Rabu, 10 Juli 2019

PT Rifan Financindo - AS-China Makin Mesra, Bursa Saham Asia ke Zona Hijau

AS-China Makin Mesra, Bursa Saham Asia ke Zona Hijau
PT Rifan Financindo - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia mengawali perdagangan hari ini di zona hijau: indeks Shanghai menguat 0,24%, indeks Hang Seng naik 0,46%, indeks Straits Times terapresiasi 0,3%, dan indeks Kospi bertambah 0,46%.

Sentimen positif yang menyelimuti perdagangan di bursa saham Benua Kuning datang dari aura damai dagang AS-China yang kian terasa. Kemarin (9/7/2019) waktu AS, delegasi AS dan China melakukan pembicaraan via telepon.

Delegasi AS terdiri dari Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China terdiri dari Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong San.


Menurut seorang pejabat AS, pembicaraan via telepon tersebut dilakukan "untuk melanjutkan negosiasi yang bertujuan menyelesaikan sengketa perdagangan yang belum terselesaikan", dilansir dari CNBC International.

Pejabat tersebut kemudian menambahkan bahwa "kedua belah pihak akan melanjutkan pembicaraan itu sebagaimana mestinya".

Pernyataan dari pejabat AS tersebut kemudian dikonfirmasi sendiri oleh Kementerian Perdagangan China dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada pagi hari ini waktu setempat.

Kesepakatan dagang antara AS dan China menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian keduanya dari yang namanya hard landing. Di China yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, dalam enam bulan pertama tahun 2019 data resmi pemerintahnya mencatat bahwa aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.

Sementara itu, sentimen positif lainnya bagi bursa saham Asia datang dari perkembangan terkait dengan RUU ekstradisi yang sempat memantik aksi protes besar-besaran. Kemarin, pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyatakan bahwa pembahasan RUU ekstradisi 'sudah mati'.

Dengan pernyataan Lam tersebut, diharapkan tak ada lagi aksi protes di Hong Kong sehingga situasi di pasar saham pun menjadi lebih kondusif dan aksi beli bisa dilakukan.(ank/hps)

Selasa, 09 Juli 2019

Rifanfinancindo - Situasi Timur Tengah Bikin Harga Minyak Ogah Turun Banyak

Situasi Timur Tengah Bikin Harga Minyak Ogah Turun Banyak
Ilustrasi Minyak Mentah (REUTERS / Brendan McDermid)
Rifanfinancindo Palembang - Harga minyak dunia bergerak turun pada pagi ini. Namun penurunan harga si emas hitam tidak terlalu drastis, karena himpitan dua sentimen besar. 

Pada Selasa (9/7/2019) pukul 07:38 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet masing-masing terkoreksi terbatas 0,02% dan 0,18%. Namun dalam sepekan terakhir, harga brent melonjak 2,45% dan light sweet melesat 2,3%. 

Faktor yang menyeret harga minyak ke selatan adalah masih tingginya kekhawatiran investor terhadap perlambatan pertumbuhan permintaan. Data-data ekonomi di berbagai negara menunjukkan perlambatan ekonomi begitu nyata.

Di Jepang, Pemesanan mesin inti (di luar komponen kapal dan elektronik) di Jepang turun 3,7% year-on-year (YoY) pada Mei. Ini menjadi penurunan paling tajam dalam delapan bulan terakhir.

Sementara di Jerman, produksi industri pada Mei terkontraksi alias minus 3,7% YoY. Memburuk dibandingkan April yang terkontraksi 2,3%.

Data kurang enak juga datang dari Amerika Serikat (AS). Memang penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam pada Juni mencapai 224.000, tertinggi sejak awal tahun. Namun angka pengangguran naik dari 3,6% menjadi 3,7%.

Belum lagi isu perang dagang AS-China yang belum terselesaikan. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping boleh bersepakat untuk kembali berunding. Namun jalan menuju kesepakatan damai dagang seperti masih butuh proses.

Jadi wajar saja jika investor cemas perlambatan ekonomi akan menurunkan permintaan energi. Akibatnya, harga minyak pun terdorong ke bawah.

Namun faktor yang membuat koreksi harga minyak tidak terlampau dalam adalah potensi ketegangan di Timur Tengah. Iran memutuskan untuk kembali melakukan pengayaan uranium yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dengan negara-negara barat pada 2015. 

Langkah Teheran tentunya mengundang kecaman dunia, tidak terkecuali AS. "Mereka sebaiknya hati-hati," kata Presiden Trump. Sebuah kalimat yang singkat, tetapi tidak bisa dianggap enteng.

Jika Iran terus melakukan pengayaan uranium (yang bisa digunakan untuk senjata pemusnah massal), maka situasi Timur Tengah bakal tetap panas. Bukan tidak mungkin AS dan sekutunya menempuh opsi agresi militer.

"Kami melihat ada risiko konflik bersenjata, sehingga menahan penurunan harga minyak lebih lanjut akibat perlambatan ekonomi global," kata Jim Ritterbusch, Analis dari Rittersburch and Associates dalam laporannya, seperti diberitakan Reuters. (aji/aji)

Senin, 08 Juli 2019

Rifan Financindo - Efek Wall Street & Faktor Iran, Bursa Tokyo Dibuka Melemah

Efek Wall Street & Faktor Iran, Bursa Tokyo Dibuka Melemah
Rifan Financindo Palembang - Bursa Tokyo dibuka di teritori negatif pada perdagangan Senin (8/7/2019) pagi. Kinerja Wall Street ditambah faktor geopolitik seiring ulah Iran menjadi perhatian investor.

Dilansir kantor berita AFP, indeks Nikkei 225 turun 0,35% atau 76,43 poin ke level 21.669,95. Sedangkan indeks Topix turun 0,25% atau 3,99 poin ke level 1.588,59.

Setelah berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah, Wall Street ditutup di zona merah pada perdagangan Jumat (5/7/2019) waktu setempat. Hal ini dipicu setelah rilis data ketenagakerjaan yang lebih kuat. Hal itu telah mengurangi harapan atas kebijakan moneter Federal Reserve/Bank Sentral AS yang lebih longgar.

Di sisi lain, ada faktor Iran. Presiden Irang Hassa Rouhani mengatakan negara-negara adidaya gagal mempertahankan komitmen mereka terkait nuklir. Untuk itu, Iran mengatakan akan melampaui batas pengayaan uranium, sebuah langkah yang melanggar kesepakatan nuklir empat tahun lalu. (miq/miq)

Sumber : CNBC
 
 

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo 
Rifanfinancindo

Jumat, 05 Juli 2019

PT Rifan Financindo - Gairah Investor Mulai Reda, Harga Emas Seakan Tak Bergerak

Gairah Investor Mulai Reda, Harga Emas Seakan Tak Bergerak
Foto: Tak Hanya Logam Mulia, Perhiasan Saat Ini Banyak Diburu Warga Untuk Investasi.(CNBC Indonesia)
PT Rifan Financindo Palembang - Akibat saling tarik sentimen, pergerakan harga emas masih sangat terbatas. Harapan damai dagang Amerika Serikat (AS)-China dan penurunan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve menjadi sentimen utama yang menarik harga emas ke dua arah.

Pada perdagangan hari Jumat (5/7/2019) pukul 09:45 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) naik tipis 0,01% ke level US$ 1.421/troy ounce, setelah ditutup stagnan kemarin.

Sementara harga emas di pasar spot naik 0,24% menjadi US$ 1.418,58/troy ounce, setelah turun 0,24% sehari sebelumnya.

Salah satu yang membuat pelaku pasar tak lagi gencar memburu emas adalah perkembangan yang positif terkait perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.

Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow mengatakan bahwa perwakilan kedua negara (AS dan China) tengah merencanakan sebuah perundingan baru.

"Dialog (dengan China) akan berlanjut pada pekan depan," ujar Kudlow, dikutip dari Reuters.

Seorang pejabat dari Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative) belakangan menyebut bahwa dialog tersebut akan melibatkan pejabat tingkat tinggi dan dilakukan melalui sambungan telepon.

Lebih lanjut, Kudlow juga menyebut akan ada dialog lanjutan yang kemungkinan dilakukan dengan tatap muka.

"Saya tak tahu tepatnya kapan. Mereka (delegasi kedua negara) berbicara melalui sambungan telepon. Mereka akan berbicara lagi pada pekan depan melalui sambungan telepon dan mereka akan merencanakan pertemuan tatap muka," kata Kudlow.

Ada kemungkinan rangkaian dialog yang akan dilakukan AS-China ke depan bisa menghasilkan kesepakatan damai dagang.

Atas optimisme tersebut, pelaku pasar mulai bisa sedikit berani untuk agresif dalam berinvestasi. Emas yang biasanya dipilih saat main aman pun tak lagi diborong.


Investor Masih Galau, Harga Emas Seakan Tak Bergerak
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell
Namun perlu dicatat bahwa investor tidak serta merta meninggalkan emas. Pasalnya masih ada harapan yang besar akan penurunan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed.

Perlu diketahui bahwa akhir bulan Juli, komite pengambil kebijakan (FOMC) The Fed akan kembali menggelar rapat bulanan. Dalam rapat setiap rapat, The Fed biasanya akan mengumumkan kebijakan suku bunga. Bisa ditahan, naik, atau diturunkan.

Mengutip CME Fedwatch, Jumat (5/7/2019), probabilitas The Fed menurunkan suku bunga 25 basis poin di rapat bulan Juli mencapai 72,4%. Ada pula 27,6% kemungkinan suku bunga acuan dipangkas hingga 50 basis poin.

Sementara kemungkinan suku bunga acuan ditahan di kisaran 2,25-2,5% tidak ada sama sekali alias 0%.

Kala suku bunga acuan The Fed turun, maka pasar akan kebanjiran likuiditas dolar. Dolar melimpah ruah karena fasilitas kredit jadi lebih mudah. Dolar tak lagi disimpan dalam kandang dan bertebaran di mana-mana.

Dengan begitu, nilai tukar greenback kemungkinan akan tertekan.

Dalam kondisi tersebut, pelaku pasar akan terpapar risiko penurunan nilai aset akibat perubahan kurs dolar. Bukan hal yang diinginkan tentunya.

Alhasil, emas masih terus dipertahankan sebagai instrumen pelindung nilai (hedging).

TIM RISET CNBC INDONESIA(taa/tas)
 

Kamis, 04 Juli 2019

Rifanfinancindo - The Fed Diramal Turunkan Bunga Acuan, Wall Street Cetak Rekor

Setelah Lemas Naik-Turun, Harga Minyak Mulai Stabil
Rifanfinancindo Palembang - Setelah melesat sekitar 2% kemarin, pergerakan harga minyak mulai terbatas. Belum ada sentimen baru membuat harga si emas hitam susah ke mana-mana.

Pada perdagangan Kamis (4/7/2019) pukul 08:30 WIB, harga Brent kontrak pengiriman September naik 0,02% ke US$ 63,83/barel. Adapun harga light sweet (WTI) menguat 0,05% menjadi US$ 57,37/barel. Sehari sebelumnya, harga Brent dan WTI ditutup menguat masing-masing sebesar 2,28% dan 1,94%.

Pergerakan harga minyak masih didorong oleh sentimen kesepakatan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya perihal perpanjangan masa pengetatan produksi minyak. Kemarin, OPEC+ epakat untuk terus menahan produksi di level yang sekarang, atau 1,2 juta barel/hari lebih rendah dibanding Oktober 2018. Artinya, dalam waktu dekat tidak akan ada lonjakan pasokan dari OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia.

Selain itu, harga minyak juga mendapat energi positif dari pengurangan jumlah fasilitas pengeboran aktif yang ada di Amerika Serikat (AS). Berdasarkan laporan dari Baker Huges, jumlah rig aktif di AS untuk minggu yang berakhir pada 3 Juli berkurang lima unit menjadi 788. Jumlah rig aktif seringkali menjadi satu indikator untuk memperkirakan produksi minyak Negeri Paman Sam. Kala jumlahnya berkurang, maka ada peluang produksi juga turun. Atau setidaknya tidak ada lonjakan dalam waktu dekat.

Bila pasokan masih bisa terjaga, maka begitu pula keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar minyak global. Ancaman banjir pasokan, seperti yang terjadi pada akhir tahun 2018 bisa dihindari.

Namun, beberapa sentimen negatif juga masih membebani harga minyak, sehingga penguatan hari ini amat terbatas. Salah satunya adalah inventori minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 28 Juni hanya turun sebesar 1,1 juta barel. Angka penurunan tersebut jauh lebih kecil dibanding prediksi konsensus analis yang sebesar 3 juta barel.

Yah, ada sedikit kekecewaan pelaku pasar. Kenyataan tidak seindah harapan. Alhasil perhitungan investasi pelaku pasar harus disesuaikan.

"Pelaku pasar kecewa degan penurunan inventori minyak mentah yang sangat kecil," ujar Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates di Houston, Texas, dikutip dari Reuters.

Beban pada harga minyak juga disumbangkan oleh defisit neraca dagang AS bulan Mei 2019 yang membengkak sebesar US$ 55,5 miliar atau paling parah dalam lima bulan terakhir. Perang dagang dengan China disebut-sebut menjadi dalang atas pembengkakan defisit neraca dagang AS. Wajar saja karena China merupakan mitra dagang utama Negeri Paman Sam.

Hal tersebut membuktikan bahwa rantai pasokan global masih mengalami hambatan yang cukup kuat. Perlambatan ekonomi dunia pun semakin sulit untuk dihentikan.

Ujung-ujungnya, permintaan energi, yang mana salah satunya adalah minyak mentah juga akan semakin terbatas.

Bahkan bank Barclays memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak pada 2019 akan menjadi yang paling lambat sejak 2011. Bank Morgan Stanley juga telah menurunkan proyeksi harga Brent jangka panjang menjadi US$ 60/barel dari yang semula US$ 65/barel.

Selain itu volume transaksi kontrak pembelian minyak akan terbatas karena hari ini AS akan merayakan Hari Kemerdekaan, sehingga sebagian besar pelaku pasar libur.(taa/taa)