Rabu, 27 Maret 2019

Bursa Saham Global Menguat, Yen Jadi Terlihat Kurang Seksi - PT Rifan Financindo

Bursa Saham Global Menguat, Yen Jadi Terlihat Kurang Seksi
Foto: Reuters/Yuriko Nakao/File Photo
PT Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), Selasa (26/3/19), dan semakin menjauhi level terkuat dalam enam pekan terakhir.

Penguatan bursa saham secara global kemarin membuat yen menjadi kurang menarik di mata investor. Pada perdagangan hari ini, Rabu (27/3/19), yen diperdagangkan di kisaran 110,51/US$ pada pukul 7:07 WIB.

Yen Jepang merupakan mata uang yang bergelar safe haven, sehingga memiliki daya tarik yang tinggi ketika terjadi ketidakpastian global. Ketika muncul inversi yield obligasi AS tenor 3 bulan dengan 10 tahun yang menjadi indikasi kemungkinan resesi, kurs yen langsung melesat ke level terkuat enam pekan terhadap dolar.


Namun kini yield obligasi AS mulai stabil, di mana tenor 10 tahun-nya sudah beranjak dari level terendah 15 bulan meski masih terinversi.

Sementara dari dunia pasar modal, bursa saham Asia, Eropa, dan AS kompak menguat pada perdagangan Selasa. Ketika kondisi global mulai stabil, dan aset-aset berisiko menguat, mata uang yen menjadi kurang menarik.

Tetapi bukan berarti risk appetite atau minat terhadap aset berisiko sudah pulih benar mengingat rilis data ekonomi AS yang kurang bagus.

Conference Board Inc. AS pada Selasa pukul 21:00 WIB melaporkan data tingkat keyakinan konsumen AS merosot dibulan ini, dengan angka indeks yang dirilis sebesar 124,1 dibandingkan bulan Februari 131,4. Rilis data ini sejalan dengan inversi yield obligasi yang menunjukkan kecemasan akan terjadinya resesi.

Data tingkat keyakinan konsumen AS merupakan leading indicator untuk melihat tingkat keyakinan masyarakat AS dalam melakukan konsumsi. Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar 68% dari produk domestik bruto (PDB) AS.

Menurunnya tingkat keyakinan konsumen bisa berarti ke depannya akan terjadi penurunan tingkat belanja yang tentunya akan berdampak signifikan terhadap PDB AS.

Dari sektor perumahan, data izin membangun AS menunjukkan penurunan di bulan Februari, begitu juga dengan rumah yang mulai dibangun atau housing start yang tercatat turun 8,7% dibandingkan satu tahun lalu.

Serangkaian data ekonomi AS tersebut dapat memengaruhi risk appetite investor di perdagangan sesi Asia hari ini. Jika bursa saham Asia kembali menguat mengikuti bursa AS, kurs yen kemungkinan akan kembali tertekan. Sebaliknya jika bursa Asia berbalik melemah, yen si safe haven akan kembali bersinar.


TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)


Selasa, 26 Maret 2019

Bukan Resesi, Inversi Yield Tandakan Bunga The Fed Ketinggian - Rifanfinancindo

Bukan Resesi, Inversi Yield Tandakan Bunga The Fed Ketinggian
Rifanfinancindo - Mantan gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Janet Yellen, mengatakan pasar obligasi AS saat ini bisa jadi tengah memberi sinyal perlunya pemotongan suku bunga dan mengakhiri tren pelemahan ekonomi.

Menurutnya, pembalikan yield obligasi bertenor tiga bulan dan 10 tahun yang terjadi sejak Jumat pekan lalu itu bukanlah pertanda resesi.

Inversi antara tenor tiga bulan dan 10 tahun seringkali dijadikan indikator terjadinya resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Investor yang meminta 'jaminan ' lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek menggambarkan pembacaan yang suram terhadap kondisi perekonomian dalam waktu dekat.

Yellen yang memimpin The Fed di periode 2014-2018 ditanya mengenai inversi yield dan apakah itu menandakan resesi dalam sebuah konferensi di Hong Kong, Senin (25/3/2019).

"Jawaban saya adalah tidak, saya tidak melihatnya sebagai sebuah sinyal resesi," ujarnya, dilansir dari CNBC International.

"Berbeda dengan di masa lalu, saat ini ada tendensi bahwa kurva yield cenderung sangat mendatar," ujarnya. Ia menambahkan bahwa saat ini lebih mudah bagi yield tersebut untuk terinversi di mana yield obligasi bertenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang.

"Dan fakta ini mungkin menandakan bahwa The Fed di suatu titik perlu untuk menurunkan suku bunga, namun ini tentu saja tidak menandakan bahwa beberapa perkembangan ini akan menyebabkan resesi," tambah Yellen.

Meski yakin tidak akan terjadi resesi, namun ia mengakui bahwa ekonomi AS memang tengah melambat.

"AS memang tengah mengalami perlambatan pertumbuhan," ujarnya. Namun perkiraan The Fed bahwa AS akan tumbuh 2,1% dari 3,1% tahun lalu masih mendekati potensi Negeri Paman Sam itu.

"Jadi, ini bukanlah situasi yang berbahaya," kata Yellen. "Jadi, ya, pertumbuhan melambat, namun saya tidak melihat ekonomi melambat ke level yang akan menyebabkan resesi."

Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih berturut-turut. (prm)



Senin, 25 Maret 2019

Awal Perdagangan, Yen Bergerak Melemah | Rifan FInancindo

Awal Perdagangan, Yen Bergerak Melemah
Ilustrasi yen Jepang dan dolar AS (Foto: REUTERS/Shohei Miyano)
Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang melemah terhadap dolar AS di awal perdagangan, Senin (25/3/19). Tetapi yen masih belum terlalu jauh dari level terkuatnya dalam lima pekan terakhir.

Pada pukul 6:46 WIB, yen ditransaksikan di kisaran 110,07/US$, dengan level terkuat lima pekan di kisaran 110,73/US$ yang dicapai pada perdagangan Jumat (22/3/19).

Nilai tukar dolar terhadap yen yang terlihat murah membuat dolar terlihat menarik lagi untuk dipegang. Tercatat sepanjang pekan lalu, yen mengalami penguatan 1,4% terhadap dolar, dan menjadi penguatan mingguan tertinggi dalam 11 pekan terakhir atau sejak awal tahun saat dolar mengalami flash crash terhadap yen.

Me-review pekan lalu, penguatan yen terpicu sikap dovish Federal Reserve (The Fed) AS.

Dalam pengumuman kebijakan moneternya pada Kamis (21/3/19) dini hari Waktu Indonesia, The Fed mengindikasikan tidak akan menaikkan suku bunga acuan atau Federal Funds Rate (FFR) di tahun ini. Hal ini menjadi kejutan bagi pasar finansial karena tidak sampai tiga bulan sebelumnya bank sentral AS tersebut menyatakan kenaikan FFR sebanyak dua kali di tahun 2019 akan menjadi kebijakan yang tepat.

Perbedaan suku bunga di AS dan Jepang akan semakin lebar seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga di tahun ini. Untuk saat ini saja ada selisih yang besar antara suku bunga di AS dan Jepang, The Fed dengan FFR-nya sebesar 2,25% - 2,50%, dibandingkan dengan BOJ yang menerapkan suku bunga negatif (-0,1%). 
Kini suku bunga acuan The Fed sebesar 2,25%-2,50% akan tetap bertahan hingga akhir tahun nanti, begitu juga dengan suku bunga acuan BOJ yang masih akan di tahan sebesar -0,1%, sehingga spread imbal hasil di kedua negara tidak lagi melebar.

The Fed sekarang sejalan dengan Bank of Japan (BOJ) yang sama-sama bersikap dovish. Sepekan sebelum pengumuman The Fed, BOJ juga bersikap dovish dengan memperkirakan perekonomian Jepang yang akan melambat. Selain itu, satu anggota dewan diketahui meminta agar BOJ siap untuk bertindak "cepat, fleksibel, dan berani" termasuk dalam menambah stimulus moneter.

Di pekan ini, beberapa data ekonomi dari AS akan menentukan arah pergerakan nilai tukar yen terhadap dolar mengingat negeri Paman Sam tersebut dispekulasikan akan mengalami resesi.
Imbal hasil obligasi AS tenor pendek (3 bulan) kini lebih tinggi dari tenor panjang (10 tahun) atau dikenal dengan istilah inversi. Hal seperti ini terjadi jika pelaku pasar melihat dalam jangka pendek AS kemungkinan akan mengalami resesi, sehingga investor melepas obligasi jangka pendek yang membuat yield-nya naik dan masuk ke obligasi jangka panjang.

Kali terakhir inversi terjadi di bulan Januari 2017, dan kembali muncul di hari Jumat lalu di mana yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di level 2,4527%, sementara tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%.


TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)
 
 

Jumat, 22 Maret 2019

Brexit Kian Tak Jelas, Harga Emas Melenggang Naik - PT Rifan Financindo

Brexit Kian Tak Jelas, Harga Emas Melenggang Naik
Foto: Karyawan menunjukkan emas batangan yang dijual di Butik Emas, Sarinah, Jakarta Pusat, Senin (17/9/2018). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
PT Rifan Financindo - Pada perdagangan Jumat pagi ini (22/3/2019), harga emas menguat tipis. Hingga pukul 08:36 WIB, harga emas kontrak April di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) naik sebesar 0,03% ke posisi US$ 1.307,7/troy ounce, setelah menguat 0,43% kemarin (20/3/2019)

Adapun harga emas di pasar spot masih stagnan diposisi US$ 1.309,2/troy ounce, setelah turun 0,23% pada perdagangan kemarin.

Selama sepekan harga emas di bursa COMEX dan spot telah menguat masing-masing sebesar 0,37% dan 0,62% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun rata-rata kenaikan harga keduanya sebesar 2,06%.


Harga emas masih mendapat sokongan dari sikap (stance) Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang makin kalem (dovish).

Kemarin, suku bunga acuan The Fed (Federal Funds Rate/FFR) diumumkan bertahan di kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%.

Selain itu, perekonomian AS yang masih belum membaik, alias masih lambat memaksa The Fed untuk memangkas proyeksi suku bunga hingga akhir tahun 2019. Terlihat dari dot plot (proyeksi arah suku bunga jangka menegah) yang berubah. Pada dot plot Hasil rapat The Fed edisi Maret proyeksi suku bunga berada di median 2,375%, turun dari proyeksi pada rapat edisi Desember 2018 yang berada di median 2,875%.

Dengan tak ada kenaikan suku bunga, maka investasi pada aset-aset berbasis dolar menjadi kurang menarik. Dolar pun rentan terdepresiasi.

Alhasil, emas berpotensi diburu investor untuk dijadikan pelindung nilai.

Selain itu, ketidakpastian nasib Brexit juga bisa membuat harga emas tertarik ke atas.

Setelah Perdana Menteri Inggris meminta perpanjangan waktu Brexit menjadi 30 Juni (dari yang awalnya 29 Maret), ternyata Uni Eropa Tak mengabulkan.

Uni Eropa secara aklamasi hanya menyetujui perpanjangan waktu sampai 22 Mei jika proposal Brexit disetujui parlemen Inggris pekan depan. Namun bila parlemen kembali menolak, siap siap angkat kaki tanggal 12 April.

Ini membuat potensi No Deal Brexit makin tinggi. Di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti, investor akan mencari perlindungan dengan mengoleksi emas.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)


Kamis, 21 Maret 2019

Shanghai & Hang Seng Bergerak Terbatas karena Trump | Rifanfinancindo

Shanghai & Hang Seng Bergerak Terbatas karena Trump
Foto: Reuters
Rifanfinancindo - Indeks Shanghai dibuka stagnan pada 3.090,64, sementara indeks Hang Seng naik 0,23% ke level 29.387,75.

Indeks bursa saham acuan di Negeri Panda memilih sikap bertahan di pembukaan perdagangan hari ini (21/3/2019) karena pergerakan pelaku pasar dibatasi dua sentimen yang datang dari Bank Sentral AS/The Fed dan Presiden AS Donald Trump.

Dini hari tadi, pukul 02:00 WIB, Jerome Powell, Gubernur The Fed, memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (Federal Funds Rate) di kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375% seperti perkiraan pasar. Powell dan sejawat juga memproyeksikan tidak akan ada kenaikan suku bunga lanjutan di tahun 2019, dilansir Reuters.

"Mungkin perlu waktu sebelum proyeksi lapangan kerja dan inflasi mendorong perubahan kebijakan," kata Gubernur The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers setelah rapat penentuan kebijakan.

Keputusan ini harusnya membuat bursa saham China bergembira, namun hari ini Trump malah membatasi pergerakan pelaku pasar dengan mengumumkan bahwa tarif impor terhadap produk-produk China dapat tetap diterapkan untuk jangka waktu yang panjang, dilansir Reuters.

"Kami tidak berbicara untuk menghapusnya (tarif impor ke China). Kami bicara tentang mempertahankannya untuk jangka waktu yang lama karena kami harus memastikan bahwa China mengikuti kesepakatan, dan menerapkannya", ujar Trump.

Jika akhirnya, China benar-benar memilih mundur, tentu perang dagang akan semakin terekskalasi dan memperburuk perekonomian kedua belah negara.

Pada hari ini, pukul 03:30 WIB, Hong Kong akan merilis data tingkat inflasi bulan Februari.

Sebagai informasi tambahan, tingkat inflasi Hong Kong pada bulan Januari dicatatkan sebesar 2,4%, dan ini adalah nilai terendah semenjak Agustus 2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)