Rifanfinancindo - Pertumbuhan ekonomi sebaiknya tidak hanya
dipandang dari sisi pencapaian angka statistik, namun lebih fokus pada
kualitasnya. Sebab pada akhirnya, tujuan pertumbuhan ekonomi sejatinya
adalah demi kesejahteraan dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat
secara adil dan merata.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri
Nasional (KEIN), Arif Budimanta, mengatakan saat ini pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan, misalnya struktur
perekonomian nasional masih didominasi oleh Pulau Jawa.
"Kontribusinya masih lebih dari 50% atau lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain," ujarnya dalam
focus group discusion (FGD) untuk membahas terkait Sistem Ekonomi Pancasila, di Hotel Preanger, Kota Bandung, Kamis (7/6/2018).
Menurutnya, banyak yang harus dilakukan agar sistem ekonomi
Pancasila ini bisa terwujud. Indonesia ini butuh sistem ekonomi yang
bisa membebaskan bangsa ini dari perangkap sistem kapitalis.
"Karena sekarang yang menang itu kapitalisme, padahal dulu (sistem kapitalis) itu kita lawan," ujarnya.
Menurut
Arif, untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila, harus ada sub
sistem-sub sistem yang mengaturnya. Namun juga harus ada konsesus
nasional yang bisa menjadi landasan untuk menjalankan sistem ekonomi
ini.
"Orang kaya itu boleh berusaha, tapi negara harus hadir
untuk memberikan kesempatan yang di bawah naik. Sehingga standar
kehidupannya tidak jauh," ucapnya.
Setelah ada konsesus yang
disepakati secara nasional, selanjutnya perlu dibentuk institusi yang
bisa mengawal jalannya sistem ini.
"Kalau kemudian ada konsesus nasional yang kita perlukan crafting
institusinya. Sosial market di Jerman landasannya bukan undang-undang
tapi konsensus. Jadi prinsipnya dalam perspekstif kita adalah gotong
royong.Jadi banyak PR yang harus dilakukan. Kita yakin bisa crafting konsep dan institusinya," jelasnya.
Masalah
ini sangat penting untuk diperhatikan agar tercipta pembangunan yang
berkualitas, yaitu lebih merata. Kata Arif, pemerintahan Presiden Joko
Widodo terus berupaya mengoreksi kondisi ini, sehingga pembangunan dapat
dinikmati oleh masyarakat di seluruh negeri.
Untuk mengatasi situasi tersebut, Arif menyarankan agar pemerintah fokus
menggali potensi, masalah, serta strategi pengembangan wilayah sesuai
karakteristik masing-masing daerah. Selama ini, kata dia, model
pembangunan yang diterapkan berorientasi pada pusat, bukan berbasis
regional.
Melalui cara seperti ini, dia meyakini bahwa
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih berkualitas.
"Pertumbuhan bukan lagi sekadar pencapaian tingginya angka statistik,
tetapi lebih merata," paparnya.
Menurut Arif, pemerintah telah
berupaya mewujudkan rencana strategis tersebut melalui sejumlah program.
Di antaranya melalui pembangunan infrastruktur jalan di kawasan
perbatasan demi memudahkan mobilitas warga, memajukan ekonomi daerah,
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Hingga 2018,
data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) di
antaranya menyebutkan total panjang jalan yang dibangun di Kalimantan
telah sepanjang 1.920 kilometer, Papua 1.098 kilometer dan Nusa Tenggara
Timur 176 kilometer. Selain itu, sejumlah kawasan industri dan kawasan
ekonomi khusus juga telah dibangun di sejumlah provinsi, dari Sumatera
Utara hingga Nusa Tenggara Barat.
"Tak kalah pentingnya,
kebijakan BBM (bahan bakar minyak) satu harga juga sangat membantu daya
jangkau masyarakat, sehingga mengurangi tekanan ekonomi dari belanja
energi," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Unpas,
Acuviarta Kartabi, menyebut masalah yang saat ini dihadapi adalah
ketimpangan ekonomi. Di Jawa Barat contohnya ketimpangan antara kaya dan
miskin cukup tinggi.
Dari sepuluh kota besar dengan ketimpangan
pendapatan tinggi, tiga di antaranya ada di Jawa Barat. Seperti
Tasikmalaya, Kota Bandung dan Kota Bekasi. Ketimpangan pendapatan ini
juga tidak sebanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi.
"Fakta-fakta lain bahwa kita tidak melihat dari sisi indikator
pertumbuhan ekonomi. Di Jabar pengangguran paling tinggi di Kabupaten
Bekasi, padahal pusat pertumbuhan ekonomi Bekasi itu tinggi. Jadi ini
tidak berbanding lurus," ujarnya.
Budayawan Hawe Setiawan
menyarankan, perlu ada kejelasan menyangkut arti dari kata keadilan
untuk mengembangkan Sistem Ekonomi Pancasila. Karena dia melihat
keadilan sosial yang ada dalam sila ke lima masih bermasalah.
"Keadilan
sosial masih bermasalah, bukan hanya di tataran praktik tapi juga
tataran konsep juga. Sistem ekonomi Pancasila, barangkali pikiran kita
tentang keadilan sosial tadi perlu diperjelas," ujarnya.
Tapi
Hawe melihat, sistem ekonomi Pancasila bisa berkembang asal anak-anak
muda bangsa ini mampu menggerakkan roda perekonomian. Menurut anak muda
yang membentuk komunitas dan memperkuat jejaring menjadi jantung harapan
terwujudnya ekonomi Pancasila.
"Jantung harapan kita dari pemuda-pemuda yang membantun komunitas dan memperkuat jaringan," ucapnya.
Sumber : Detik
Baca Juga :