Senin, 11 November 2019

Drama Perang Dagang: Klaim China & Bantahan Trump

Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)
Rifan Financindo - Setelah seminggu kemarin pasar diwarnai optimisme akan perang dagang, akhir pekan lalu ketegangan kembali terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini dipicu pernyataan China yang mengatakan AS setuju membatalkan seluruh tarif perang dagang.

Pernyataan itu langsung dibantah Presiden AS Donald Trump akhir pekan lalu. Bahkan ia mengatakan klaim tersebut adalah kemunduran bagi perdamaian perang dagang.

"Mereka [China] ingin mengalami kemunduran [kesepakatan]. Saya belum menyetujui apa pun [soal tarif]," katanya kepada wartawan sebelum meninggalkan Gedung Putih dalam perjalanan ke Georgia.

"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan tarif]."

Komentar Trump ini sebelumnya juga ditegaskan Penasehat Perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro. Bahkan ia menegaskan ini dalam wawancara dengan Fox Business Network.

"Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapus semua tarif yang diberlakukan, sebagai kondisi untuk kesepakatan fase pertama," katanya sebagaimana dikutip Reuters.

Menurut Navarro, pihak China hanya bernegosiasi di ranah publik, dan mencoba mendorong kesepakatan satu arah. Dia menilai pernyataan dari media China tersebut sebagai upaya propaganda.

Sebelumnya, Pemerintah China dan Pemerintah AS memang tengah membicarakan kesepakatan damai perdagangan. Pembicaraan telah dimulai sejak Oktober lalu.

Dari pertemuan yang langsung dihadiri Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri China itu, keduanya mengaku sepakat pada sejumlah hal. Diantaranya, AS yang bersedia membatalkan salah satu kebijakan tarifnya pada barang China yang berlaku di Oktober.

"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, sebagaimana dikutip Bloomberg.

"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," katanya lagi.

Sejak 2018
Pemerintah Amerika pertama kali menjatuhkan tarif impor pada barang-barang China pada Januari 2018. Saat itu tarif dikenakan pada solar dan sel surya dan jenis mesin cuci tertentu.

Langkah tersebut langsung dikritik China. Penerapan tarif itu dilakukan setelah sebelumnya kedua negara mengadakan perundingan dagang pertama yang membahas berbagai produk seperti daging dan unggas, hingga baja, aluminium, dan beberapa isu lainnya.

Selang dua bulan setelahnya, yaitu pada 8 Maret 2018, Trump menerapkan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Pada awal April, China menerapkan balasan dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang AS senilai US$3 miliar.

Semenjak itu, tarif dagang terus berlangsung hingga 2019. Pada 10 Mei 2019, AS meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar.

Pada Agustus, AS kembali menyerang China dengan tarif. Trump mengumumkan akan mengenakan tarif impor baru sebesar 10% untuk barang-barang China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September.

Alasannya adalah karena China mengingkari janji untuk membeli produk pertanian AS dan menghentikan penjualan opioid fentanyl, sejenis obat penenang yang banyak dipakai di AS. Pada saat itu Trump juga telah mengatakan akan mengenakan tarif lainnya pada bulan Desember mendatang.

Pada bulan yang sama, nilai yuan China jatuh di bawah 7 terhadap dolar AS, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Akibat ini, AS menuduh China memanipulasi mata uangnya demi membantu ekspornya yang merugi akibat perang dagang mereka.

Tuduhan itu dibantah oleh bank sentral China. Namun, AS bersikukuh akan menerapkan tarif baru sebagai hukuman.

Di akhir Agustus, China mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada barang-barang AS senilai US$ 75 miliar sebagai pembalasan atas kenaikan tarif yang direncanakan Gedung Putih. Tarif 5-10% itu rencananya mulai diberlakukan pada 1 September hingga 15 Desember, bersamaan dengan tarif AS yang baru.

Namun Trump kembali membalas, mengatakan tarif senilai US$ 300 miliar yang ia rencanakan untuk jatuhkan pada barang-barang China, akan dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September. Trump juga berencana menaikkan tarif yang ada pada US$ 250 miliar barang China dari 25% menjadi 30% mulai 15 Oktober.

Namun, pada 13 Oktober lalu, AS menangguhkan tarif itu. Alasannya adalah karena kedua negara sudah berhasil mencapai kesepakatan awal 'fase satu'. Tarif Oktober itu bahkan berpotensi dihapuskan oleh AS. (sef/sef)

Sumber : CNBC

Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar