Kamis, 17 Januari 2019

Harga Minyak Menguat Tertopang Wall Street | Rifan Financindo

Harga Minyak Menguat Tertopang Wall Street
Rifan Financindo -- Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Rabu (16/1), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi seiring reli di pasar modal AS serta implementasi kesepakatan pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+)

Dilansir dari Reuters, Kamis (17/1), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,68 menjadi US$61,32 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,2 menjadi US$52,31 per barel.

Indeks pasar saham Wall Street yang menyentuh level tertinggi dalam satu bulan terakhir telah mendongkrak harga minyak. Sebagai catatan, harga minyak mentah berjangka terkadang bergerak searah dengan pasar modal.

Selain itu, harga minyak berjangka juga mendapatkan sokongan dari kesepakatan pemangkasan pasokan oleh OPEC+, yang di dalamnya melibatkan produsen utama minyak dunia Arab Saudi dan Rusia. Pada Desember lalu, OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari mulai Januari 2019.

Deputi Menteri Energi Rusia menyatakan Rusia akan mencapai target pemangkasan produksi pada April.

"Pasar tengah konsolidasi. Untuk melihat apa penggerak pasar berikutnya, kita akan melihat apakah kebijakan pemangkasan bekerja, apakah anggota yang menyepakati mengikuti kesepakatan (pemangkasan) tersebut," ujar Direktur Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian.

Kendati demikian, kenaikan produksi minyak mentah AS dapat menekan harga minyak.

Badan Administrasi Energi AS (EIA) mencatat produksi minyak AS mencapai 11,9 juta barel per hari (bph) pada pekan lalu, seiring lonjakan ekspor minyak mentah AS hingga hampir menyentuh level 3 juta bph.

EIA memperkirakan produksi minyak AS tahun ini akan tumbuh hingga melampaui level 12 juta bph. EIA juga memproyeksikan AS bakal menjadi negara net eksportir minyak mentah pada akhir 2020.

Selain itu, stok bahan bakar minyak (BBM) AS juga menanjak lebih dari yang diperkirakan. Kenaikan tersebut merupakan kenaikan yang terjadi selama empat pekan berturut-turut.

Pada pekan lalu, stok bensi naik 7,5 juta barel menjadi 255,6 juta barel, jauh di atas proyeksi jajak pendapat analis Reuters yang memperkirakan kenaikan hanya 2,8 juta barel. Secara mingguan, jumlah stok bensin tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2017.

Stok minyak distilasi, yang mencakup bahan bakar diesel dan minyak pemanas, juga menanjak 3 juta barel. Realisasi tersebut juga di atas ekspektasi yang memperkirakan kenaikan di atas 1,6 juta barel.

Namun, persediaan minyak mentah turun 2,7 juta barel, dua kali lipat di atas perkiraan.

"Sentimen kenaikan harga dari penggunaan stok minyak mentah telah dikalahkan oleh peningkatan stok produk," ujar Direktur Riset Komoditas ClipperData Matthew Smith.

Sinyal perlambatan laju pertumbuhan ekonomi juga turun menahan kenaikan harga minyak.

Pada Selasa (15/1) kemarin, Gedung Putih memperkirakan perekonomian AS mendapatkan pukulan yang di atas ekspektasi dari penghentian sebagian operasional pemerintahan.

Proyeksi perekonomian global juga tambah suram setelah parlemen Inggris menolak proposal Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk meninggalkan Uni Eropa.

Tak hanya itu, pekan ini, China juga melaporkan data perdagangan Desember yang buruk. Pada Rabu (16/1) kemarin, bank sentral China tercatat melakukan net injeksi moneter harian terbesar melalui operasi reverse repo. Diharapkan, pasar minyak juga turut terjaga. (sfr/agi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar