Rifan Financindo -- Tren penurunan harga minyak dunia masih berlanjut sepanjang pekan lalu di tengah kekhawatiran membanjirnya pasokan di pasar. Ke depan, harga minyak diperkirakan membaik seiring upaya sejumlah produsen utama minyak dunia
bersepakat memangkas produksi dalam pertemuan awal Desember 2018.
Dilansir dari Reuters,
Senin (26/11), harga minyak mentah Brent secara mingguan merosot 11,3
persen menjadi US$58,8 per barel pada Jumat (23/11) lalu. Secara harian,
harga Brent terjerembab US$3,8 atau 6,1 persen.
Pelemahan juga
terjadi pada harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas
Intermediate (WTI) sebesar 10,8 persen secara mingguan menjadi US$50,42
per barel. Dalam perhitungan harian, harga WTI tercatat merosot US$4,21
atau 7,7 persen.
Kedua harga acuan telah melemah selama tujuh pekan berturut-turut.
Pekan lalu, persentase penurunan kedua harga acuan merupakan yang
terbesar sejak Januari 2016.
Sepanjang November, harga minyak
merosot lebih dari 20 persen sejak menyentuh level tertingginya pada
awal Oktober 2018 lalu. Diperkirakan, kedua harga acuan bakal
mencatatkan penurunan harga bulanan terbesar sejak akhir 2014.
Produksi
minyak, terutama dari AS, tumbuh lebih cepat dibandingkan permintaan.
Untuk mencegah bertambahnya bahan bakar yang tidak terpakai, seperti
yang terjadi pada 2015, Organisasi Negara Pengekspor Minyak diperkirakan
bakal memangkas produksinya. Kesepakatan berpotensi terjadi dalam
pertemuan 6 Desember 2018 mendatang.
Kendati demikian, rencana pemangkasan produksi OPEC kurang ampuh
dalam mendongkrak harga. Pasar minyak terbebani oleh perang dagang
antara dua perekonomian terbesar dunia AS dan China. Rencananya,
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bakal bertemu di
pertemuan G20 di Buenos Aires, Argentina, pada pekan ini.
"Pasar
tengah memasukkan faktor perlambatan ekonomi - mereka (pelaku pasar)
mengantisipasi pembicaraan perdagangan dengan China tidak akan berjalan
mulus," ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Ketakutan
pasar terhadap lemahnya permintaan meningkat setelah China, pada pekan
lalu, mencatatkan ekspor bensin terendah sejak lebih dari setahun.
Lunglainya ekspor bensin terjadi di tengah berlebihnya pasokan bahan
bakar di Asia dan secara global.
Persediaan bensin melesat di Asia, dengan stok di Singapura, hub
kilang di kawasan, meningkat ke level tertingginya dalam tiga bulan
terakhir. Pekan lalu, persediaan minyak di Jepang juga menanjak. Di AS,
persediaan bahan bakar naik tujuh persen sejak setahun terakhir.
Produksi
minyak mentah juga melonjak tahun ini. Badan Energi Internasional (IEA)
memperkirakan produksi dari non-OPEC naik sebesar 2,3 juta barel per
hari (bph) tahun ini. Sementara, permintaan tahun depan diproyeksi hanya
akan terkerek 1,3 juta bph.
Pelemahan permintaan membuat
eksportir minyak mentah utama dunia Arab Saudi, pada Kamis lalu,
menyatakan kemungkinan bakal memangkas produksinya. Diperkirakan, Arab
Saudi bersama anggota OPEC lainnya akan memangkas produksi hingga 1,4
juta bph.
Kendati demikian, Trump menegaskan penolakannya terhadap kenaikan
harga minyak. Banyak analis memprediksi Arab Saudi akan mengikuti
keinginan AS untuk menolak tekanan pemangkasan produksi dari anggota
OPEC lain.
Sejumlah analis memperkirakan, jika OPEC memangkas produksinya pada pertemuan bulan depan, harga minyak akan kembali pulih.
"Kami
memperkirakan OPEC akan mengatur pasar di 2019 dan mengkaji kemungkinan
terjadinya kesepakatan untuk mengurangi produksi sekitar dua banding
tiga. Pada skenario tersebut, harga Brent kemungkinan bakal kembali ke
level US$70 per barel," ujar Ahli Strategi Komoditi Morgan Stanley
Martijn Rats dan Amy Sergeant dalam catatannya kepada klien yang dikutip
Reuters.
Analis Riset FXTM Lukman Otunaga menilai
apabila OPEC tidak memangkas produksinya, harga minyak bisa tertekan
lebih dalam menuju US$50 per barel.
Penurunan harga minyak telah menyeret saham sektor energi di bursa
AS. Saham perusahaan minyak raksasa Exxon Mobil Corp dan Chevron merosot
lebih dari tiga persen pada pekan lalu.
Lebih lanjut,
Intercontinental Exchange (ICE) mencatat manajer keuangan dan investasi
memangkas posisi beli pada Brent sebesar 32.263 kontrak menjadi 182.569
kontrak pada pekan yang berakhir 20 November 2018. Jumlah kontrak beli
bersih tersebut terendah sejak Desember 2015. (sfr/lav)