Jumat, 29 November 2019

Hong Kong Buat Panas AS-China, Damai Dagang Di Ujung Tanduk

Ilustrasi : CNBC Indonesia
PT Rifan Financindo Berjangka - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menandatangani undang-undang (UU) HAM dan Demokrasi Hong Kong yang mendukung para demonstran pro-demokrasi pada Rabu waktu setempat (27/11/2019).

UU ini akan memungkinkan perwakilan AS melakukan tinjauan secara tahunan terhadap kawasan otonomi khusus China yakni Hong Kong. Tinjauan ini akan menjadi syarat bagi kawasan itu jika ingin melakukan aktivitas perdagangan dengan AS.

UU ini juga memungkinkan AS menjatuhkan sanksi terhadap pejabat China maupun Hong Kong yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di bekas koloni Inggris itu. Selain UU ini, ada pula UU soal penghentian ekspor senjata untuk penanganan massa ke Hong Kong.

Dalam pernyataannya Trump mengaku ia melakukan ini untuk kebaikan China dan Hong Kong.

"Saya menandatangani UU ini untuk menghormati Presiden China Xi dan orang-orang Hong Kong. Ini disah-kan dengan harapan bahwa para pemimpin dan perwakilan China dan Hong Kong akan dapat menyelesaikan perbedaan mereka secara damai, yang mengarah pada perdamaian jangka panjang dan kemakmuran bagi semua," jelas Trump.

Namun langkah Trump ini tak ayal membuat China berang. China menuding hal ini adalah intervensi pada urusan dalam negeri negara itu. Bahkan merupakan pelanggaran hukum internasional.

"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.


Menurut beberapa pihak, ditandatanganinya UU ini dapat memperdalam keretakan hubungan AS-China. Para pengamat juga menyebut UU ini bisa membuat hubungan dagang kedua negara semakin sulit mencapai kata sepakat. Lalu sejauh mana pengaruhnya?

Membuat Pembicaraan Damai Makin Sulit
Sejumlah analis melihat langkah Trump akan mempersulit pembicaraan dagang yang sudah dilakukan.

"Sepertinya tidak akan mudah untuk mencapai konsensus, jadi sekarang, mencapai kesepakatan Fase I bisa sulit," kata Stephen Chiu seorang analis Bloomberg Intelligence memperingatkan, sebagaimana dilansir dari The Independence.

Hal senada juga dikatakan pengamat lain. Meski tetap optimis secara ekonomi harapan damai masih terlihat.


"Semua logika ekonomi yang mendukung tercapainya kesepakatan dan mencegah kenaikan tarif tentu tetap ada," kata peneliti di Hinrich Foundation dikutip dari BBC.

"Namun pertanyaan terbuka-nya adalah apakah ketidaksenangan China bisa cukup untuk membatalkan kesepakatan perdagangan Fase 1, yang menurut sebagian pihak hampir mendekati akhir? Paling tidak, (langkah Trump) ini akan menyulitkan dan ada kemungkinan penundaan resolusi."

Menurut mantan duta besar Amerika untuk China, hubungan AS-China akan diujung tanduk.

"Saya kira UU ini tidak akan membantu para pemrotes mencapai tujuan mereka. Kedua, ini berdampak pada hubungan AS-China. Saya pikir ini akan memperburuk hubungan," kata Max Baucus, yang pernah ditunjuk sebagai duta besar oleh Presiden Barack Obama sebagaimana dikutip dari CNBC International.

"Langkah ini juga akan menyebabkan lebih banyak ketidakpastian mengenai perjanjian perdagangan yang sedang diupayakan."
Hong Kong Ancaman Terbesar Pasar
Sementara itu, dilansir dari CNBC International, masalah yang berlangsung di Hong Kong merupakan ancaman geopolitik terbesar bagi pasar global.

"Hong Kong saat ini adalah risiko geopolitik terbesar untuk pasar," kata seorang ekonom global Holger Schmieding.

"Jika situasi di Hong Kong meningkat dengan buruk dan jika kita mendapatkan intervensi militer Cina yang berat, maka hampir tidak mungkin bagi AS membuat kesepakatan perdagangan dengan China."

"Hampir mustahil untuk AS melakukan itu, sehingga akan memperpanjang penurunan industri global yang disebabkan oleh ketegangan perdagangan,."

Meski demikian, ia berharap pertengkaran ini hanyalah pertengkaran sederhana. Mengingat keduanya masih memiliki keinginan untuk melindungi ekonomi kedua negara yang terpengaruh akibat perang dagang.

Pada 2019, kami memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat di hampir 90% dunia. Efek kumulatif dari perang dagang dapat mengurangi output produk domestik bruto (PDB) global sebesar US$ 700 miliar atau sekitar 0,8% pada tahun 2020. (sef/sef) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar