Perekonomian Inggris mencatat kontraksi bulanan terbesar dalam 18 bulan terakhir, menyusul dampak kombinasi kenaikan pajak tajam dan tarif dagang yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump. Data terbaru ini memberikan tekanan terhadap pemerintahan Partai Buruh pimpinan Perdana Menteri Keir Starmer, yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi untuk membiayai program belanja publiknya yang ambisius.
Produk domestik bruto (PDB) Inggris turun sebesar 0,3% pada bulan April, menurut laporan Kantor Statistik Nasional (ONS) pada Kamis. Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar yang memprediksi penurunan hanya sebesar 0,1%. Sektor jasa dan manufaktur mengalami penurunan, sementara konstruksi menunjukkan sedikit pertumbuhan.
Kontraksi ini menjadi pukulan keras bagi Starmer, yang sebelumnya mengklaim bahwa Inggris mulai bangkit setelah mencatatkan pertumbuhan solid pada kuartal pertama 2025 dan melampaui kinerja ekonomi negara-negara anggota G7 lainnya. Sayangnya, data terbaru ini menandai potensi melambatnya pertumbuhan pada kuartal kedua, seiring meningkatnya pemutusan hubungan kerja, beban pajak, serta tekanan dari perang dagang global yang dilancarkan oleh Trump.
Dampak Kenaikan Pajak dan Tarif Trump Semakin Terasa
Pada bulan April, ekspor barang Inggris ke AS tercatat mengalami penurunan terbesar sejak pencatatan dimulai pada Januari 1997, akibat gelombang ekspor besar-besaran di kuartal pertama untuk menghindari tarif baru. Dampak ini, ditambah dengan tekanan dari pajak penghasilan dan upah minimum yang dinaikkan oleh Menteri Keuangan Rachel Reeves dalam anggaran pertamanya, menekan konsumsi dan permintaan domestik.
Suren Thiru, Direktur Ekonomi di Institute of Chartered Accountants di Inggris dan Wales, menyebut bahwa lemahnya pertumbuhan menjadi "sakit kepala besar" bagi Menteri Reeves. Menurutnya, melemahnya ekonomi membuat upaya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan yang cukup demi mendukung belanja publiknya menjadi lebih sulit, dan membuka kemungkinan kenaikan pajak lanjutan dalam Anggaran Musim Gugur mendatang.
Reeves sendiri menyebut data PDB ini “jelas mengecewakan,” meski dalam wawancara dengan BBC kemudian hari, ia menekankan bahwa angka bulanan cenderung fluktuatif dan menyoroti bahwa kesepakatan dagang Inggris dengan India, AS, dan Uni Eropa akan mendukung pertumbuhan ke depan, terutama setelah reformasi sistem perencanaan kota yang diusung Partai Buruh.
Suku Bunga dan Risiko Fiskal Semakin Mengemuka
Kontraksi ini menjadi yang pertama sejak enam bulan terakhir dan yang terbesar sejak kemenangan telak Partai Buruh pada pemilu musim panas lalu. Para ekonom kini memperkirakan pertumbuhan hanya akan mencapai 0,1% pada kuartal kedua tahun ini. Kondisi ini memicu ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga lanjutan oleh Bank of England, dengan pasar sepenuhnya memperhitungkan dua pemangkasan suku bunga tambahan masing-masing sebesar 0,25 poin persentase.
Pemerintah Starmer berharap momentum dari pertumbuhan kuartal pertama bisa membantu membiayai pemulihan layanan publik, termasuk rencana Reeves untuk meningkatkan investasi di sektor transportasi, pertahanan, energi, dan sistem kesehatan nasional (NHS). Namun, data terbaru ini menunjukkan bahwa euforia pertumbuhan mungkin terlalu prematur.
Reeves sebelumnya membatalkan rencana pemangkasan subsidi musim dingin untuk pensiunan setelah pertumbuhan kuartal pertama terlihat positif. Namun strategi ini bisa berbalik arah, terutama jika ekonomi gagal mempertahankan momentumnya dan target penerimaan negara meleset.
Permintaan Lemah, Pengangguran Naik, dan Daya Beli Terkikis
Ekonomi Inggris juga kehilangan lebih dari seperempat juta lapangan kerja sejak Reeves menaikkan pajak gaji dan upah minimum nasional. Konsumen yang sebelumnya berbelanja besar di kuartal pertama mulai menahan pengeluaran mereka, tercermin dari turunnya penjualan ritel dan output sektor jasa.
ONS melaporkan bahwa output sektor jasa, yang merupakan kontributor terbesar bagi PDB Inggris, turun 0,4%. Aktivitas pengacara dan agen properti menurun tajam, mencerminkan anjloknya transaksi rumah akibat percepatan pembelian sebelum kenaikan pajak properti diberlakukan. Sementara itu, sektor manufaktur mengalami penurunan produksi sebesar 0,9%.
Analisis: Apakah Ini Awal dari Resesi?
Thomas Pugh, Kepala Ekonom di RSM UK, menyatakan bahwa kontraksi bulan April tampaknya lebih mencerminkan "distorsi sementara" akibat penyesuaian dari kebijakan tarif dan pajak yang diberlakukan sebelumnya. Ia menilai bahwa prediksi resesi tampak terlalu pesimistis untuk saat ini.
Meski begitu, proyeksi pertumbuhan kuartalan Inggris hanya berada di kisaran 0,3% hingga akhir 2026. Hal ini menunjukkan tekanan fiskal masih sangat nyata, dan membuka jalan bagi kemungkinan pemerintah menaikkan pajak lagi untuk menjaga defisit anggaran dalam batas yang aman.
Kesimpulan: Ekonomi Inggris Hadapi Kenyataan Baru
Data terbaru ini menjadi peringatan penting bagi pemerintahan Partai Buruh bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah sesuatu yang bisa dianggap pasti. Kombinasi tekanan global seperti perang dagang, penurunan daya beli konsumen, dan kebijakan fiskal domestik yang agresif menciptakan tantangan kompleks bagi kebijakan ekonomi pemerintah.
Pemerintah Inggris perlu lebih cermat menyeimbangkan ambisi belanja publik dengan kondisi ekonomi riil, terutama jika ingin menjaga stabilitas fiskal dan menghindari ketergantungan pada utang atau pajak tambahan dalam jangka menengah.