Jumat, 29 Maret 2019

Jelang Akhir Pekan, IHSG Dibuka di Zona Merah | Rifanfinancindo

Foto: Grandyos Zafna
Rifanfinancindo - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di zona hijau pagi ini. IHSG dibuka naik tipis 0,195 poin ke 6.480,983.

Sementara nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah pagi ini menguat posisinya dibanding kamis (28/3) kemarin, berada di level Rp 14.230.

Pada perdagangan pre opening, IHSG menguat tipis 0,195 poin ke 6.480,983. Sementara Indeks LQ45 melemah 0,78 poin (0,02%) ke 1.018,935.
Membuka perdagangan Jumat (29/3/2019), IHSG berbalik ke zona merah dengan melemah tipis 0,200 poin (0,00%) ke 6.480,588. Indeks LQ45 bertambah 0,005 poin (0,0%) ke 1.019,018.

Pada pukul 09.05 waktu JATS, IHSG kembali melemah 5,636 poin (0,09%) ke 6.475,152. Indeks LQ45 juga melemah 1,224 poin (0,6%) ke 1.017,789.

Pada perdagangan semalam (28/03) bursa saham Wall Street kompak ditutup dalam teritori positif, dimana Dow Jones naik 0,36%, S&P menguat 0.36% dan Nasdaq positif 0,34%.

Penguatan ini terjadi seiring dengan optimisme para pelaku pasar terhadap pembicaraan perdagangan antara China dan AS yang diperkirakan menghasilkan suatu kemajuan yang baik.

Sementara itu rilisnya data GDP AS pada kuartal IV 2018 yang melambat atau tumbuh sebesar 2.2% dibandingkan sebelumnya (QoQ) yang tumbuh 3.4% tidak menghambat pergerakan indeks untuk tetap ditutup dalam zona hijau.

Perdagangan bursa saham Asia mayoritas bergerak negatif pagi ini. Berikut pergerakannya:
  • Indeks Nikkei 225 naik 130,340 poin ke posisi 21.164,100
  • Indeks Hang Seng naik 19,199 poin ke 28.794,410
  • Indeks Komposit Shanghai turun 10,990 poin ke 3.005,930
  • Indeks Strait Times naik 8,4poin ke 3.211,980
(fdl/fdl)

Sumber : Detik

Kamis, 28 Maret 2019

Pembukaan Pasar Spot: Rupiah Melemah Paling Dalam di Asia - Rifan Fnancindo

Rifan Financindo - Rupiah langsung terdepresiasi melawan dolar AS pada pembukaan perdagangan di pasar spot hari ini. Mata uang Garuda melemah 0,18% ke level Rp 14.215/dolar AS.

Sejatinya, mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya juga melemah melawan dolar AS. Namun, tak ada yang melemah sedalam rupiah sehingga rupiah resmi menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan regional.

(ank/ank)

Rabu, 27 Maret 2019

Bursa Saham Global Menguat, Yen Jadi Terlihat Kurang Seksi - PT Rifan Financindo

Bursa Saham Global Menguat, Yen Jadi Terlihat Kurang Seksi
Foto: Reuters/Yuriko Nakao/File Photo
PT Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), Selasa (26/3/19), dan semakin menjauhi level terkuat dalam enam pekan terakhir.

Penguatan bursa saham secara global kemarin membuat yen menjadi kurang menarik di mata investor. Pada perdagangan hari ini, Rabu (27/3/19), yen diperdagangkan di kisaran 110,51/US$ pada pukul 7:07 WIB.

Yen Jepang merupakan mata uang yang bergelar safe haven, sehingga memiliki daya tarik yang tinggi ketika terjadi ketidakpastian global. Ketika muncul inversi yield obligasi AS tenor 3 bulan dengan 10 tahun yang menjadi indikasi kemungkinan resesi, kurs yen langsung melesat ke level terkuat enam pekan terhadap dolar.


Namun kini yield obligasi AS mulai stabil, di mana tenor 10 tahun-nya sudah beranjak dari level terendah 15 bulan meski masih terinversi.

Sementara dari dunia pasar modal, bursa saham Asia, Eropa, dan AS kompak menguat pada perdagangan Selasa. Ketika kondisi global mulai stabil, dan aset-aset berisiko menguat, mata uang yen menjadi kurang menarik.

Tetapi bukan berarti risk appetite atau minat terhadap aset berisiko sudah pulih benar mengingat rilis data ekonomi AS yang kurang bagus.

Conference Board Inc. AS pada Selasa pukul 21:00 WIB melaporkan data tingkat keyakinan konsumen AS merosot dibulan ini, dengan angka indeks yang dirilis sebesar 124,1 dibandingkan bulan Februari 131,4. Rilis data ini sejalan dengan inversi yield obligasi yang menunjukkan kecemasan akan terjadinya resesi.

Data tingkat keyakinan konsumen AS merupakan leading indicator untuk melihat tingkat keyakinan masyarakat AS dalam melakukan konsumsi. Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar 68% dari produk domestik bruto (PDB) AS.

Menurunnya tingkat keyakinan konsumen bisa berarti ke depannya akan terjadi penurunan tingkat belanja yang tentunya akan berdampak signifikan terhadap PDB AS.

Dari sektor perumahan, data izin membangun AS menunjukkan penurunan di bulan Februari, begitu juga dengan rumah yang mulai dibangun atau housing start yang tercatat turun 8,7% dibandingkan satu tahun lalu.

Serangkaian data ekonomi AS tersebut dapat memengaruhi risk appetite investor di perdagangan sesi Asia hari ini. Jika bursa saham Asia kembali menguat mengikuti bursa AS, kurs yen kemungkinan akan kembali tertekan. Sebaliknya jika bursa Asia berbalik melemah, yen si safe haven akan kembali bersinar.


TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)


Selasa, 26 Maret 2019

Bukan Resesi, Inversi Yield Tandakan Bunga The Fed Ketinggian - Rifanfinancindo

Bukan Resesi, Inversi Yield Tandakan Bunga The Fed Ketinggian
Rifanfinancindo - Mantan gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Janet Yellen, mengatakan pasar obligasi AS saat ini bisa jadi tengah memberi sinyal perlunya pemotongan suku bunga dan mengakhiri tren pelemahan ekonomi.

Menurutnya, pembalikan yield obligasi bertenor tiga bulan dan 10 tahun yang terjadi sejak Jumat pekan lalu itu bukanlah pertanda resesi.

Inversi antara tenor tiga bulan dan 10 tahun seringkali dijadikan indikator terjadinya resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Investor yang meminta 'jaminan ' lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek menggambarkan pembacaan yang suram terhadap kondisi perekonomian dalam waktu dekat.

Yellen yang memimpin The Fed di periode 2014-2018 ditanya mengenai inversi yield dan apakah itu menandakan resesi dalam sebuah konferensi di Hong Kong, Senin (25/3/2019).

"Jawaban saya adalah tidak, saya tidak melihatnya sebagai sebuah sinyal resesi," ujarnya, dilansir dari CNBC International.

"Berbeda dengan di masa lalu, saat ini ada tendensi bahwa kurva yield cenderung sangat mendatar," ujarnya. Ia menambahkan bahwa saat ini lebih mudah bagi yield tersebut untuk terinversi di mana yield obligasi bertenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang.

"Dan fakta ini mungkin menandakan bahwa The Fed di suatu titik perlu untuk menurunkan suku bunga, namun ini tentu saja tidak menandakan bahwa beberapa perkembangan ini akan menyebabkan resesi," tambah Yellen.

Meski yakin tidak akan terjadi resesi, namun ia mengakui bahwa ekonomi AS memang tengah melambat.

"AS memang tengah mengalami perlambatan pertumbuhan," ujarnya. Namun perkiraan The Fed bahwa AS akan tumbuh 2,1% dari 3,1% tahun lalu masih mendekati potensi Negeri Paman Sam itu.

"Jadi, ini bukanlah situasi yang berbahaya," kata Yellen. "Jadi, ya, pertumbuhan melambat, namun saya tidak melihat ekonomi melambat ke level yang akan menyebabkan resesi."

Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih berturut-turut. (prm)



Senin, 25 Maret 2019

Awal Perdagangan, Yen Bergerak Melemah | Rifan FInancindo

Awal Perdagangan, Yen Bergerak Melemah
Ilustrasi yen Jepang dan dolar AS (Foto: REUTERS/Shohei Miyano)
Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang melemah terhadap dolar AS di awal perdagangan, Senin (25/3/19). Tetapi yen masih belum terlalu jauh dari level terkuatnya dalam lima pekan terakhir.

Pada pukul 6:46 WIB, yen ditransaksikan di kisaran 110,07/US$, dengan level terkuat lima pekan di kisaran 110,73/US$ yang dicapai pada perdagangan Jumat (22/3/19).

Nilai tukar dolar terhadap yen yang terlihat murah membuat dolar terlihat menarik lagi untuk dipegang. Tercatat sepanjang pekan lalu, yen mengalami penguatan 1,4% terhadap dolar, dan menjadi penguatan mingguan tertinggi dalam 11 pekan terakhir atau sejak awal tahun saat dolar mengalami flash crash terhadap yen.

Me-review pekan lalu, penguatan yen terpicu sikap dovish Federal Reserve (The Fed) AS.

Dalam pengumuman kebijakan moneternya pada Kamis (21/3/19) dini hari Waktu Indonesia, The Fed mengindikasikan tidak akan menaikkan suku bunga acuan atau Federal Funds Rate (FFR) di tahun ini. Hal ini menjadi kejutan bagi pasar finansial karena tidak sampai tiga bulan sebelumnya bank sentral AS tersebut menyatakan kenaikan FFR sebanyak dua kali di tahun 2019 akan menjadi kebijakan yang tepat.

Perbedaan suku bunga di AS dan Jepang akan semakin lebar seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga di tahun ini. Untuk saat ini saja ada selisih yang besar antara suku bunga di AS dan Jepang, The Fed dengan FFR-nya sebesar 2,25% - 2,50%, dibandingkan dengan BOJ yang menerapkan suku bunga negatif (-0,1%). 
Kini suku bunga acuan The Fed sebesar 2,25%-2,50% akan tetap bertahan hingga akhir tahun nanti, begitu juga dengan suku bunga acuan BOJ yang masih akan di tahan sebesar -0,1%, sehingga spread imbal hasil di kedua negara tidak lagi melebar.

The Fed sekarang sejalan dengan Bank of Japan (BOJ) yang sama-sama bersikap dovish. Sepekan sebelum pengumuman The Fed, BOJ juga bersikap dovish dengan memperkirakan perekonomian Jepang yang akan melambat. Selain itu, satu anggota dewan diketahui meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.

Di pekan ini, beberapa data ekonomi dari AS akan menentukan arah pergerakan nilai tukar yen terhadap dolar mengingat negeri Paman Sam tersebut dispekulasikan akan mengalami resesi.
Imbal hasil obligasi AS tenor pendek (3 bulan) kini lebih tinggi dari tenor panjang (10 tahun) atau dikenal dengan istilah inversi. Hal seperti ini terjadi jika pelaku pasar melihat dalam jangka pendek AS kemungkinan akan mengalami resesi, sehingga investor melepas obligasi jangka pendek yang membuat yield-nya naik dan masuk ke obligasi jangka panjang.

Kali terakhir inversi terjadi di bulan Januari 2017, dan kembali muncul di hari Jumat lalu di mana yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di level 2,4527%, sementara tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%.


TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)