Rabu, 23 Juni 2021

Market Mulai Waswas, Diam-diam the Fed Sudah Tapering?

Federal Reserve Chairman Jerome Powell testifies during a House Financial Services Committee hearing on
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

 

PT Rifan Financindo - Setelah anjlok sepekan lalu, bursa saham Wall Street Amerika Serikat (AS) kembali bangkit dengan lonjakan mencapai lebih dari 1,5% pada perdagangan Senin (21/6/2021) waktu AS.

Kenaikan indeks-indeks utama di bursa AS ini terjadi kendati ada kekhawatiran bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat memperketat kebijakan moneternya lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya alias hawkish.

Setelah terpukul dalam 3 hari terakhir di pekan lalu, tiga indeks bursa acuan di Wall Street kompak ditutup di zona hijau. Indeks Dow Jones melesat 1,76% ke 33.876,969. Kemudian, indeks yang berisikan 500 saham blue chip yakni S&P 500 terkerek 1,40% dan indeks yang sarat akan saham teknologi, Nasdaq, terapresiasi 0,79%.

Melansir CNBC International, Senin (21/6), Kepala Penasihat Ekonomi di Allianz Mohamed El-Erian menjelaskan bahwa pasar kembali ke 'mode nyamannya' saat ini.

"Pertumbuhannya kuat. Mereka [pasar] masih percaya bahwa inflasi bersifat sementara. Mereka percaya The Fed akan relatif lambat dalam mengurangi [pembelian aset bulanan], dan itulah mengapa Anda melihat [pasar saham menguat]," jelas El-Erian dalam acara 'Squawk Box' CNBC International, dikutip Rabu (23/6).

Namun, menurut ahli ahli strategi kredit Bank of America Hans Mikkelsen, keyakinan bahwa the Fed akan relatif lambat mengurangi pembelian aset alias tapering itu keliru. Justru, menurut dia, the Fed akan mempercepat langkahnya dalam tapering.

Dalam Pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC, Federal Open Market Committee) Rabu pekan lalu (16/6), The Fed secara signifikan meningkatkan ekspektasi inflasi tahun 2021. Bahkan The Fed mengajukan kerangka waktu, kapan akan menaikkan suku bunga.

The Fed mengubah sikapnya dengan mempercepat rencana penaikan suku bunga acuan. Setelah sebelumnya menyatakan tidak berencana melakukan itu sebelum 2023 terlewati, kini Jerome Paul mengindikasikan adanya kenaikan di 2023 hingga dua kali.

Hanya saja, menurut Mikkelsen, kebijakan moneter yang lebih ketat mungkin datang lebih cepat.

"[Kami] memprediksi The Fed segera mulai mengurangi pembelian atau tapering [quantitative easing/QE], dan mulai menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan, dan yang paling penting jauh lebih cepat dari saat ini di pasar," katanya dalam sebuah catatan kepada klien.

The Fed memang mengindikasikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.

Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, di mana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023, 11 di antaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, di mana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022. Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.

Sementara itu kapan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) masih belum terjawab. Tapering dapat memicu taper tantrum, dan pernah terjadi pada tahun 2013. Saat itu, di Indonesia, kurs rupiah terpukul hebat.

Lebih lanjut Mikkelsen mengatakan, dari perspektif pasar kredit, mengacu data pelacak FedWatch CME, pelaku pasar hanya melihat peluang sebesar 41% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga pada Juli 2022.

Mikkelsen menunjukkan bahwa The Fed pada dasarnya telah mulai melakukan tapering dengan melepas portofolio kecil obligasi korporasi yang dibelinya selama pandemi Covid-19.

Menurut dia, langkah The Fed, yang 100% tidak terduga karena The Fed memiliki rekam jejak penjualan aset yang buruk, menjadi sinyal bahwa bank sentral paling powerful ini semakin merasa berani untuk keluar dari sikap kebijakan moneter 'super-mudah' mereka.

Bahkan keberanian melakukan tapering lebih awal itu dilakukan The Fed, yang itu berarti kebijakan yang dipercepat itu belum searah dengan ekspektasi pasar.

Perubahan di Internal The Fed 

Sementara itu, pejabat The Fed mengindikasikan bahwa lanskap memang tengah berubah, sebagaimana tercermin dalam proyeksi dot-plot yang dirilis Rabu pekan lalu.

Presiden The Fed Wilayah New York John Williams, dalam pidatonya pada Senin, mengatakan dia melihat inflasi bersifat sementara (sesuai konsensus pasar) dan kebijakan The Fed sebetulnya sudah sesuai dengan kondisi saat ini.

"Jelas bahwa ekonomi membaik dengan kecepatan tinggi, dan prospek jangka menengah sangat baik. Tetapi data dan kondisi belum cukup memadai bagi FOMC untuk mengubah sikap kebijakan moneternya yang memberi dukungan kuat untuk pemulihan ekonomi," kata Williams dalam sambutannya.

Tetapi di internal The Fed terjadi perbedaan pendapat.

Presiden The Fed wilayah St. Louis James Bullard menyentak pasar pada Jumat lalu ketika dia mengatakan kepada CNBC International bahwa dia adalah salah satu anggota FOMC yang berpikir kenaikan suku bunga pada tahun 2022 bakal menjadi keputusan yang tepat.

Pendapat berbeda diungkapkan Presiden The Fed wilayah Dallas Robert Kaplan pada Senin.

Menurut Kaplan, dia lebih fokus pada pengurangan laju pembelian obligasi alias tapering untuk saat ini, dan berpikir pertanyaan suku bunga sebagai pertanyaan yang harus dijawab di lain hari.

"Saya lebih suka melihat kami bertindak lebih cepat daripada nanti dalam pembelian aset, kemudian kami akan membuat keputusan di tahun 2022 dan seterusnya tentang langkah-langkah tambahan yang diperlukan," kata Kaplan, yang muncul bersama dengan Bullard untuk diskusi yang digelar oleh Official Monetary and Financial Institutions Forum (OMFIF), lembaga think tank yang fokus pada bank sentral.

"Tapi saya pikir masalah utama hari ini dan dalam waktu dekat adalah soal waktu dan penyesuaian pembelian [aset] ini," imbuhnya.

Kedua pejabat tersebut menilai, dengan adanya kemajuan ekonomi AS, alasan bahwa inflasi yang muncul dalam beberapa bulan terakhir mungkin sedikit lebih sulit dari yang diantisipasi The Fed sebelumnya.

"Ketidakseimbangan penawaran-permintaan, beberapa di antaranya kami pikir akan teratasi sendiri dalam enam hingga 12 bulan ke depan," kata Kaplan.

"Tetapi sekali lagi beberapa dari hal-hal tersebut kami rasa kemungkinan akan lebih persisten, didorong oleh sejumlah perubahan struktural dalam ekonomi," katanya.

"Kita harus siap dengan gagasan bahwa ada risiko kenaikan inflasi," katanya.

"Tentu saja, bukti anekdotal sangat banyak bahwa ini adalah pasar tenaga kerja yang sangat ketat," kata Bullard.

Menurut ekonomi, jika tekanan inflasi 'lebih panas' dari yang diperkirakan pejabat The Fed, hal ini akan memaksa mereka untuk mengetatkan kebijakan lebih cepat dari yang mereka inginkan.

Sejurus dengan itu, hal tersebut bakal memukul pasar saham dan ekonomi secara umum, di mana kedua sektor ini sangat bergantung pada rezim suku bunga rendah.

"Saat ini, inflasi bersifat sementara. Tetapi jika Anda menutupinya dengan stimulus lebih lanjut yang signifikan, maka Anda berisiko membuat sesuatu yang sementara menjadi permanen," kata kepala ekonom Natixis untuk pasar Amerika, Joe LaVorgna.

"Jadi, Anda berada di posisi yang sangat sulit. Saya pikir pendekatan terbaik The Fed adalah dengan berbicara lebih sedikit," pungkas Joe. (tas/tas)

Sumber : CNBC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar