Jumat, 31 Mei 2019

Masih Dibayangi Perang Dagang, Wall Street Menguat Terbatas - Rifanfinancindo

Masih Dibayangi Perang Dagang, Wall Street Menguat Terbatas
Rifanfinancindo Palembang - Indeks-indeks acuan Wall Street berhasil memulihkan diri dari pelemahan di sesi sebelumnya dan ditutup menguat, Kamis (30/5/2019). Namun, kekhawatiran terkait perseteruan dagang dan pelemahan ekonomi global membatasi laju penguatan tersebut.

Dow Jones Industrial Average naik tipis 0,17%, S&P 500 bertambah 0,21%, sementara Nasdaq Composite menguat 0,27%. Indeks-indeks utama tersebut ditutup melemah hari Rabu dengan Dow Jones kehilangan lebih dari 200 poin.

Wall Street sempat memerah di sesi perdagangan siang hari ketika imbal hasil obligasi negara Amerika Serikat (AS) atau US Treasury jatuh ke posisi terendahnya dalam 20 bulan terakhir di level 2,227%. Yield tersebut masih ada di atas 2,5% awal bulan ini, dilansir dari CNBC International.

Yield yang rendah menandakan harga obligasi tengah tinggi karena diburu investor.

Jatuhnya imbal hasil tersebut yang diikuti dengan pembalikan atau inversi yield (inverted yield) telah meningkatkan kecemasan bahwa pertumbuhan ekonomi AS tengah melambat. Para investor biasanya memandang obligasi sebagai alternatif aset yang lebih aman ketika kekhawatiran terkait perekonomian meningkat.

"Ini sudah pasti menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat," kata Ryan Nauman, ahli strategi pasar di Informa Financial Intelligence mengenai turunnya imbal hasil tersebut.

"Para investor tengah keluar dari saham dan masuk ke Treasury demi strategi bermain bertahan," jelasnya.

Perseteruan dagang antara AS dan China yang bekepanjangan membebani pasar. Seorang diplomat senior China kembali melancarkan retorika menyerang semalam sebelumnya.

China juga telah menghentikan pembelian kedelai dari AS, menurut laporan Bloomberg News.

Washington dan Beijing telah saling mengenakan bea masuk terhadap ratusan miliar dolar produk sejak awal 2018 yang memukul pasar keuangan global. Awal bulan ini, kedua negara menaikkan lagi bea impor terhadap berbagai produknya yang membuat perang dagang memanas. (prm)



Rabu, 29 Mei 2019

Reli 3 Hari Terhenti, IHSG Berpotensi Koreksi di Bawah 6.000 - Rifan Financindo

Reli 3 Hari Terhenti, IHSG Berpotensi Koreksi di Bawah 6.000
Foto: Muhammad Sabki
Rifan Financindo Palembang - Reli kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama tiga hari akhirnya terhenti pada perdagangan kemarin. Aktivitas ambil untung pada perdagangan kemarin, membuat IHSG anjlok 1,07% ke level 6.033.

Selain itu, besok bursa domestik akan diliburkan karena memperingati kenaikan Isa Almasih. Untuk perdagangan hari ini Rabu (29/5/2019), Tim Riset CNBC Indonesia memperkirakan IHSG akan bergerak variatif dengan kecenderungan melemah.

Dari bursa global atau khususnya Wall Street Amerika Serikat (AS) yang kembali di buka, semua indeks utama kembali terkoreksi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,93%, S&P 500, S&P 500 minus 0,85%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,39%.

Tampaknya investor di Wall Street masih agak jetlag selepas libur panjang. Investor memerlukan waktu untuk mencerna seluruh kabar dan sentimen yang terlewatkan. Misalnya, pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai prospek kelanjutan dialog dagang dengan China.

"Saya percaya kami akan membuat kesepakatan yang bagus dengan China suatu saat nanti. Sebab saya tidak yakin China bisa terus membayar bea masuk. Anda tahu? Pebisnis sudah meninggalkan China, ratusan bahkan ribuan," tegas Trump, mengutip Reuters.

Investor yang jetlag melakukan reaksi yang knee-jerk (spontanitas tanpa berpikir panjang). Padahal jika dilihat lebih dalam, Trump masih membuka kemungkinan terjadinya perundingan yang mengarah ke damai dagang AS-China.

Dari dalam negeri, aksi ambil untung kembali terjadi di bursa. Faktor libur panjang memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan menjadi momen berkumpul dan tentu saja meningkatkan pengeluaran atau konsumsi.

Pasca kembali masuk ke pasar setelah net sell 16 hari beruntun, investor asing kembali melepas portofolio sahamnya dengan membukukan jual bersih senilai Rp 297,6 miliar di pasar reguler. Hal ini menjadi penekan indeks di kala investor lokal melakukan profit taking sementara.

Dari sisi teknikal, IHSG sebenarnya masih sedikit berada di atas garis rata-rata nilainya dalam lima hari (moving average/MA5), sehingga potensi penguatan sebenarnya masih mungkin saja terjadi.

Pola bearish harami (cenderung menunjukkan penurunan) yang terbentuk pada perdagangan kemarin, mengindikasikan potensi kembali terjadi penurunan.

Melihat potensi pergerakan di tas, kemungkinan IHSG akan bergerak fluktuatif pada rentang 5.950 hingga 6.050.

TIM RISET CNBC INDONESIA (yam)

Sumber : CNBC
 
 

Selasa, 28 Mei 2019

Timur Tengah Memanas, Harga Minyak Sempat Melesat - PT Rifan Financindo

Timur Tengah Memanas, Harga Minyak Sempat Melesat
PT Rifan Financindo Palembang - Pergerakan harga minyak cenderung bervariasi setelah sebelumnya sempat melesat tajam.

Pada perdagangan hari Selasa (28/5/2019) pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli melemah hingga 0,13% ke level US$ 70,02/barel. Sementara harga minyak light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli terpantau masih menguat 0,87% menjadi US$ 59,14/barel.

Sehari sebelumnya, harga Brent dan WTI melesat masing-masing sebesar 2,07% dan 1,24%.

Salah satu faktor utama yang membuat harga minyak melesat kemarin adalah ketegangan di Timur Tengah yang semakin memanas.

Jumat (24/5/2019), pemerintah Amerika Serikat (AS) mengumumkan penempatan 1.500 personel tentara tambahan di Timur Tengah. Pihaknya mengatakan langkah tersebut diambil untuk meningkatkan pertahanan terhadap Iran, menyusul penyerangan kapal tanker yang terjadi di awal bulan Mei.

Sebagai informasi, pada 12 Mei 2019 telah terjadi penyerangan pada empat kapal tanker di perairan dekat Selat Hormuz, tepatnya di wilayah Fujairah, berdasarkan keterangan otoritas Uni Emirat Arab (UEA), mengutip Reuters.

Meskipun tidak ada korban jiwa maupun tumpahan minyak, namun serangan tersebut membuat kapal mengalami kerusakan.

Pihak AS menuding Garda Revolusi Iran (IRGC) terlibat dengan memberi perintah kepada kelompok militan Houthi Yaman atas penyerangan tersebut.

Kini, kekuatan tempur AS semakin meningkat di Timur Tengah. Negeri Paman Sam juga dikabarkan telah menempatkan kapal induk yang berisikan jet tempur dan pesawat pengebom.

Iran kemudian mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan 'perang psikologis' dan sebuah 'permainan politik'.

Presiden AS, Donald Trump kemudian mengatakan bahwa penambahan personel yang sejumlah 1.500 orang hanya untuk kepentingan pertahanan. Namun dilengkapi dengan sistem pertahanan misil, pengawasan udara, tenaga mekanik, serta skuadron penerbang jet tempur.

"Kami ingin perlindungan di Timur Tengah. Kami akan mengirim tentara dengan jumlah yang relatif kecil, sebagian besar untuk pertahanan," ujar Trump, mengutip Reuters, Sabtu (25/5/2019).

Memang, hingga kini masih belum ada kontak senjata antara Iran dengan AS. Namun risiko itu tetap menghantui. Pelaku pasar juga khawatir apabila perang pecah, akan menyeret sederet negara-negara lain dan membuat konflik meluas.

Kalau sudah begitu, pasokan minyak akan mendapat hambatan karena fasilitas-fasilitas produksi di kawasan tersebut bisa lumpuh total. Terlebih Timur Tengah merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar di dunia.

Di sisi lain, Menteri Minyak Kuwait, Khaled al-Fadhel mengatakan pasokan akan tetap ketat pasca tengah tahun 2019.

"Kita masih punya banyak pekerjaan. Saya yakin pasar [minyak] akan seimbang pada semester II-2019," ujar Al-Fadhel, seperti yang dilansir dari Reuters.

Seperti yang telah diketahui, anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari sepanjang Januari-Juni 2019.

Pertemuan OPEC+ (OPEC dan sekutunya) selanjutnya dijadwalkan pada bulan Juni mendatang untuk membahas kelanjutan dari kebijakan tersebut.

Beberapa waktu lalu Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih juga mengatakan bahwa pihaknya masih akan terus mengurangi produksi secara bertahap sepanjang semester II-2019.

Pelaku pasar pun menjadi yakin bahwa pasokan tidak akan melonjak tahun ini. Bahkan berpotensi untuk semakin ketat.

Akan tetapi faktor yang membebani harga minyak juga masih ada.

Pada hari Senin (27/5/2019) laba sektor industri di China periode April dibacakan melemah 3,7% year-on-year (YoY) oleh Biro Statistik Nasional (NBS). Jauh memburuk dibandingkan periode Maret yang masih bisa tumbuh 13,9% YoY.

Artinya ada perlambatan di sektor manufaktur, yang notabene menopang perekonomian Negeri Tirai Bambu. Hal ini menimbulkan kecemasan akan permintaan minyak yang berisiko tak tumbuh tahun ini.

Apalagi perang dagang AS-China sudah masuk babak baru setelah kedua negara mengumumkan tarif baru hingga 25%.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)


Senin, 27 Mei 2019

Digosok Perang Dagang dan Brexit, Emas Semakin Berkilau - Rifanfinancindo

Digosok Perang Dagang dan Brexit, Emas Semakin Berkilau
Foto: REUTERS/Edgar Su
Rifanfinancindo Palembang - Harga emas global lanjut menguat seiring peningkatan risiko ekonomi global. Setelah perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China terlihat buntu, potensi Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no deal Brexit) kian memuncak.

Pada perdagangan hari Senin (27/5/2019) pukul 09:00 WIB, harga emas kontrak pengiriman Juni di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,21% ke level US$ 1.286,3/troy ounce. Adapun harga emas di pasar spot juga naik 0,16% menjadi US$ 1.286,74/troy ounce.

Pun hingga penutupan perdagangan Jumat (24/5/2019), harga emas COMEX dan spot mampu membukukan penguatan masing-masing sebesar 0,62% dan 0,59% dalam sepekan, secara point-to-point.

Menjelang akhir pekan lalu, pemerintah China dikabarkan sudah tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan perundingan dagang dengan AS.

Hal itu menyusul langkah AS yang memasukkan raksasa teknologi asal China, Huawei, ke dalam daftar hitam. Alhasil perusahaan AS tidak dapat lagi membeli produk-produk buatan Huawei, kecuali mendapatkan izin resmi dari pemerintah.

Bahkan dampaknya meluas. Tidak hanya perusahaan AS yang mengehtikan kerjasama dengan Huawei, melainkan banyak perusahaan negara-negara lain. Contohnya Panasonic, yang mana pabrikan elektronik asal Jepang tersebut memutuskan untuk tidak lagi membeli komponen-komponen buatan Huawei. Ada pula ARM, perusahaan pembuat Chip asal Inggris yang melakukan hal serupa.

Ini membuat hubungan dagang AS-China masih tidak jelas. Jika sampai tidak ada perundingan dagang lagi, eskalasi perang tarif bukan sesuatu yang tidak mungkin. AS dikabarkan tengah mengkaji pengenaan tarif 25% pada produk China lain senilai US$ 300 miliar yang sebelumnya bukan objek perang dagang.

Jika tidak ada halangan, kebijakan tersebut mungkin diberlakukan dalam 30-45 hari sejak akhir pekan lalu.

Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin juga mengatakan sejauh ini belum ada kebijakan lain yang direncanakan pihaknya.

Kala perang dagang semakin meluas, maka perlambatan ekonomi global hampir merupakan sebuah keniscayaan.

Ditambah, pada akhir pekan, Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya mulai 7 Juni 2019 mendatang.

Bahayanya, sejumlah nama calon pengganti May tampak bergairah untuk keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.

"Agar bisa sukses dalam negosiasi, Anda harus siap untuk pergi begitu saja," ujar Andrea Leadsom, mantan ketua parlemen, mengutip Reuters.

"Kami akan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober. Deal or no deal!" tegas Boris Johson, mantan menteri luar negeri, mengutip Reuters.

Sebenarnya May masih bisa menghindari no deal Brexit. Pada pekan pertama bulan Juni 2019, May sekali lagi akan membawa proposal Brexit ke hadapan parlemen. Bila akhirnya proposal Brexit (yang tanpa banyak perubahan) disetujui oleh parlemen, maka Inggris akan mengantongi kesepakatan dengan Uni Eropa.

Namun bila tidak, bayang-bayang hitam no deal Brexit semakin pekat. Kala no deal Brexit terjadi, analis memperkirakan ekonomi Inggris akan terkontraksi cukup dalam.

Mengingat Negeri Ratu Elizabeth merupakan ekonomi terbesar kelima di dunia, pasti dampaknya juga akan mendunia.

Perlambatan ekonomi global, dari yang sudah lambat, akan sulit untuk dihindari.

Alhasil risiko koreksi nilai aset semakin tinggi. Investor pun gencar memburu emas karena nilainya yang relatif lebih stabil dibandingkan instrumen-instrumen lain.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)

 

Jumat, 24 Mei 2019

The Fed: Perang Dagang Bisa Ancam Pertumbuhan Ekonomi - Rifan Financindo

The Fed: Perang Dagang Bisa Ancam Pertumbuhan Ekonomi
(Foto: REUTERS/Ann Saphir)
Rifan Financindo Palembang - Meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi ketidakpastian bagi dunia usaha dan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi, kata empat pejabat bank sentral Federal Reserve, Kamis (23/5/2019).

Pernyataan itu mengindikasikan bahwa akhir dari perang dagang yang telah berlangsung selama 10 bulan itu akan menjadi faktor penting ketika para pembuat kebijakan The Fed mempertimbangkan sampai kapan pendekatan sabar mereka akan dipegang.

"Saya merasa data-data baik, namun sentimennya naik turun, sehingga jika kita mendapat kelonggaran atau penurunan ketidakpastian, saya memperkirakan momentum ekonomi akan positif untuk pertumbuhan," kata Presiden The Fed San Francisco Mary Daly dalam konferensi The Fed Dallas, Kamis, dilansir dari Reuters.

"Jika ketidakpastian masih ada, maka saya rasa ini juga akan berdampak pada keyakinan dan keyakinan ini berdampak pada investasi," lanjutnya.

Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin dan Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic yang berbicara di panel yang sama itu juga mengatakan ketidakpastian perdagangan dapat memukul pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, penyelesaian perang dagang itu dapat mendorong pertumbuhan.

"Saya memantau dengan sangat hati-hati bagaimana ketegangan perdagangan ini akan berkembang karena saya cemas apakah ini dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan atau tidak," kata Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan.

Pernyataan mereka itu muncul ketika para peneliti di The Fed New York mempublikasikan riset yang menunjukkan bahwa bea impor baru AS terhadap impor dari China akan membuat rumah tangga standar AS mengeluarkan biasa US$831 per tahun.

Presiden AS Donald Trump awal bulan ini mengatakan China telah mundur dari kesepakatan yang sedikit lagi tercapai. Ia kemudian resmi menaikkan bea impor terhadap produk China senilai US$200 miliar pada 10 Mei.

Beijing tak mau diam saja dan mengumumkan kenaikan bea masuk barang-barang AS senilai US$60 miliar mulai 1 Juni mendatang. (prm/prm)


Sumber : CNBC