Kamis, 31 Oktober 2019

Chile Batal Gelar APEC, Deal Perang Dagang AS-China Piye?

Foto: Infografis/ Kronologi perang dagang AS-China belum temukan titik terang/Aristya Rahadian Krisabella
PT Rifan Financindo - Rencana Presiden Donald Trump menandatangani dokumen pertama dari perjanjian dagang dengan Xi Jinping bulan depan menjadi pertanyaan. Kabarnya Chile membatalkan pertemuan puncak di mana kedua pemimpin telah merencanakan untuk bertemu.

Pembatalan itu, yang diumumkan pada Rabu pagi oleh Chile tampaknya membuat Gedung Putih lengah. Tetapi pemerintah bersikeras bahwa mereka akan terus berusaha untuk menyelesaikan perjanjian "tahap satu" dalam beberapa minggu mendatang.

Belum diketahui apakah pejabat Amerika akan dapat menemukan tempat pengganti untuk pertemuan dengan Xi. Penyelenggara KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mengindikasikan mereka tidak memiliki rencana untuk mengadakan acara di tempat lain.

Lokasi Lainnya
Menurut beberapa sumber yang mengetahui persoalan AS-China, pihak KTT sedang mencari lokasi lain, dikarenakan adanya demonstrasi yang meningkat di Chile.

"Kami menantikan finalisasi Fase Satu dari kesepakatan perdagangan bersejarah dengan China dalam jangka waktu yang sama, dan ketika kami sudah selesai, kami akan memberi tahu anda," kata juru bicara Gedung Putih Hogan Gidley dalam email, sebagaimana dilansir dari Bloomberg, Kamis (31/10/2019).

Kedutaan Besar China di Washington belum dapat menanggapi permintaan berkomentar terkait hal tersebut. Perwakilan perdagangan AS yang memimpin pembicaraan dengan China, Robert Lighthizer mengatakan "tidak ada komentar" ketika ditanya oleh wartawan bagaimana pembatalan akan mengubah rencana.

Prospek pertemuan Trump-Xi di Santiago bulan depan telah mendukung pasar, karena investor mencari tanda-tanda bahwa akhir dari perang perdagangan antara kedua negara sudah di depan mata. Indeks S&P 500 dari saham AS secara singkat jatuh ke sesi terendah setelah berita tentang pembatalan pertemuan beredar.

Tahap Satu
"Saya selalu memandang Chile sebagai lokasi di mana Trump dan Xi berada pada saat yang sama," kata Brendan McKenna, ahli strategi mata uang di Wells Fargo Securities di New York.

"Jika ada kesepakatan di mana kedua belah pihak bersedia untuk menandatangani, saya pikir mereka pasti menemukan cara untuk menyelesaikannya."

Para pejabat AS dan China telah bekerja selama berminggu-minggu untuk mengisi rincian dari kesepakatan "fase satu" yang diumumkan oleh Trump setelah pertemuan Oval Office 11 Oktober dengan negosiator China, Liu He.

Baru-baru ini kedua belah pihak mengatakan bahwa mereka sudah membuat kemajuan yang signifikan pada kesepakatan, yang akan membuat China melanjutkan pembelian produk pertanian AS dan membuat komitmen pada kekayaan intelektual dan mata uang, dengan imbalan komitmen dari Trump untuk tidak mengenakan tarif lebih lanjut pada barang-barang China.

Sementara itu merupakan rintangan baru bagi pemerintahan Trump dan China, penundaan paksa pertemuan antara para pemimpin memberi lebih banyak waktu bagi negosiator. Tetapi tenggat waktu yang bergeser juga dapat mengurangi tekanan di kedua belah pihak untuk memangkas kesepakatan awal dan beralih ke pembicaraan yang lebih komprehensif.

"Jika kedua belah pihak berniat untuk menyelesaikan kesepakatan fase-satu, pembatalan KTT itu hanya soal logistik," kata Jude Blanchette, seorang pakar China di Pusat Strategi dan Pembelajaran Internasional.

"Namun, jika satu atau kedua belah pihak tidak merasa mereka bisa mencapai kesepakatan pada pertengahan November ini, pembatalan KTT adalah alasan yang bagus untuk memiliki lebih banyak waktu."

Ketidakpastian
Risiko untuk bisnis dan pasar keuangan adalah bahwa pembatalan pertemuan APEC hanya akan menambah ketidakpastian yang telah mengurangi investasi dan pertumbuhan di seluruh dunia. Itu mungkin mendorong keinginan Trump untuk menandatangani perjanjian itu sendiri dan membuktikan kepada dunia yang skeptis dan pemilih di AS bahwa tarifnya telah membuahkan hasil jelang kampanye pemilihan ulangnya.

"Ini memungkinkan pembicaraan tingkat rendah akan terus berlanjut tanpa hasil nyata," kata Edward Alden, seorang rekan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri.
Pemerintah AS biasanya akan membantu Chili menyelesaikan krisis politiknya sehingga pertemuan puncak itu dapat dilanjutkan, kata Alden.

"Tapi sebaliknya, Gedung Putih tidak hasir dalam permasalah pemakzulan dan krisis yang dibuatnya sendiri," katanya.

Trump telah berulang kali mengatakan bahwa ia optimistis kesepakatan perdagangan akan diselesaikan di KTT.

"Risiko di sini adalah bahwa jika pertemuan puncak sekarang ditunda, maka paling tidak menunjukkan bahwa ketidakpastian perang perdagangan mungkin akan menggantung kita lebih lama," kata Torsten Slok, kepala ekonom di Deutsche Bank AG, dalam sebuah wawancara di Bloomberg Television, Rabu.

"Ini menimbulkan risiko bahwa kita tidak pernah bisa melihat fase dua atau fase tiga, dan karena itu lah ketidakpastian tidak akan hilang."

Selain APEC, Chile juga batalkan United Nations climate change conference, yang dikenal sebagai COP25, yang dijadwalkan pada Desember di Santiago, kata Presiden Sebastian Pinera.

"Kami sangat memahami pentingnya APEC dan COP untuk Chile dan dunia, tetapi kami mendasarkan keputusan kami pada akal sehat," kata Pinera dari istana kepresidenan. "Seorang presiden harus menempatkan orang-orangnya di atas segalanya."

Keputusan untuk membatalkan pertemuan menyoroti kedalaman masalah yang dihadapi bangsa Amerika Latin yang telah menghadapi hampir dua minggu kerusuhan dan protes. Ini juga memalukan bagi pemerintah yang bersikeras akan melanjutkan konferensi.

Pinera mengatakan dia telah berbicara dengan presiden lain sebagai peringatan tentang pembatalan tersebut. (sef/sef)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 30 Oktober 2019

Resesi Belum Basi, Negara-negara Ini Menuju Jurang Resesi

Foto: Arie Pratama
Rifan Financindo - Saat ekonomi dunia mengalami perlambatan, berbagai bank sentral global banyak yang melakukan pelonggaran kebijakan fiskal. Memangkas suku bunga mendekati nol, bahkan beberapa menetapkan suku bunga negatif.

Langkah itu ditempuh demi menghentikan perlambatan dan mendorong kembali pertumbuhan. Sebab, berbagai ekonomi dunia telah terancam jatuh ke dalam resesi. Mengutip Forbes, berikut adalah negara-negara yang berada di bawah ancaman resesi yang tinggi: 

Hong Kong

Salah satu pusat keuangan dunia ini telah dilanda demo anti-pemerintah dalam beberapa bulan terakhir. Akibatnya, ekonomi kota yang masih menjadi bagian dari China ini menjadi kacau dan secara teknis disebut telah jatuh ke dalam resesi. Sektor pariwisata dan ritel telah mencatatkan kerugian yang tidak sedikit akibat demo yang kerap diselingi aksi kekerasan itu.

Inggris

Ketidakpastian yang menyelimuti negara ini selama beberapa waktu terakhir mengenai rencana keluarnya negara dari blok Uni Eropa alias Brexit, telah membuat ekonomi kacau. Hal ini terlihat dari pertumbuhan Inggris yang melambat untuk pertama kalinya sejak 2012. Bahkan Brexit yang tanpa kesepakatan (no-deal Brexit) juga terancam menjatuhkan Inggris ke dalam resesi.

Jerman

Ekonomi terbesar di Uni Eropa ini terancam jatuh ke dalam resesi apabila sektor manufaktur serta penjualan mobil negara ini terus melambat.

Italia

Ekonomi terbesar keempat di Uni Eropa ini berada dalam resesi secara teknis pada paruh kedua 2018 den telah menghadapi krisis ekonomi yang berkelanjutan akibat dari produktivitas yang rendah, pengangguran yang tinggi, utang yang besar, dan kekacauan politik.  

China
Ekonomi China terus melambat akibat perang dagangnya dengan Amerika Serikat (AS). Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi terbesar kedua di dunia ini hanya akan tumbuh 5,8% pada 2020. Angka ini turun dari 6,6% pada 2018 dan proyeksi pertumbuhan 6,1% pada 2019.

Selain negara-negara itu, Turki, Argentina, Iran, Meksiko dan Brasil juga terancam jatuh ke dalam resesi akibat berbagai kekacauan.

Amerika Serikat juga diisukan akan jatuh ke dalam resesi karena ekonominya mulai memunculkan tanda-tanda perlambatan. Peluang AS jatuh ke dalam resesi pada tahun 2020 adalah sebesar 27% menurut Bloomberg Economy Index.

Sebagai informasi, IMF memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3% tahun ini. Jika terjadi, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terlambat sejak krisis keuangan global pada tahun 2008. (sef/sef)
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 29 Oktober 2019

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat

Bursa Saham Tokyo Dibuka Hijau, Damai AS-China Lebih Cepat
Foto: Bursa Jepang (AP/Koji Sasahara)
PT Rifan - Bursa saham Tokyo menguat pada pembukaan perdagangan hari Selasa, hal itu didorong karena adanya unjuk rasa di Wall Street, didukung oleh optimisme tentang pembicaraan perdagangan AS-China dan yen yang lebih murah terhadap dolar.

Seperti dikutip dari AFP, indeks acuan Nikkei 225 naik 0,48% atau 109,60 poin pada 22.976,87 di awal perdagangan, sementara indeks Topix yang lebih luas naik 0,58% atau 9,58 poin pada 1.658,01.

Investor akan terus memantau perkembangan perdagangan AS-China. Kantor Perwakilan Dagang AS mengatakan bahwa Washington akan mempertimbangkan untuk memperpanjang pengecualian tarif tertentu atas impor senilai US$ 34 miliar dari China. Minggu lalu, USTR mengatakan bahwa China dan AS hampir menyelesaikan kesepakatan fase satu.

Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dengan China diperkirakan akan ditandatangani "lebih cepat dari jadwal," tetapi tidak menjelaskan waktu yang pasti, lapor Reuters. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Senin, 28 Oktober 2019

Tunggu The Fed, Bisakah Emas Menggila di Atas US$/1.500/Oz?

PT Rifan Financindo Berjangka
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
PT Rifan Financindo Berjangka - Harga emas dunia pekan ini diperkirakan akan menguat jelang pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS)/The Federal Reserve (The Fed) atau the Federal Open Marke Committee (FOMC).

Akhir pekan lalu harga emas dunia di pasar spot sempat melesat 1% ke level US$ 1.517,70/troy ons (Oz), dan hingga akhirnya ditutup pada level US$ 1.507,15/Oz atau naik 0.16%. 

Ini artinya harga emas sudah kembali lagi level harga US$ 1.500/Oz. Penyebabnya, ada kekhawatiran The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuan.

Katalis pemangkasan Fed Funds Rate dan kecemasan terjadinya resesi menjadikan komoditas emas diburu investor dan harganya melonjak.

Data piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 93,5% bank sentral AS akan memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Probabilitas tersebut terus bertahan di atas 90% setelah rilis data ekonomi AS yang mengecewakan Kamis malam kemarin.

Departemen Perdagangan AS melaporkan, pada pesanan barang tahan lama AS turun 1,1% di bulan September secara month-on-month (MoM). Sementara, pesanan barang tahan lama inti (tak memasukkan sektor transportasi) turun 0,3% MoM. Penurunan tersebut lebih buruk dari prediksi Forex Factory masing-masing pada 0,5% dan 0,2%.

Selain itu, hubungan AS-China yang kembali terlihat merenggang juga membuat pelaku pasar kembali ragu akan ditandatanganinya kesepakatan dagang antara kedua belah pihak. Emas sekali lagi mendapat keuntungan dari hal tersebut.

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan).

Namun demikian, tren penguatan harga emas diprediksi sudah berakhir oleh Capital Economics. Lembaga riset makroekonomi ternama yang berbasis di London ini bahkan memprediksi harga emas akan merosot dua tahun ke depan. 

Melansir kitco.com, chief commodities economist di Capital Economics, Caroline Bain memproyeksikan harga emas dunia berada di kisaran US$ 1.350/troy ons di akhir 2020. "Tren kenaikan harga emas sudah berakhir," ujarnya.

Untuk tahun 2021, harga emas diprediksi masih akan turun lagi ke kisaran US$ 1.250/troy ons. Sementara untuk akhir tahun ini, harga emas diprediksi akan berada di kisatan US$ 1.500/troy ons. "Di tahun ini, harga emas diuntungkan oleh ketidakpastian ekonomi, peningkatan tensi geopolitik, serta pemangkasan suku bunga di AS" kata Bain.

Capital Economics memprediksi di tahun depan pertumbuhan ekonomi global akan membaik, yang membuat selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar meningkat, dampaknya emas tidak akan menarik lagi. Bain mengatakan "investasi terbaik" untuk tahun depan bukan logam mulia. (hps/hps)
Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 25 Oktober 2019

PT Rifan Finacindo - AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar

AS-China Bisa Panas Lagi, Bursa Saham Asia Terkapar
Foto: Ilustrasi Bursa China (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo - Bursa saham utama kawasan Asia bergerak di zona merah pada perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019). Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,36%, indeks Hang Seng terkoreksi 0,37%, dan indeks Kospi berkurang 0,08%.

Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning.

Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa batal diteken. 

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.

Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.

Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.

Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian dunia.

Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang begitu mengecewakan di Jepang ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin (24/10/2019), pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Negeri Sakura periode Oktober 2019 diumumkan di level 48,5, di bawah konsensus yang sebesar 48,8, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Oktober menandai kontraksi keenam secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Sumber : CNBC