhi target pertumbuhan ekonomi antara 5,5% dan 6% pada tahun selanjutnya. Perang dagang China dan AS telah membebani perekonomiannya.

Emas seharusnya punya momentum untuk naik dari kecemasan akan terjadinya resesi, serta peluang penurunan suku bunga The Fed. Tetapi nyatanya harga emas tak bergeming di bawah US$ 1.500/troy ons.



Foto: Infografis/Pergerakan HARGA EMAS Sepekan (14 - 18 Oktober 2019)a/Arie Pratama
(hps/hps)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 18 Oktober 2019

Rifan Financindo - Kecemasan Resesi di AS Muncul Kembali, Yen Menguat Lagi

Kecemasan Resesi di AS Muncul Kembali, Yen Menguat Lagi
Foto: Mata Uang Yen. (REUTERS/Yuriko Nakao/Files)
Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang menguat dua hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin, dan masih berlanjut pada hari ini, Jumat (18/10/19). Tanda-tanda melambatnya ekonomi AS, serta kesepakatan dagang AS-China yang semakin diragukan membuat daya tarik yen sebagai aset aman (safe haven) kembali muncul.

Pada pukul 7:25 WIB, yen diperdagangkan di kisaran 108,62/US$ menguat 0,03% di pasar spot melansir data Refinitiv. Sementara dalam dua hari sebelumnya, yen menguat 0,08% dan 0,9%.

Tanda-tanda pelambatan ekonomi AS terlihat dari rilis data penjualan ritel Rabu serta aktivitas manufaktur Kamis kemarin.

Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir. Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%.

Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.
Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.
Akibatnya rilis data-data tersebut kecemasan akan resesi di AS kembali muncul dan spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat. Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group pagi ini, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).
Tingginya probabilitas tersebut membuat keperkasaan dolar AS di hadapan yen runtuh, dan perlahan melemah kembali.

Sementara itu keraguan akan kesepakatan dagang AS-China terus meningkat. Kali ini yang disoroti adalah janji China membeli produk pertanian AS. CNBC International mengutip Wall Street Journal melaporkan Pemerintah Tiongkok sampai saat ini tidak memberikan detail kapan dan berapa jumlah produk pertanian yang akan dibeli. 

Presiden AS, Donald Trump pada Jumat pekan lalu mengklaim China akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 40 miliar sampai US$ 50 miliar dalam kurang dari dua tahun. Tetapi masih belum jelas apa yang akan dilakukan AS sebagai barter dari pembelian tersebut.

Selain itu, Kamis kemarin, Menteri Perdagangan China Gao Feng menegaskan semua bea masuk baru yang harus dibatalkan agar kedua negara bisa menandatangani kesepakatan fase satu.

Hal tersebut membuat pelaku pasar mulai meragukan kembali kesepakatan dua raksasa ekonomi yang sudah setahun lebih terlibat perang dagang.

TIM RISET CNBC INDONESIA  (pap/pap)
Sumber : CNBC

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Kamis, 17 Oktober 2019

PT Rifan - Mengekor Wall Street, Bursa Tokyo Memble Pagi Ini

Mengekor Wall Street, Bursa Tokyo Memble Pagi Ini
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
PT Rifan - Bursa saham Tokyo sedikit melemah pada pembukaan perdagangan Kamis ini (17/10/2019), menyusul penurunan di bursa saham Wall Street AS karena investor masih memantau setiap perkembangan dalam pembicaraan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) di Brussels.
Data perdagangan mencatat, indeks acuan Nikkei 225 turun 0,08% atau 18,91 poin menjadi 22.454,01 pada awal perdagangan, sementara indeks Topix dengan bobot yang lebih luas turun 0,24% atau 3,90 poin pada 1.627,61.

Pelemahan bursa Asia adalah lanjutan efek tergelincirnya bursa saham AS karena data ekonomi yang lemah. Sementara itu perdagangan saham di Eropa juga belum ada pergerakan yang nyata karena investor masih menanti solusi dari negosiasi Brexit.

"Pasar didominasi oleh spekulasi dan berita utama soal Brexit, sementara data ekonomi di AS juga beragam," kata Kishti Sen, analis ANZ Research, dikutip AFP dan CNBC International.

Departemen Perdagangan AS melaporkan terjadi penurunan kontrak penjualan ritel AS pada September dan ini terjadi untuk pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir. Kontraksi di sektor manufaktur ini diperkirakan sudah menyebar ke sektor ekonomi lain yang lebih luas

Penjualan ritel secara tak terduga merosot 0,3% pada bulan September. Data yang lemah menambah kekhawatiran atas potensi resesi.

Di bursa Wall Street, tadi pagi, indeks Dow Jones turun 22,82 poin atau 0.08% menjadi 27.001,98. Sedangkan S&P 500 kehilangan 5,99 poin atau 0,20% ke 2.989,69 dan Nasdaq turun 24,52 poin atau 0,3% ke 8.124,18. (tas)

Rabu, 16 Oktober 2019

PT Rifan Financindo Berjangka - Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya

Trump Blacklist Perusahaan China, Dapen AS Kena Getahnya
Foto: Infografis/Saling balas serangan AS VS CHINA/Aristya Rahadian krisabella
PT Rifan Financindo Berjangka - Beberapa lembaga dana pensiun publik terbesar di Amerika Serikat (AS) mengatakan sedang meninjau keputusan Pemerintah Presiden AS Donald Trump yang memasukkan beberapa perusahaan China ke dalam daftar hitam (blacklist). Alasannya, karena mereka ternyata berinvestasi di perusahaan yang masuk daftar hitam itu.

Dimasukkannya perusahaan-perusahaan China ke dalam daftar entitas berarti mereka akan membutuhkan izin dari pemerintah AS untuk membeli perangkat dari perusahaan AS. Alasan dimasukannya perusahaan-perusahaan itu ke daftar blacklist adalah karena masalah pelanggaran HAM yang dilakukan China terhadap etnis Uighur dan Islam minoritas.

Beberapa perusahaan yang masuk daftar hitam di antaranya adalah Hangzhou Hikvision Digital Technology Co dan tujuh perusahaan lain. Mereka diduga terlibat masalah pelanggaran HAM tersebut.

Salah satu lembaga yang berinvestasi di perusahaan China yang di-blacklist adalah Sistem Pensiun Guru California (CalSTRS). Lembaga ini berinvestasi di Hikvision.

"Kami sedang melacak situasi mengingat perkembangan baru ini dengan pengumuman Departemen Perdagangan," kata seorang juru bicara CalSTRS dalam email.

CalSTRS memiliki 4,35 juta saham di Hikvision per 30 Juni 2018, menurut data terakhir yang tersedia. Dari semua bentuk kepemilikan, CalSTRS berarti memiliki aset senilai US$ 24 juta.

STRS Bagian New York juga memiliki saham Hikvision. Kepemilikannya pada akhir Juni adalah sebanyak 81.802 saham, naik dari 26.402 saham pada akhir 2018, kata lembaga itu.

"Kepemilikan kami terutama dipegang berdasarkan bobotnya dalam portofolio pasif yang cocok dengan indeks MSCI ACWI ex-AS, tolok ukur kebijakan kami. Kami sedang memantau situasi," kata juru bicara lembaga itu. Indeks MSCI All Country World Index (ACWI) ex-AS termasuk saham dari 22 pasar maju dan berkembang.

Lembaga dana investasi besar lainnya yang berinvestasi dalam saham Hikvision adalah Sistem Pensiun Florida (FRS), yang memiliki 1,8 juta saham pada akhir Juni.

Seorang juru bicara untuk dana tersebut mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan manajer uang eksternal terkait dengan masalah ini untuk memenuhi semua persyaratan peraturan dan fidusia.

Menanggapi hal itu, konsultan risiko mengatakan otoritas Amerika harus memperhatikan masalah ini karena terkait banyak warga AS.

"Hikvision telah muncul sebagai anak poster perusahaan untuk memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia China, di mana kamera pengawasnya terpajang di atas dinding kamp penahanan yang memenjarakan sekitar satu juta atau lebih warga Uighur di Xinjiang," kata Roger Robinson, presiden dan CEO lembaga konsultasi risiko yang berbasis di Washington DC, RWR Advisory Group.

Selain Hikvision, satu perusahaan lain di antara delapan yang masuk daftar hitam, yang menjadi tempat investasi lembaga dana pensiun besar AS, adalah iFlytek Co Ltd. Sahamnya dimiliki oleh lembaga dana di Florida, Negara Bagian New York serta CalSTRS dan Sistem Pensiun Pegawai Negeri California (CalPERS) secara tidak langsung melalui iShares MSCI Emerging Markets ETF pada tanggal pengungkapan terakhir mereka. (sef/sef)
 

Selasa, 15 Oktober 2019

PT Rifan Financindo - Benarkah Ekonomi Dunia Menuju Resesi Pertama Sejak 2009?

PT Rifan Financindo - Pertanyaan mengenai apakah ekonomi dunia akan terjerat ke dalam resesi semakin ramai diperbincangkan. Apa lagi saat perlambatan semakin nyata terlihat.

Pada akhir pekan lalu, kabar baik dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China cukup mampu menenangkan pasar. Setelah melakukan pembicaraan dagang di Washington, kedua ekonomi terbesar dunia itu menunjukkan tanda-tanda akan mencapai kesepakatan dagang.

Selain itu, dari Eropa, Inggris juga diperkirakan akan mencapai kesepakatan sebelum keluar dari Uni Eropa. Brexit sebelumnya dijadwalkan terjadi 31 Oktober ini.

Namun begitu, perdebatan tentang seberapa dekat dunia dengan resesi pertamanya sejak 2009 masih tetap ada.

Hal ini diperkuat oleh hasil perhitungan Bloomberg Economics, yang menunjukkan ekonomi global telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.

Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga telah menyatakan bahwa ia memperkirakan ekonomi akan menghadapi semakin banyak risiko serius ke depannya. Lembaga ini pada Selasa, diperkirakan akan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari 3,2%, yang merupakan level terlemah sejak 2009.


Investor obligasi jelas mengkhawatirkan keadaan ini karena imbal hasil obligasi telah negatif. Namun, investor saham justru sebaliknya, karena MSCI World Index telah mencatatkan kenaikan 14% tahun ini. 

Perang Dagang dan Geopolitik
Menurut Tom Orlik, kepala ekonom di Bloomberg Economics, ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan dapat memicu resesi pada 2020, di antaranya adalah:

Perang Dagang

Perang dagang yang sudah berlangsung selama setahun lebih ini antara AS dengan China telah membuat pertumbuhan global berada di bawah tekanan. Pada Jumat lalu China telah setuju untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan Gedung Putih setuju menunda pengenaan tarif impor lagi.

Namun, itu berarti perang dagang masih berlangsung dan bea masuk masih ada. Presiden AS Donald Trump juga masih bisa mengenakan tarif impor pada negara yang ia tuduh telah melakukan praktik dagang yang tidak adil, termasuk melakukan pencurian kekayaan intelektual itu.

Perlambatan di sektor manufaktur

Tidak diragukan lagi produsen telah menjadi korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama lima bulan berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang terus mengalami tekanan, menyebabkan negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jerman dan Jepang, menderita. Berbagai bisnis juga banyak melakukan efisiensi dan investasi di sektor non-perumahan AS menyusut pada kuartal kedua, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Saat ini, sektor jasa juga dikhawatirkan akan terdampak.

Geopolitik

Selain perang dagang AS-China, isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga masih menjadi kekhawatiran. Selain itu, AS juga memiliki perselisihan dengan Iran setelah terjadi serangan drone ke ladang minyak Arab Saudi, dan serangan ke kapal tanker minyak Iran pada Jumat. Hal ini berisiko meningkatkan harga minyak.

Lebih lanjut, konflik di Suriah dan demo Hong Kong juga turut memberatkan. Argentina sedang menghadapi krisis fiskal lagi dan tampaknya akan terjadi pergantian pemerintah. Selain itu, Ekuador, Peru dan Venezuela juga memiliki masalah politik. Penyelidikan pemakzulan (impeachment) terhadap Trump juga perlu diperhitungkan. 

Laba Terhenti ke Negara yang Goyah
Pertumbuhan laba terhenti

Pertumbuhan laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia. Di balik tekanan pendapatan, terjadi kenaikan upah pekerja, pertumbuhan produktivitas loyo, dan kurangnya daya harga secara umum. Bahayanya adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mendapat lebih sedikit laba, bisa mengurangi pekerja mereka, mengganggu kepercayaan konsumen dan melakukan penghematan.

Bank Sentral terjepit

Kebijakan moneter mungkin lebih longgar saar ini daripada di awal tahun. Tetapi, bank sentral masih dianggap kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus mungkin terlalu lambat dalam bertindak. Bank sentral AS Federal Reserve telah memangkas suku bunga acuannya sekitar 500 basis poin, pelonggaran pertama sejak awal 1990-an. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan juga sudah menetapkan suku bunga negatif dan sedang mempertimbangkan langkah ke depannya.

Pemerintah yang goyah

Berbagai lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran. Tetapi, tanda-tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan reaktif bukan proaktif. Meskipun Morgan Stanley memperkirakan defisit fiskal primer telah meningkat menjadi 3,5% dari produk domestik bruto (PDB) di negara-negara besar, dari 2,4% tahun lalu, namun lembaga itu melihat peningkatannya hanya menjadi 3,6% tahun depan. Beberapa pemerintah telah membelanjakan lebih banyak, tetapi China dan Jerman, yang sama-sama memiliki ruang untuk menyuntikkan lebih banyak stimulus fiskal, justru menahan diri. Sementara Jepang baru saja menaikkan pajak penjualannya.

Alasan Untuk Tidak Perlu Khawatir
Meski begitu banyak kekhawatiran menghantui, namun masih ada banyak alasan untuk tidak khawatir. Di antaranya adalah:

Amerika Serikat

Sebuah model yang dibuat oleh Bloomberg Economics memperhitungkan risiko resesi AS tahun depan hanya 25%, dan jika ekonomi terbesar dunia itu bisa tetap tumbuh, maka akan bisa menjadi penawar bagi ekonomi negara lain. Beberapa pakar juga memproyeksikan risiko resesi akan lebih rendah daripada sebelumnya untuk AS. Itu berarti ekonomi dapat melampaui 1,5%. Selain itu, ekonomi AS diperkirakan akan tetap kuat meski perdagangan global terpukul.

Konsumsi tetap tinggi

Konsumen Amerika tetap menjadi pilar pertumbuhan. Selain itu, tingkat pengangguran juga masih di level terendah dalam lima dekade. Meski pasar tenaga kerja sedikit kurang, namun belanja rumah tangga masih tinggi. Conference Board minggu ini melaporkan bahwa indeks kepercayaan konsumen globalnya tetap mendekati rekor tertinggi.

Kebijakan Bank Sentral

The Fed telah memangkas suku bunga dua kali tahun ini dan dapat melakukannya lagi bulan ini, sementara ECB telah mendorong suku bunga simpanan lebih jauh di bawah nol dan meluncurkan kembali program pembelian obligasi. Bank of Japan juga mempertimbangkan untuk melakukan lebih banyak stimulus. Bank sentral lain di India, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga berencana melakukan lebih banyak pelonggaran.

China

China mungkin tidak begitu meningkatkan stimulusnya karena khawatir akan meningkatkan tingkat utang. Tetapi, keputusan itu masih bisa berubah jika diperlukan. Negara ini sudah memangkas jumlah kas bank yang harus disimpan dalam cadangan ke level terendah sejak 2007. Pengeluaran infrastruktur oleh pemerintah daerah juga diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dan investasi negara juga demikian.

Ekses terkendali

Perlambatan sebelumnya terjadi karena koreksi ekses seperti kenaikan inflasi pada 1980-an, pecahnya gelembung teknologi di AS pada awal abad ini atau runtuhnya sektor perumahan dalam satu dekade kemudian. Kali ini, inflasi umumnya lemah dan meski harga saham naik, kenaikannya bisa dibilang tidak berada di wilayah yang mengkhawatirkan. Meskipun harga rumah di Kanada dan Selandia Baru tinggi, namun rumah tangga di banyak negara telah mengurangi leverage. (sef/sef)